Masyarakat Sipil Dorong Revisi UU ITE Masuk Prolegnas 2021
Masyarakat sipil mendorong pemerintah dan DPR duduk bersama memasukkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik ke Prolegnas Prioritas 2021. Revisi UU ITE diharapkan tidak hanya menjadi wacana politik tanpa realisasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat sipil menilai penerbitan pedoman implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE diperlukan untuk jangka pendek. Namun, untuk mencegah korban pasal karet di masa mendatang, tetap dibutuhkan revisi kedua UU ITE. Pemerintah dan DPR didorong untuk duduk bersama memasukkan revisi UU tersebut ke Program Legislasi Nasional 2021.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ”Revisi UU ITE: Setelah Korban Berjatuhan” yang diadakan Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis, Jumat (19/2/2021). Sejumlah aktivis, seperti Ray Rangkuti dari LIMA Indonesia, Jeirry Sumampow dari Tepi Indonesia, Arif Susanto dari Exposit Strategic, Lucius Karus dari Formappi, dan Badiul Hadi dari Seknas Fitra, hadir sebagai narasumber.
Ray Rangkuti mengatakan, panduan UU ITE yang dibuat oleh Polri tetap dibutuhkan untuk strategi jangka pendek. Pilihan membuat panduan lebih praktis dan realistis serta tidak membutuhkan lobi-lobi politik di DPR. Secara jangka pendek, hal itu bisa dipergunakan untuk mencegah munculnya korban baru pasal karet UU ITE. Namun, untuk jangka panjang, masyarakat sipil tetap mendorong revisi UU ITE. Sebab, yang bermasalah bukan hanya implementasinya, tetapi juga pada substansi pasalnya.
Pilihan membuat panduan lebih praktis dan realistis serta tidak membutuhkan lobi-lobi politik di DPR. Secara jangka pendek, hal itu bisa dipergunakan untuk mencegah munculnya korban baru pasal karet UU ITE.
Menurut Ray, sebenarnya revisi UU ITE saja tidaklah cukup. Sebab, sejumlah pasal karet, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan, masih ada di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila substansi pasal karet dihapus dari UU ITE, pihak tertentu masih bisa merujuk pada pasal KUHP sehingga seharusnya revisi UU ITE dilakukan paralel dengan KUHP. Apalagi dalam perkembangannya RUU KHUP sudah beberapa kali masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) di DPR. Namun, sampai saat ini revisi masih terkatung-katung nasibnya.
”Panduan (UU ITE) dibutuhkan untuk menentukan apakah delik aduan layak diproses hukum atau tidak. Namun, karena substansi pasal yang ada di UU ITE sendiri bermasalah, revisi tetap harus dilakukan, termasuk juga bagaimana menghapus pasal-pasal karet di KUHP,” kata Ray.
Arif Susanto mengatakan, karena sudah muncul pernyataan publik dari Presiden Joko Widodo, kini saatnya masyarakat sipil mendesak dan menekan pemerintah dan DPR. Revisi UU ITE jangan sampai hanya menjadi basa-basi politik semata. Wacana itu harus disikapi secara serius. Siapa yang berinisiatif merevisi UU ITE harus jelas.
Mendesak
Menurut dia, revisi UU ITE sangat mendesak dilakukan saat ini. Sebab, UU ITE telah mengancam kebebasan sipil. Saat ini, kualitas demokrasi di Indonesia terus menurun. Bahkan, survei terbaru lembaga internasional The Economist Intelligence Unit (EIU) menyatakan, skor indeks demokrasi Indonesia terendah dalam 14 tahun terakhir. Selain indeks demokrasi yang menurun, indeks persepsi korupsi (IPK) juga menurun dan berada di bawah Timor Leste. Skor IPK Indonesia tahun 2020 merupakan penurunan kedua sejak tahun 1999.
”Masyarakat sipil harus bersatu, mengonsolidasikan kekuatan, menekan pemerintah dan DPR agar wacana revisi UU ITE tidak menjadi basa-basi politik semata,” kata Arif.
Revisi UU ITE sangat mendesak dilakukan saat ini. Sebab, UU ITE telah mengancam kebebasan sipil. Apalagi, saat ini, kualitas demokrasi di Indonesia terus menurun.
Lucius Karus mengatakan, peluang revisi UU ITE masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021 masih sangat terbuka. Sebab, hingga masa reses ini, DPR belum mengetok daftar RUU yang masuk ke dalam Prolegnas 2021. Jika memang wacana untuk merevisi UU ITE serius, seharusnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) menindaklanjuti hal itu ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Menkumham dapat membahas ulang daftar usulan prolegnas nasional 2020-2024 dalam pertemuan resmi di Baleg.
”Tidak bisa disangkal, revisi UU ITE adalah kebutuhan mendesak. Setelah presiden menyampaikan sikapnya, seharusnya Menkumham membahas daftar mana saja RUU prioritas itu bersama DPR dan DPD. Kemudian keputusan itu disahkan di Baleg. Rencana harus dituangkan dalam daftar prioritas prolegnas. Jangan sampai hanya jadi basa-basi politik,” kata Lucius.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan, DPR memandang revisi UU ITE memang penting karena sudah masuk dalam daftar panjang (long list) prolegnas sejak awal 2019. Apalagi, saat ini, sudah ada tuntutan dari masyarakat dan kehendak dari Presiden untuk merevisi UU ITE. Muncul banyak kritik di media terhadap implementasi UU ITE khususnya terkait pemidanaan.
DPR memandang revisi UU ITE memang penting karena sudah masuk dalam daftar panjang (long list) prolegnas sejak awal 2019. Apalagi, saat ini, sudah ada tuntutan dari masyarakat dan kehendak dari Presiden untuk merevisi UU ITE.
Langkah pemerintah untuk menginisiasi UU ITE sangat tepat dan berada pada momentum yang pas saat banyak orang mengandalkan transaksi elektronik di masa pandemi. Untuk menindaklanjuti wacana itu, pemerintah atau DPR bisa mengajukan naskah akademik dan draf revisinya. Bagi DPR, substansi yang penting adalah menciptakan ekosistem transaksi elektronik dan digital yang sehat, demokratis, dan produktif bagi masyarakat.
”Hal ini menjadi konsen kami di Fraksi Nasdem. Soal pasal karet, pemidanaan berlebihan, ujaran kebencian, insinuasi, perundungan, dan defamasi harus diatur lebih lanjut sesuai dengan perkembangan internet di masa depan,” kata Willy.
Willy juga berharap revisi UU ITE lebih komprehensif dan berorientasi pada perkembangan dunia digital Indonesia di masa depan. Jika UU ITE saat ini belum ideal, tentu saja revisi terbuka dilakukan. Apalagi jika revisi itu dilaksanakan beriringan dengan rancangan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Diharapkan hal tersebut dapat menjadi upaya komprehensif membangun ekosistem digital yang sehat, demokratis, dan produktif.