UU ITE, antara Menjaga Ruang Digital dan Alat Pembungkaman
Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bergeser dari menjaga ruang digital menjadi alat saling lapor hingga berujung pidana.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian masyarakat mengaku lebih berhati-hati ketika berada di ruang maya karena adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kehati-hatian ini terkait dengan potensi terjadinya saling tuding atau saling lapor yang berujung pada hukuman pidana, seperti beragam kasus yang sudah terjadi.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejak awal hadir untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bermanfaat secara produktif. Sayangnya, dalam praktik, UU ini justru dinilai menjadi alat membungkam pendapat atau kritik.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat ada 375 kasus yang menjerat warganet terkait dengan UU ITE sejak 2008 hingga awal 2021. SAFEnet dalam laporannya menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak terjerat pasal-pasal karet pada undang-undang tersebut.
Zerlinda Sanam (25), mahasiswi pascasarjana di Yogyakarta, rutin mengikuti perkembangan informasi melalui media sosial Twitter karena kecepatan arus informasi dan jumlahnya yang banyak dan beragam. Portal berita daring terverifikasi dan kredibel juga menjadi pilihannya.
Informasi di media sosial dan portal berita itu tidak serta-merta ia bagikan lagi kepada orang lain. Ada pertimbangan urgensi dan kesahihan supaya tak terjerat berita bohong atau hoaks dan disinformasi.
”Selama ini saya cukup berhati-hati dan sering kali pastikan lagi informasi secara menyeluruh. Sebab, bisa bermasalah dengan adanya UU ITE,” kata Zerlinda, Minggu (21/2/2021).
Petrus Ratrigis (21), mahasiswa semester delapan, juga berhati-hati dengan memilah informasi. Informasi yang dipilih ialah yang bersifat membantu banyak orang, menambah ilmu pengetahuan, dan kebutuhan pada masa mendatang.
”Sudah banyak orang terjerat UU ITE karena unggahannya. Saya tidak ingin bermasalah dengan hukum. Jadi lebih baik pertimbangkan matang-matang sebelum berbagi,” ucap Petrus.
Saiful Mahdi, pengajar Universitas Syiah Kuala, Aceh, yang tengah menghadapi proses hukum terkait dengan UU ITE, berharap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat merevisi UU ITE dengan menghilangkan semua pasal karet serta pemidanaan berbasis pencemaran nama baik.
”Kalau tidak, ini bisa mematikan kritik dan demokrasi,” kata Saiful.
Ia tengah mengajukan kasasi atas kasus pencemaran nama baik yang menjeratnya. Tahun 2019, dia dilaporkan oleh pimpinan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala karena mengunggah kritik di grup Whatsapp terkait dengan perekrutan pegawai negeri sipil di fakultas tersebut.
Vivi Nathalia (42), warga Jakarta Utara, terpidana hukum percobaan, merasakan kekhawatiran setiap mengakses media sosial. Ia dan suami akan berulang kali membaca, termasuk menghapus unggahan, karena khawatir berbuntut perkara hukum lagi.
”Baca lagi, kadang baru unggah langsung hapus. Sangat melelahkan secara mental,” ujar Vivi.
Vivi menjadi terpidana setelah kakak iparnya melaporkannya kepada polisi atas dugaan pencemaran nama baik di media sosial terkait dengan tagihan utang Rp 450 juta. Tagih utang berujung cekcok terjadi di grup Whatsapp keluarga.
Ketua Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad mengatakan, pejabat pemerintah, pengusaha, dan polisi kerap menggunakan UU ITE ketika berhadapan dengan kritik. Karena itu, perlu adanya revisi supaya tidak menjadi alat pembungkaman.
”Kemungkinan diskriminasi atau pembungkaman itu akan selalu ada selama belum ada revisi atau upaya perbaikan,” ucap Arsyad.