Substansi pasal-pasal UU ITE selain multitafsir, juga tak perlu ada lagi ada di revisi UU ITE. Sebab, pemaknaan terhadap pencemaran nama baik sifatnya subyektif, dan seharusnya dapat didekati dengan hukum perdata.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pasal-pasal multitafsir di Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dinilai tidak perlu diatur kembali dalam revisi UU itu. Alasannya, pasal-pasal itu memicu orang untuk mudah saling melaporkan ketika terjadi persoalan. Padahal, hubungan antarwarga yang sifatnya ranah privat seharusnya cukup menggunakan pendekatan hukum perdata, bukan hukum pidana yang menyeret negara berhadapan dengan warganya.
Dua pasal yang kerap dikeluhkan di UU ITE ialah Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) tentang ujaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kedua pasal itu merupakan delik aduan.
Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, ketika dihubungi, Jumat (26/2/2021) di Jakarta, mengatakan, Adapun substansi pasal-pasal di dalam UU ITE selain multitafsir, juga tidak perlu ada lagi di dalam revisi UU ITE. Sebab, pemaknaan terhadap pencemaran nama baik sifatnya subyektif, dan seharusnya dapat didekati dengan hukum perdata. pasal tentang ujaran kebencian berbasis SARA cukup mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan tidak perlu duplikasi di dalam UU ITE.
“Dalam kasus pencemaran nama baik, misalnya, ketika ada orang posting atau mengunggah komentar di media sosial, yang dianggap menyinggung pihak lain, atau mencemarkan pihak lain, tidak harus dibawa ke ranah pidana. Itu kan urusan privat antarwarga negara. Bisa saja dibawa ke gugatan perdata, dan tidak perlu dibawa ke ranah pidana,” katanya.
“Dalam kasus pencemaran nama baik, misalnya, ketika ada orang posting atau mengunggah komentar di media sosial, yang dianggap menyinggung pihak lain, atau mencemarkan pihak lain, tidak harus dibawa ke ranah pidana. Itu kan urusan privat antarwarga negara. Bisa saja dibawa ke gugatan perdata, dan tidak perlu dibawa ke ranah pidana”
Ketika suatu persoalan privat antarwarga dibawa ke ranah pidana, sama saja dengan menyeret urusan privat ke urusan publik yang melibatkan negara melalui aparat penegak hukumnya. Ketika itu yang terjadi, lanjut Bivitri, aparat negara seperti polisi dan kejaksaan akan turun dalam penyidikan. Hal ini pun bergeser bukan lagi menjadi urusan privat antarwarga, melainkan menjadi urusan negara.
“Akan ada sumber daya yang besar sekali dikeluarkan negara dalam mengurusi persoalan-persoalan ketidakpuasan satu warga kepada warga lainnya di medsos. Hal ini mendorong warga ingin saling lapor untuk memuaskan rasa kekesalan mereka kepada pihak lain. Jika itu diladeni, berapa banyak sumber daya negara yang harus dikeluarkan untuk menangani hal itu. Padahal, sebenarnya ini urusannya ada orang yang merasa bermasalah dengan orang lainnya, dan berhasrat memasukkannya ke dalam penjara,” kata Bivitri.
Pola pemidanaan dalam urusan privat semacam itu, menurut Bivitri, sebaiknya tidak lagi diatur di dalam UU ITE. Ketika ada orang merasa namanya dicemarkan, ia dapat menggunakan ketentuan perdata untuk meminta ganti rugi tanpa harus memasukkannya ke dalam penjara. Kondisi ini dinilai lebih aman dari risiko konflik sosial, dan menjadikan hukum bukan sebagai sarana penghukuman. Jika UU ITE masih mengadopsi pola itu, yang timbul ialah potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.
