Pandemi Tidak Menggugah Pejabat untuk Tak Korupsi
KPK menahan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek. Korupsi di tengah pandemi Covid-19 sangat menyakiti rasa keadilan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi, Minggu (28/2/2021) dini hari menahan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah atas kasus dugaan suap terkait proyek infrastruktur di Sulsel. Kasus korupsi ini sangat melukai masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi pandemi Covid-19.
Kasus ini juga mengejutkan karena Nurdin Abdullah selama ini dikenal sebagai kepala daerah yang berkinerja baik. Ia juga pernah mendapat penghargaan sebagai tokoh antikorupsi.
Dalam jumpa pers di Gedung KPK, Minggu dini hari, Ketua KPK Firli Bahuri mengumumkan, KPK telah menetapkan tiga tersangka. Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah dan Edhy Rahmat, Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum Sulsel ditetapkan sebagai tersangka penerima suap kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel tahun anggaran 2020-2021.
Sementara itu, Agung Sucipto, Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, disangkakan sebagai pemberi suap. Ketiganya akan ditahan untuk 20 hari ke depan.
Nurdin, Agung, dan Edhy ditangkap di Makassar, Sulsel dalam rangkaian penangkapan pada Jumat (26/2) malam hingga Sabtu (27/2) dini hari. Selain itu, KPK juga menangkap Nuryadi (supir Agung), Samsul Bahri (ajudan Nurdin), dan Irfan (supir Edhy). Keenam orang itu diterbangkan ke Jakarta untuk diperiksa. Namun, Samsul, Nuryadi, dan Irfan tidak ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam penangkapan itu, KPK menyita uang Rp 2 miliar yang diduga diberikan Agung kepada Nurdin melalui Edhy Rahmat. Adapun, perusahaan Agung mendapat sejumlah proyek di lingkungan Pemprov Sulsel.
Nurdin juga diduga menerima uang dari kontraktor lain. Pada akhir tahun 2020 Nurdin diduga menerima Rp 200 juta, pada awal Februari 2021 Nurdin melalui Samsul menerima Rp 2,2 miliar, dan pada pertengahan Februari 2021 Nurdin melalui Samsul kembali menerima uang Rp 1 miliar.
Baca juga: Bola Liar Korupsi Kepala Daerah di Pilkada
"Kami betul-betul prihatin dengan tindak pidana korupsi ini. Korupsi tidak hanya perbuatan melanggar hukum tetapi juga merugikan keuangan negara dan merampas hak-hak rakyat, hak-hak kita semua. Apalagi di masa sekarang kita prihatin karena sedang menghadapi pandemi Covid-19," kata Firli
Melukai masyarakat
Kasus ini menunjukkan pandemi Covid-19 tidak menggugah pejabat untuk tidak korupsi. Di tahun 2020, KPK juga menangkap dua menteri serta sejumlah kepala daerah yang diduga menerima suap.
Menurut Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zaenur Rohman, korupsi yang dilakukan di masa pandemi Covid-19 sangat menyakiti hati rakyat. Di satu sisi, rakyat sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19 berikut dampaknya. Namun, di sisi lain, mereka melihat perilaku pejabatnya yang korup.
Baca juga: Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah Diduga Ditangkap KPK Terkait Pengadaan Barang dan Jasa
Kasus dugaan suap proyek yang melibatkan Nurdin bukan sesuatu yang baru. Berdasarkan data KPK tahun 2004 hingga Juni 2020, pengadaan barang dan jasa serta suap ada di peringkat atas jumlah kasus terbanyak. Dari 1.075 perkara yang ditangani KPK dalam kurun waktu itu, ada 224 kasus terkait pengadaan barang dan jasa dan 708 kasus terkait suap.
Menurut Zaenur, korupsi masih terus terjadi di daerah karena pengawasan terhadap pemerintahan daerah sangat minim. Apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19, pengawasan makin lemah karena pergerakan masyarakat terbatas. Selain itu, juga ada relaksasi regulasi.
