Keteladanan dari Presiden Jokowi
Sikap antikorupsi, kepantasan, dan kepatutan perlu menjadi budaya yang dikembangkan di lingkungan birokrasi dan pemerintahan. Komitmen akan nilai-nilai itu salah satunya diwujudkan dengan melaporkan gratifikasi.
Presiden Joko Widodo menunjukkan keteladanannya dalam upaya untuk mencegah korupsi. Sejak 2013 hingga 2019, Presiden Jokowi secara konsisten melaporkan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kepatuhan Presiden Jokowi tersebut dapat menjadi contoh bagi para pejabat atau penyelenggara negara untuk patuh dalam melaporkan dan menolak gratifikasi yang menjadi bagian upaya mencegah tindak pidana korupsi. Presiden Jokowi berpesan agar antikorupsi, kepantasan, dan kepatutan harus menjadi budaya.
Pada 2017, Presiden Jokowi mendapatkan penghargaan dari KPK sebagai pelapor gratifikasi dengan nilai terbesar. Ia menjadi presiden pertama yang menerima penghargaan tersebut.
Berdasarkan catatan KPK, Presiden Jokowi mulai melaporkan barang gratifikasi yang diterima pada 2013, yakni sebuah gitar bas seharga Rp 8,5 juta. Setahun kemudian, ia menyerahkan sebuah kacamata merek Hawkers senilai 25 euro. Pada 2016, Presiden Jokowi menyerahkan plakat, lukisan, dan tea set senilai Rp 310,74 juta.
Pada 2017, Presiden Jokowi mendapatkan penghargaan dari KPK sebagai pelapor gratifikasi dengan nilai terbesar. Ia menjadi presiden pertama yang menerima penghargaan tersebut. Penghargaan itu diberikan KPK setelah Presiden Jokowi melaporkan gratifikasi atas sejumlah barang senilai Rp 58,46 miliar.
Beberapa barang yang dilaporkan Presiden Jokowi di antaranya piringan hitam album Metallica, Master of Puppets, senilai Rp 11 juta dan dua kuda jantan tipe Sandelwood senilai Rp 70 juta. Selain itu, ada jam tangan, buku, minyak wangi, perhiasan wanita, perhiasan pria, dan sebagainya yang nilainya mencapai lebih dari Rp 58,38 miliar.
Penghargaan tersebut tidak hanya diberikan KPK kepada Presiden Jokowi. Pada akhir 2020, KPK memberikan penghargaan serupa kepada tiga pelapor gratifikasi, yakni Kepala Kantor Urusan Agama Cimahi Tengah, Jawa Barat, Budi Ali Hidayat; pegawai tetap PT Kereta Commuter Indonesia, Wahyu Listyantara; serta Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, Apriansyah.
Budi Ali Hidayat tercatat telah melaporkan gratifikasi kepada KPK hingga 88 kali sejak 2019. Apriansyah diberi penghargaan karena melaporkan gratifikasi setelah mendapatkan pemberian dari seseorang yang mempunyai hubungan kerja dengannya berupa pengaspalan jalan di depan rumahnya.
Baca juga: Budi Ali Hidayat, Asa di Tengah Gelombang Kasus Korupsi
Wahyu Listyantara melaporkan gratifikasi setelah mendapatkan cek senilai Rp 100 juta. Jumlah tersebut merupakan nominal pelaporan tertinggi di tahun 2020 (Kompas, 20/12/2020).
Museum Gratifikasi
Konsistensi Presiden Jokowi dalam melaporkan gratifikasi kembali ditunjukkan pada 2019. Ia menyerahkan 12 barang gratifikasi senilai Rp 8,7 miliar.
Ke-12 barang tersebut di antaranya sebuah lukisan bergambar Kabah, satu kalung dengan taksiran emas 18 karat, sebuah jam tangan merek Bovet AIEB001, sebuah cincin bermata blue saphire 12,46 karat, tasbih berbahan batu mulia berlian dan blue sapphire, dua buah minyak wangi, serta satu set Al Quran.
Konsistensi Presiden Jokowi dalam melaporkan gratifikasi kembali ditunjukkan pada 2019. Ia menyerahkan 12 barang gratifikasi senilai Rp 8,7 miliar.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding mengungkapkan, barang-barang tersebut diterima Presiden Jokowi dari Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dalam kunjungan kerja Presiden ke Arab Saudi pada 15 Mei 2019.
Melalui surat Keputusan Nomor 1527 Tahun 2020 tanggal 27 Oktober 2020, KPK memutuskan ke-12 barang tersebut ditetapkan menjadi milik negara. KPK telah menyerahkan barang tersebut kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan pada 9 Februari 2021 di kantor Kepala Sekretariat Presiden.
Baca juga: Anggaran Daerah yang ”Diendapkan” di Bank Rawan Gratifikasi
Sekretariat Presiden berencana menyimpan barang-barang gratifikasi yang pernah dilaporkan Presiden Jokowi di Museum Gratifikasi yang akan dibangun sebagai sebuah pembelajaran. Untuk mewujudkan rencana penyimpanan barang-barang tersebut di museum, maka Sekretariat Negara sebagai satuan kerja akan mengajukan Penetapan Status Penggunaan (PSP) kepada Kemenkeu atas ke-12 barang tersebut.
