Hulu dari maraknya korupsi oleh politisi, seperti kepala daerah, dinilai dari partai politik. Maka, perbaikan partai politik jadi penting. Selain itu, peningkatan pendanaan dari negara.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan di partai politik khususnya dalam pendanaan menjadi akar permasalahan maraknya korupsi yang dilakukan politikus, seperti kepala daerah. Perbaikan pendanaan pada partai politik yang disertai dengan pengawasan dan transparansi sangat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan korupsi politik.
Kasus korupsi yang diduga dilakukan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah cukup mengejutkan. Sebab, ia dinilai sebagai sosok yang bersih, bahkan pernah mendapatkan Bung Hatta Anti-Corruption Award pada 2017.
Menurut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, sulit untuk mempertahankan figur bersih di tengah sistem politik, pemilihan, dan pemerintahan yang masih kental dengan praktik transaksional.
”Hulu dari persoalan ini ada di partai politik kita. Kelembagaan partai politik belum dikelola sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi yang sesungguhnya. Belum terjadi demokratisasi di internal partai kita. Kaderisasi, rekrutmen, maupun pendidikan politik belum melembaga sebagai suatu proses yang demokratis dan ideologis di partai,” kata Titi ketika dihubungi di Jakarta, Senin (1/3/2021).
Titi mengungkapkan, partai secara dominan hanya hadir saat masa pemilu berlangsung. Itu pun dengan membiarkan calon yang mereka usung bekerja dan menanggung biaya politik untuk pemenangan elektoral. Alhasil, figur yang berpotensi seolah masuk dalam jebakan sistem yang membuatnya harus terlibat dalam praktik transaksional yang berlangsung.
Intervensi pemodal dan godaan untuk menjadi bagian dari cukong menjadi tak bisa dihindari. Ditambah lagi kontrol dari parlemen serta mekanisme pengawasan internal juga tidak berjalan baik. Akhirnya, situasi koruptif yang sistematis ini juga menjebak mereka yang punya rekam jejak bersih dan kapasitas baik untuk memimpin pembangunan daerah.
Politik berbiaya tinggi banyak terjadi di ruang-ruang gelap dan dipraktikkan secara ilegal. Pengawasan dan penegakan hukum yang lemah, serta tata kelola pemerintahan daerah yang minim pengawasan dan skema akuntabilitas, membuat para kepala daerah mudah sekali masuk perangkap praktik korupsi. Belum lagi rongrongan aktor-aktor politik yang meminta balas budi juga menjadi beban tersendiri bagi kepala daerah yang menjabat.
Peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia (TII), Reza Syawawi, menyayangkan sosok antikorupsi justru diduga terlibat korupsi. Seharusnya ia menjadi teladan bagi kepala daerah lain.
Sebatas administratif
Menurut Reza, dalam kasus Nurdin, problem klasik terjadi, yakni suap dalam pengadaan proyek. Selama ini, aspek pengawasan dalam pengadaan hanya sebatas administratif, seperti melalui e-procurement, e-budgeting, dan seterusnya. Sistem semacam itu sudah pasti tidak bisa mencegah suap di level pejabat tinggi, seperti kepala daerah.
Pernah muncul ide memperkuat inspektorat, tetapi sampai saat ini tidak ada realisasi. Ada dilema ketika pengawas internal harus mengawasi atasannya.
Dari aspek politik, kasus ini diduga ada fee proyek dan pembayaran balik atau kick back. Hal tersebut terjadi karena pembiayaan politik yang mahal dan minim akuntabilitas. Di sisi lain, pengawasan pendanaan politik sangat lemah, kalaupun ada sangat bersifat administratif.
Berdasarkan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi, disebutkan mayoritas kepala daerah ada cukongnya. Imbasnya sudah pasti setelah menjabat. Karena itu, selain perbaikan pengawasan dalam pengadaan, sangat penting juga untuk kembali menagih komitmen untuk mereformasi sistem pendanaan politik yang mahal dan minim pengawasan.
Pendanaan partai politik
Menurut Titi, perlu ada peningkatan alokasi dana negara untuk parpol dalam rangka mewujudkan fungsionalisasi partai untuk melakukan kaderisasi, rekrutmen yang demokratis, dan pendidikan politik.
Namun, peningkatan harus diimbangi dengan pembatasan belanja kampanye serta transparansi dan akuntabilitas dana kampanye. Selain itu, harus ditopang oleh pengawasan dan penegakan hukum yang tegas dan serius.
Negara sebenarnya telah memberikan kontribusi cukup banyak pada partai, antara lain dengan menyubsidi pengadaan alat peraga, bahan kampanye, dan iklan di media masaa. Hanya saja, kandidat tidak bisa menahan diri dari pengeluaran modal yang besar akibat mesin parpol yang tidak bisa digerakkan untuk ikut berkontribusi dalam melakukan kerja-kerja pemenangan. Alhasil, modal menjadi andalan dan faktor yang paling menentukan dalam menjangkau pemilih.
Reza mengatakan, pendanaan politik harus diperbaiki. Tidak hanya soal kenaikan dana parpol dari negara, tetapi juga perlu perbaikan transparansi dan akuntabilitas pendanaan politik. Selama ini, tidak ada lembaga yang mengawasi keuangan partai politik secara khusus atau pendanaan politik secara umum.
Dalam konteks pemilu, pendanaan kampanye juga bermasalah dari aspek pengawasan.
Ada lembaga yang mengawasi dana kampanye, tetapi sangat bersifat administratif dan hanya dilakukan pada saat tahapan pemilu. Ada pengaturan soal larangan mahar politik bagi partai politik. Namun, hal itu tidak efektif karena transaksi dilakukan pascapemilu dan tidak ada yang mengawasi.