Karena itu, menurut Zaenur, lembaga pengawas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan inspektorat harus bekerja lebih ekstra untuk memastikan tidak ada penyelewengan. Adapun, Kejaksaan, Polri, dan KPK, diharapkan tetap mengaktifkan satuan tugasnya untuk melakukan penindakan lebih keras. KPK juga perlu terus memberikan pendampingan di bidang penganggaran dan perizinan, sehingga menutup celah korupsi.
Di sisi lain, dia juga menilai, kasus korupsi di daerah bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab, sistem politik di Indonesia mendorong para pejabat untuk melakukan korupsi. Penyebab korupsi dapat berasal dari keinginan untuk mendapatkan kekayaan tanpa mau bekerja keras. Selain itu, politik biaya tinggi dalam proses pemilihan kepala daerah memerlukan modal yang bisa jadi berasal dari pihak-pihak lain.
Mengejutkan
Menurut Ketua Bidang Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, penangkapan Nurdin sangat memprihatinkan. Sebab, selama ini Nurdin dikenal sebagai sosok yang bersih dengan kinerja yang bagus. Bahkan Nurdin telah menerima beberapa penghargaan, seperti Bung Hatta Anti-Corruption Award pada tahun 2017.
Adapun, Nurdin memulai karir politiknya sebagai Bupati Bantaeng, Sulsel. Selama dua periode menjabat bupati (2008-2018), ia dinilai banyak membuat perubahan. Dia membenahi infrastruktur, fasilitas umum, dan membuat Bantaeng menjadi salah satu kabupaten yang bersih dan tertata cukup baik. Nurdin kemudian mengikuti Pemilihan Gubernur Sulsel 2018 dengan diusulkan PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional. Ia memenangkan pilkada.
Menurut Busyro, sosok yang jujur dan berkinerja baik tetap dapat terjerat korupsi karena instrumen perpolitikan di Indonesia turut memberikan andil bagi pejabat untuk bertindak koruptif. Dengan demikian, korupsi yang terjadi bersifat sistemik.
"Sistem ini sangat kuat dan terbukti banyak membuat orang yang jujur dan cerdas terperosok di dalam kubangan sistem yang memang korup. Siapapun orang itu yang masuk ke dalam kubangan sistem, maka mudah sekali remuk di dalamnya," kata Busyro.
Sepanjang Sabtu, pembicaraan terkait penangkapan Nurdin memenuhi ruang-ruang percakapan baik secara langsung maupun di media sosial. Kasus yang diduga menjerat Nurdin juga jadi perbincangan.
“Sayang sekali karena kami mengenalnya sebagai orang berpendidikan dan berlatar belakang pengusaha. Semoga saja pemeriksaannya hanya sebatas saksi,” kata Abdul Wahab (52), warga Makassar.
Ketua DPD PDI-P Sulsel Andi Ridwan Wittiri, melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas, mengaku sangat terkejut soal penangkapan Nurdin oleh KPK.
”Dalam pengalaman saya, ia menerapkan protokol ketat guna menghindari gratifikasi. Bahkan, sebelum menerima tamu, seluruh tamu dilarang membawa apa pun kecuali buku catatan. Semua tas yang dibawa wajib ditaruh di loker,” ucap Wittiri.
Wittiri menyebutkan, PDI-P menghormati proses hukum yang berkeadilan.
Di Makassar, Veronica Moniaga, juru bicara Gubernur Sulsel mengatakan pihak keluarga dan Nurdin secara pribadi menghormati proses hukum yang sedang berlangsung di KPK.
“Saya ingin menegaskan bahwa bapak dibawa tidak dalam kondisi OTT (operasi tangkap tangan) karena saat dijemput, gubernur sedang istirahat bersama keluarga. Tak ada barang bukti yang disita dari rumah jabatan. Gubernur bahkan tidak tahu dalam kaitan apa dijemput KPK,” katanya.
Istri Nurdin, Liestiaty, pun menjelaskan bahwa Nurdin dibawa ke Jakarta karena ada stafnya yang diduga menerima suap. ”Tadi pagi bapak didatangi KPK secara mendadak berkenaan dengan ada staf bapak yang menerima dana. Bapak akan dimintai keterangan,” ungkap Liestiaty.