PSP juga akan diajukan atas barang-barang yang pernah dilaporkan ke KPK pada 2017 oleh Presiden Jokowi dan beberapa pejabat lainnya dari Raja Salman yang nilainya mencapai Rp 108 miliar.
Imbauan utama KPK adalah agar penyelenggara negara menolak setiap pemberian gratifikasi sehingga mereka tidak perlu melaporkan kepada KPK.
Ipi menuturkan, Presiden Jokowi telah memberikan keteladanan dalam hal kepatuhan melaporkan gratifikasi. Meskipun demikian, imbauan utama KPK adalah agar penyelenggara negara menolak setiap pemberian gratifikasi sehingga mereka tidak perlu melaporkan kepada KPK.
”Jika tidak bisa menolak, maka wajib melaporkan kepada KPK agar terbebas dari ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” tutur Ipi. Ia mencontohkan, pemberian gratifikasi tersebut dilakukan dengan tidak secara langsung sehingga tidak bisa menolak.
Menurut Ipi, pelaporan gratifikasi tersebut untuk melindungi penyelenggara negara dari potensi konflik kepentingan karena penerimaan gratifikasi yang berkaitan dengan jabatannya. Karena itu, KPK mendorong instansi agar membuat aturan internal untuk mengendalikan gratifikasi.
Baca juga: Praktik Suap dan Gratifikasi Terus Terjadi
Antikorupsi
Kepatuhan Presiden Jokowi melaporkan gratifikasi menjadi wujud komitmennya dalam gerakan budaya antikorupsi seperti yang ia tegaskan dalam kegiatan Aksi Nasional Pencegahan Korupsi yang diselenggarakan pada Agustus 2020 lalu.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menegaskan, masyarakat harus memahami apa itu gratifikasi dan menjadi bagian untuk mencegah korupsi. Antikorupsi, kepantasan, dan kepatutan harus menjadi budaya.
”Takut melakukan korupsi bukan hanya terbangun atas ketakutan terhadap denda dan terhadap penjara. Takut melakukan korupsi juga bisa didasarkan pada ketakutan kepada sanksi sosial, takut dan malu pada keluarga, tetangga, dan Allah, kepada neraka,” tegas Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi mengajak seluruh komponen bangsa menjadi bagian penting dari gerakan budaya antikorupsi. Tokoh agama, tokoh budaya, tokoh masyarakat, dan para pendidik, institusi pendidikan, keagamaan, serta kesenian adalah bagian yang sangat penting dari upaya ini.
”Dengan keteladanan kita semuanya, dengan perbaikan regulasi dan reformasi birokrasi, saya yakin insya Allah masyarakat akan menyambut baik gerakan budaya antikorupsi ini,” kata Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi mengajak seluruh komponen bangsa menjadi bagian penting dari gerakan budaya antikorupsi.
Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengakui, Presiden Jokowi adalah contoh baik dari penyelenggara negara yang melaporkan gratifikasi secara rutin. Selain Presiden Jokowi, ada juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang rajin melaporkan gratifikasi.
Meskipun demikian, hal yang penting untuk dilakukan oleh penyelenggara negara adalah sesuai prinsip dasar korupsi, yakni menolak gratifikasi. Sebab, gratifikasi adalah salah satu bentuk dari korupsi.
”Melaporkan gratifikasi tidak boleh dimaknai sebagai bentuk prevalensi terhadap korupsi. Justru harus dipahami sebagai bentuk aksi langsung dalam menolak korupsi,” tutur Wawan.
Konstruksi budaya
Kebiasaan memberikan sesuatu seperti yang tertuang dalam Pasal 12B UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ternyata masih marak terjadi di Indonesia. Adapun pemberian tersebut, di antaranya meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Berdasarkan data KPK per 31 Mei 2020, jumlah laporan gratifikasi yang masuk di KPK sebanyak 11.368 laporan. Jika dilihat laporan dari 2015 sampai dengan 2019, jumlahnya terus meningkat. Bidang eksekutif selalu menduduki peringkat teratas sebagai pelapor terbanyak.
Gratifikasi masih marak terjadi di Indonesia. Sebab, konstruksi budaya saling memberi dan bentuk terima kasih telah menjadi norma lumrah di masyarakat.
Wawan mengakui, gratifikasi masih marak terjadi di Indonesia. Sebab, konstruksi budaya saling memberi dan bentuk terima kasih telah menjadi norma lumrah di masyarakat. Karena itu, penting membongkar konstruksi tersebut dengan menggunakan pendekatan teori relasi kuasa dan perspektif benturan kepentingan.
Seorang penyelenggara negara menerima gratifikasi karena posisi, tugas, dan fungsinya. Padahal, apa yang dilakukan penyelenggara negara tersebut adalah kewajiban yang seharusnya dikerjakan olehnya. Karena itu, para penyelenggara negara tidak boleh menoleransi gratifikasi.