Revisi UU Pemilu Berpotensi Batal, Perppu Bisa Jadi Solusi
Perppu dianggap bisa jadi solusi setelah pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR menolak revisi UU Pemilu. Dengan perppu, aturan di UU Pemilu yang direvisi bisa dilokalisasi untuk memudahkan pemilu dan pilkada pada 2024.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Pemilih di TPS 38 Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah, Padang Timur, Padang, Sumatera Barat, memasukkan surat suara ke dalam kotak suara pada Pemilu 2019, Sabtu (27/4/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Aturan setingkat undang-undang dibutuhkan untuk mencegah implikasi buruk dari penyelenggaraan pemilu legislatif, presiden, dan pemilihan kepala daerah serentak nasional pada 2024. Dalam kaitan itu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu dianggap bisa menjadi solusi setelah pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR menolak revisi UU Pemilu.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, saat webinar bertajuk ”Pentingnya Membahas Kerangka Hukum Pemilu” yang diselenggarakan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Minggu (21/2/2021), mengatakan, desain pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional pada 2024 menimbulkan konsekuensi timbulnya beban berat kepada penyelenggara, pemilih, serta peserta pemilu.
Untuk mengatasi hal itu, sejumlah hal harus dibenahi. Di antaranya, metode pemungutan suara, sistem informasi partai politik (Sipol), dan metode rekapitulasi. Hal lain yang perlu dibenahi, batasan kewenangan dan waktu penanganan pelanggaran pemilu karena sejumlah rekomendasi dan putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dikeluarkan setelah selesai tahapan rekapitulasi dan penetapan hasil.
Namun, perbaikan itu perlu diatur dengan aturan setingkat undang-undang. Tidak bisa hanya dengan peraturan teknis, seperti peraturan KPU. Karena itu, KPU tetap mendorong adanya revisi terbatas UU Pemilu atau pemerintah menerbitkan perppu guna merevisi sejumlah pasal dalam UU Pemilu.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (30/1/2019).
”Pemerintah punya kewenangan subyektif untuk mengeluarkan perppu jika kondisi ini dianggap mendesak dan ada tujuan yang lebih besar. Jika revisi undang-undang dianggap bisa membuka diskusi yang panjang, perppu bisa diambil karena hanya mengatur hal-hal yang sangat terbatas,” kata Pramono.
Saat ini, enam fraksi di DPR, yakni Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan, sudah menyatakan penolakan atas revisi UU Pemilu. Alasannya, negara sedang fokus menghadapi pandemi Covid-19.
Hanya dua fraksi, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, yang mendukung revisi UU Pemilu. Sementara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memberikan sinyal akan turut menolak revisi.
Adapun pemerintah bersikap tidak akan merevisi UU Pemilu ataupun UU Pilkada. Selain karena saat ini sedang fokus menghadapi pandemi Covid-19, ketentuan mengenai pilkada serentak nasional belum pernah dilaksanakan.
Petugas gabungan menyeberangkan 110 kotak suara beserta surat suara dan alat bantu pemilihan lainnya melewati Sungai Batanghari di Desa Berembang, Kecamatan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi, Selasa (16/4/2019).
Menurut Pramono, pemerintah memiliki subyektivitas untuk bisa menyisir secara spesifik hal-hal yang menyangkut aspek penyelenggaraan pemilu. Penerbitan perppu yang mengatur revisi UU Pemilu secara terbatas dinilai bisa dilakukan seperti saat pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dengan menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020.
Penyederhanaan penyelenggaraan
Di luar aturan dalam UU Pemilu yang harus diubah, ada beberapa alternatif solusi yang bisa dilakukan KPU untuk menyederhanakan teknis penyelenggaraan melalui PKPU.
Hal itu antara lain soal daftar pemilih tanpa proses pencocokan dan penelitian. Saat Pemilu 2019, menurut dia, sejumlah daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2018 tidak perlu dilakukan tahap pencocokan dan penelitian pemilih. Daftar pemilih tetap di daerah yang menggelar pilkada langsung dijadikan daftar pemilih sementara karena pelaksanaannya yang berdekatan. ”Kemungkinan ke depan akan melakukan hal ini juga karena tidak diatur dengan jelas di UU dan bisa dilakukan melalui PKPU,” kata Pramono.
Selain itu, tidak perlu pengadaan kotak dan bilik suara untuk Pilkada 2024 karena dapat menggunakan kotak dan bilik suara yang digunakan untuk pemilu legislatif dan presiden 2024. Pergelaran pilkada serentak nasional 2024 sesuai dengan UU No 10/2016 tentang Pilkada digelar pada November 2024, sedangkan pemilu legislatif dan presiden biasanya digelar pada bulan April.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petugas melabeli dan membungkus kotak suara dengan plastik di gudang KPU Kota Surakarta, Solo, Jawa Tengah, Selasa (9/4/2019).
Uji materi
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menilai, pemerintah bisa saja mengeluarkan perppu. Namun, masalahnya ada pada kemauan politik. Pemerintah dan DPR tidak mau melakukan revisi UU Pemilu, solusi berupa perppu bisa menjadi salah satu pertimbangan.
Selain revisi UU dan perppu, ia menilai, masih ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk meringankan beban teknis penyelenggaraan melalui mekanisme uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Khoirunnisa, langkah ini pernah berhasil dilakukan untuk mengatur hal-hal teknis, seperti jumlah Panitia Pemilihan Kecamatan dan perpanjangan waktu penghitungan suara di tempat pemungutan suara.