“Kalau masih ada, ya saling lapor ke polisi akan tetap terjadi. Karena ini kan masalahnya ada orang bikin kesel di medsos lalu pihak lain itu mau balas nggebuki. Tetapi karena tidak bisa melakukan itu, lalu dipakailah alasan atas nama hukum dan peradaban, dan orang tersebut dilaporkan ke polisi,” ujarnya.
Pemidanaan pun seharusnya ditempatkan sebagai jalan keluar terakhir. Untuk menciptakan internet dan dunia digital yang bersih, negara tidak harus selalu membuat regulasi yang ancamannya pidana. Jalan keluar lain dapat ditempuh, antara lain dengan membuat negosiasi dengan platform medsos. Sebab, di banyak negara, platform ini ditekan untuk ikut bertanggung jawab mengatur internet dan dunia digital yang bersih dan beretika.
“Di AS, twitter saja sampai melarang akun Trump selamanya. Demikian pula Australia yang berhasil bernegosiasi dengan facebook agar tidak lagi menayangkan konten media arus utama di platform medsos itu. Hal ini berarti upaya menjaga medsos bersih dari hoaks, ujaran kebencian, itu juga harus menjadi tanggung jawab pengelola platform. Bukan hanya dengan menghukum warga,” kata Bivitri.
Upaya negoisasi itu, menurut Bivitri, seharusnya mulai dipikirkan oleh tim kajian revisi UU ITE yang dibentuk oleh pemerintah. Dengan demikian, selain mencabut pasal-pasal multitafsir, revisi kali ini juga dibarengi dengan upaya meminta platform medsos turut bertanggung jawab menciptakan dunia digital yang lebih bersih dan beretika. “Negosiasi dengan platform medsos ini tugas berat. Hal yang paling mudah memang memenjarakan warga yang posting, ketimbang meminta platform medsos menghapus konten itu. Tetapi apakah cara ini terus yang akan digunakan,” ujarnya.
Secara terpisah, dalam diskusi virtual yang difasilitasi oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta mengatakan, upaya pemerintah untuk membuat tim kajian revisi UU ITE adalah langkah yang baik. Namun, hal itu harus disertai dengan langkah nyata. Pemerintah sebaiknya menjadi pihak yang mengusulkan revisi UU ITE. Idealnya, tim kajian itu juga melibatkan pihak independen atau di luar pemerintah agar hasil kajiannya lebih holistik.
“Bagi pemerintah, revisi ini sangat penting, karena ada citra dari lembaga survei bahwa pemerintahan sekarang ini kurang demokratis. Dalam kajian lembaga survei itu, pemerintahan sekarang dalam 14 tahun terkahir ini merupakan yang paling tidak demokratis. Presiden punya kepentingan memulihkan nama baiknya, sehingga penting dilakukan revisi itu”
“Bagi pemerintah, revisi ini sangat penting, karena ada citra dari lembaga survei bahwa pemerintahan sekarang ini kurang demokratis. Dalam kajian lembaga survei itu, pemerintahan sekarang dalam 14 tahun terkahir ini merupakan yang paling tidak demokratis. Presiden punya kepentingan memulihkan nama baiknya, sehingga penting dilakukan revisi itu,” ujarnya.
Di sisi lain, jika usulan dilakukan dari sisi presiden, prosedurnya akan lebih mudah, karena usulan itu langsung dapat ditanggapi oleh fraksi-fraksi di DPR yang sebagian besar juga mendukung dilakukan revisi.
Sukamta mengatakan, PKS menghendaki revisi dilakukan terhadap pasal-pasal yang dinilai karet atau multitafsir. Revisi itu sebisa mungkin memperjelas norma yang dimaksud, sehingga ketentuan yang karet itu tidak lagi terbuka peluang untuk ditafsirkan macam-macam.
Secara terpisah, Wakil Ketua Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, fraksinya mendukung dilakukan revisi UU ITE. “Terlalu mahal demokratisasi dan kebebasan berkespresi yang kita perjuangkan untuk dipertaruhkan di bawah sistem hukum yang mengekangnya,” ujarnya.