MK meloloskan 32 perkara sengketa pilkada ke tahap pembuktian. Sementara 100 perkara lainnya dihentikan pemeriksaannya karena mayoritas tidak memenuhi syarat ambang batas pengajuan selisih hasil pilkada.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 100 perkara sengketa hasil Pilkada 2020 yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi selama Senin-Rabu (15-17/2/2021), tidak ada satu pun yang berlanjut ke sidang pembuktian. Mayoritas permohonan diputus tidak dapat diterima. Dengan demikian, hanya 32 perkara yang berlanjut ke sidang pembuktian.
Dari 100 perkara yang telah diputus, 90 perkara di antaranya diputus tidak dapat diterima. Adapun enam permohonan telah ditarik kembali, dua permohonan gugur, dan dua permohonan lainnya diputuskan bahwa MK tidak berwenang untuk mengadilinya.
”Perkara yang berlanjut sebanyak 32 perkara,” kata anggota Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy’ari, di Jakarta, Rabu (17/2/2021). Adapun permohonan perselisihan hasil Pilkada 2020 di MK sebanyak 136 permohonan, tetapi perkara yang diregister hanya 132 perkara.
Perkara yang berlanjut sebanyak 32 perkara.
Peneliti Kajian Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Ihsan Maulana, mengatakan, banyak perkara yang diputus tidak dapat diterima disebabkan pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Hal itu karena pemohon tidak memenuhi ketentuan ambang batas selisih suara hasil pilkada.
Berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, syarat perkara yang bisa dibawa ke MK jika memenuhi ambang batas selisih pilkada 0,5-2 persen sesuai jumlah penduduk. Syarat ini dijadikan MK sebagai dasar kedudukan hukum bagi pemohon. Namun, MK akan mengesampingkan ketentuan ambang batas itu jika sejumlah kondisi terpenuhi.
Ihsan menilai, penerapan ambang batas saat pemeriksaan pendahuluan cukup disesalkan karena kurang memenuhi keadilan substantif. Ambang batas seharusnya diterapkan saat sidang pemeriksaan. Penerapannya pun semestinya dilakukan sama ke semua perkara karena ada beberapa perkara yang tidak memenuhi ambang batas bisa berlanjut ke sidang pembuktian.
Penerapan ambang batas saat pemeriksaan pendahuluan cukup disesalkan karena kurang memenuhi keadilan substantif.
Apalagi dalam mempertimbangkan bukti dari pemohon, termohon, Badan Pengawas Pemilu, dan pihak terkait, mereka hanya memiliki waktu satu kali sidang untuk menjelaskan bukti yang dimiliki. Waktu satu kali persidangan itu dinilai tidak cukup untuk menjelaskan bukti-bukti agar ketentuan ambang batas bisa dikesampingkah oleh MK.
”Seharusnya MK bisa mengambil keputusan yang jauh lebih baik daripada ini, harapannya ambang batas tidak diperhitungkan terlebih dahulu,” tuturnya.
Selain itu, kata Ihsan, masih ada puluhan perkara yang tidak diterima karena melebihi batas waktu tiga hari kerja usai penetapan oleh KPU. Menurut dia, hal ini banyak tidak dipahami oleh pemohon sehingga perkara tidak dapat berlanjut ke sidang pembuktian.
”Kesalahan penafsiran hari masih cukup banyak, beberapa menganggap waktu tiga hari dihitung keesokan hari usai penetapan perolehan suara oleh KPU,” katanya.
Ada beberapa penyebab daerah dengan selisih suara di atas ambang batas tetap berlanjut ke tahap pembuktian. Pertama, daerah-daerah yang memiliki rekomendasi Bawaslu terkait dengan diskualifikasi calon, misalnya Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Nias Selatan.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, ada beberapa penyebab daerah dengan selisih suara di atas ambang batas tetap berlanjut ke tahap pembuktian. Pertama, daerah-daerah yang memiliki rekomendasi Bawaslu terkait dengan diskualifikasi calon, misalnya Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Nias Selatan.
Kedua, daerah dengan kontroversi pemenuhan syarat calon, misalnya di Boven Digoel. Terakhir, daerah-daerah yang didalilkan pemohon telah terjadi kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
”Keputusan MK untuk melanjutkan daerah-daerah dengan selisih ambang batasnya di atas ketentuan Pasal 158 tentu dilandasi pertimbangan hukum yang sangat kuat. Sebab, hal itu pasti akan menyita banyak perhatian dan telaah publik terkait dengan konsistensi MK dalam upaya mewujudkan pemilu yang konstitusional dan demokratis,” kata Titi.
Daerah-daerah di atas ambang batas yang lolos ke sidang pembuktian memiliki tantangan cukup berat untuk menang. Kemampuan menyusun argumentasi, menyiapkan alat bukti yang relevan, dan membangun korelasi yang kuat dengan petitum yang diajukan akan menentukan dikabulkan atau tidaknya suatu permohonan.
”MK akan sangat mempertimbangkan bagaimana proses penanganan pelanggaran dan penegakan hukum dilakukan selama proses pemilihan berlangsung. Sebab, MK bukan keranjang sampah yang harus menyelesaikan semua hal, apalagi kalau itu sekadar menyangkut ketidakpuasan peserta atas hasil pemilihan,” ujar Titi.