Salah satu aturan dalam RUU Perampasan Aset menyasar aset-aset yang tak dapat dibuktikan asal-usulnya dan diduga terkait dengan tindak pidana. Untuk itu, konsep pembuktian terbalik yang akan diterapkan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Salah satu aturan dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana menyasar aset-aset yang tak dapat dibuktikan asal-usulnya dan diduga terkait dengan tindak pidana. Untuk itu, konsep pembuktian terbalik yang akan diterapkan.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae, menegaskan, RUU Perampasan Aset strategis dalam upaya memberantas tindak pidana ekonomi, khususnya korupsi. Salah satu objek perampasan aset dalam RUU yakni unexplained wealth atau aset yang tak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan dan tak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya secara sah dan diduga terkait tindak pidana.
“Tahap aset-aset yang tidak dapat dijelaskan sumbernya dapat diajukan permohonan perampasan aset berdasarkan UU Perampasan Aset ini kelak,” kata Dian, Kamis (18/2/2021).
Seperti diberitakan sebelumnya, PPATK menginisiasi penyusunan RUU Perampasan Aset sejak 2008. RUU itu pun sebenarnya telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan 2020-2024 tetapi hingga kini, tak kunjung dimasukkan dalam prolegnas tahunan sebagai syarat RUU dibahas, oleh pemerintah dan DPR.
Menurut Dian, aset tidak seimbang dapat diperoleh, misalnya, dari petunjuk perhitungan total kekayaan yang diperoleh antara lain, dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Laporan Pajak Penghasilan Pegawai (LP2P), dan Surat Pajak Tahunan (SPT).
Unexplained wealth merupakan pendekatan perampasan aset dari negara. Negara memiliki kewenangan merampas aset yang tak dapat dijelaskan atau tak dapat dibuktikan berasal dari kegiatan yang legal.
Adapun perampasan aset melalui unexplained wealth tidak terbatas pada penyelenggara negara saja, tetapi seluruh profil dan kegiatan. Hal ini sedikit berbeda dengan konsep perampasan aset illicit enrichment (peningkatan kekayaan secara tidak sah) di mana terbatas pada penyelenggara negara. Konsep itu pun dikenal secara global sebagai bentuk pemulihan aset yang diduga berasal dari tindak pidana.
Pembuktian terbalik
Konsep perampasan aset unexplained wealth, menurut Dian, dilakukan melalui peradilan kuasi perdata dan pidana dengan pembuktiannya melalui beban pembuktian terbalik.
Konsep ini tidak mengharuskan adanya putusan pidana atas kesalahan pelaku. Namun, cukup dalam hal penegak hukum menduga aset tersebut terkait dengan suatu tindak pidana, maka dapat dilakukan perampasan untuk negara.
Penerapan konsep ini menjadi penting untuk mengatasi beberapa gap regulasi di Indonesia. Khususnya, terhadap aset-aset yang berdasarkan putusan tindak pidana tidak dirampas oleh negara karena tidak dibuktikan di pengadilan.
Hal tersebut juga dapat diterapkan terhadap aset-aset atas pelaku tindak pidana yang telah meninggal dunia atau hilang, termasuk penanganan aset-aset yang disimpan pada rekening yang dibuka dengan menggunakan identitas palsu. Dengan UU Perampasan Aset ini, diharapkan upaya penyelamatan aset lebih optimal.
Wajib dimiliki
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengatakan, keberadaan UU Perampasan Aset wajib dimiliki saat ini dan bukan hanya menjadi pelengkap dari UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Salah satu alasan urgensi dari UU Perampasan Aset karena paradigma pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung terpaku pada konsep mengejar pelaku kejahatan, bukan mengejar uang atau harta kekayaan hasil dari tindak pidana.
Berdasarkan pantauan TII dari 2014-2018, ada sekitar 534 perkara tindak pidana korupsi. Namun, penerapan delik pencucian uang dari UU TPPU di dalam dakwaan penuntut umum hanya 23 terdakwa.
Ia menyebutkan, ada dua modalitas utama yang ada pada RUU Perampasan Aset. Di dalam RUU ini terdapat pembuktian terbalik, sehingga seseorang yang punya aset tidak seimbang penghasilannya dan tidak dapat menjustifikasinya, dapat dirampas negara.
Selain itu, ada konsep baru yang sebenarnya sudah banyak diterapkan di berbagai negara, yakni non-conviction based (NCB). Dengan cara ini, perampasan aset secara paksa dapat ditempuh tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelaku kejahatan seperti pada pelaku yang meninggal, kabur, dan sakit permanen.
Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko mengingatkan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Antikorupsi atau UNCAC pada 2006. UNCAC mengamanatkan, RUU Perampasan Aset jadi salah satu yang harus disahkan, sehingga RUU harus segera dibahas dan dituntaskan oleh pemerintah dan DPR.
“Dengan UU ini diharapkan ada jaminan terhadap transparansi dan akuntabilitas pada mekanisme pengembalian aset-aset negara tersebut,” kata Wawan.