Semangat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik justru bergeser dari menjaga ruang digital jadi memagari manusia satu dengan lainnya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada praktiknya memagari hubungan antarmanusia. Fungsinya bergeser dari semangat awal menjaga ruang digital, menjadi alat saling tuntut antar-personal hingga antar-anggota keluarga.
Undang-undang ini bahkan memperuncing perselisihan di dalam keluarga hingga berujung pada tuntutan di pengadilan. Vivi Nathalia (42), warga Jakarta Utara, ini contohnya, kini berstatus terpidana hukum percobaan setelah ia mengunggah pesan berisi ungkapan kekesalan terhadap kakak iparnya di grup percakapan keluarganya di Whatsapp, dan akun Facebook miliknya.
Dihubungi di Jakarta, Jumat (19/2/2021), Vivi mengatakan, ia digugat oleh kakak iparnya terkait pesan tersebut. Ungkapan kekesalan itu ia unggah karena jengkel lantaran kakak iparnya mengunggah foto liburan keluarga di media sosial dibandingkan menyicil pinjaman sebesar Rp 450 juta kepada dirinya.
Persisnya pada 23 Oktober 2018, Vivi dilaporkan oleh Tatang Surja, kakak iparnya, ke kepolisian atas dugaan pencemaran nama baik di media sosial terkait tagihan utang Rp 450 juta. Tujuh bulan kemudian perkara itu pun terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Dalam catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, ada 375 kasus yang menjerat warganet terkait UU ITE sejak 2008 hingga awal 2021.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 13 Februari 2020, seperti dicatat dalam berkas perkara Nomor 882/Pid.Sus/2019/PN.Jkt.Brt, memutuskan vonis pidana terhadap Vivi selama 1 tahun tanpa dijalani kecuali ada putusan hakim lain dan ada tindak pidana sebelum masa percobaan dua tahun selesai. Dua bulan berselang, Pengadilan Tinggi menguatkan putusan pidana itu melalui nomor 147/PID.SUS/2020/PT.DKI.
Upaya mediasi selama perkara berproses pun mentok. Kakak iparnya meminta syarat perdamaian yang sangat berat. Vivi tidak bisa menyebutkan syaratnya karena khawatir berimplikasi pada hukuman percobaannya.
Ia menuturkan, proses hukum sangat melelahkan hingga keluarganya nyaris berantakan. Mulai dari harus bolak balik ke kantor polisi, pengadilan, hingga urusan pribadi terbengkalai.
”Dari luar kelihatan baik-baik saja, tapi dampaknya ke psikis. Suami stres, anak-anak takut. Suami sampai kena vertigo tidak bisa bangun dari tempat tidur,” katanya.
Keluarga Vivi pun dilanda kecemasan dan takut setiap kali mendengar dering bel rumah dan ketukan pintu. Mereka khawatir kedatangan polisi, jaksa atau kakak iparnya untuk urusan kasus pencemaran nama baik.
Dampak lainnya ketika mengakses media sosial. Ia dan suami berulang kali membaca termasuk menghapus unggahan karena khawatir berbuntut perkara. ”Baca lagi, kadang baru unggah langsung hapus. Sangat melelahkan secara mental,” ujarnya.
Pada akhirnya keluarga kecil ini memutuskan pindah rumah dari Jakarta Barat. Mereka mengontrak rumah di Jakarta Utara dengan harapan bisa menyembuhkan stres dan trauma.
Sasar semua
Dalam catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, ada 375 kasus yang menjerat warganet terkait UU ITE sejak 2008 hingga awal 2021. Perkara Vivi merupakan salah satunya, dan yang turut didampingi oleh SAFEnet dan Paguyuban Korban UU ITE.
Laporan SAFEnet menyimpulkan, jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak terjerat pasal-pasal karet di UU ITE.
Ketua Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad mengatakan, sekarang ada kecenderungan masyarakat menggunakan UU ITE untuk menjerat orang-orang yang menyakitinya secara personal. Dari situ tampak bahwa UU ITE bisa menyasar siapa saja.
”Perlahan sudah mulai terjadi. Kalau sebelumnya jadi alat penguasa atau pemodal, sekarang jadi alat saling memenjarakan antarwarga,” katanya.
Ia menyayangkan dampak jeratan UU ITE kepada orang yang menjalani hukuman. Dampaknya beragam, mulai dari keluarga berantakan, anak kehilangan harapan, trauma, ketakutan, dan banyak lagi.
”UU ITE memagari manusia satu dan lain. Kini beda pendapat atau ejekan langsung dilaporkan, hingga berurusan hukum,” ujarnya.