Presiden Jokowi: Penggunaan Teknologi Informasi Tingkatkan Performa Peradilan
Presiden Jokowi meminta Mahkamah Agung meneruskan upaya mencapai peradilan modern melalui pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi dinilai telah meningkatkan performa peradilan di tahun 2020.
Oleh
FX Laksana AS
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan teknologi informasi dalam sistem peradilan di Indonesia telah meningkatkan performa penyelenggaraan peradilan pada 2020. Ikhtiar untuk mencapai sistem peradilan yang modern ini diharapkan terus berlanjut menyasar aspek-aspek lainnya sehingga kualitas layanan peradilan secara keseluruhan juga terus meningkat.
”Penerapan teknologi informasi dalam sistem peradilan di Mahkamah Agung terbukti mampu meningkatkan kinerja penyelenggara peradilan secara signifikan. Jumlah perkara yang diterima terbanyak dalam sejarah, perkara yang diputus juga terbanyak sepanjang sejarah. Tentu ini bisa dilakukan tanpa mengurangi kualitas putusan,” kata Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Sidang Pleno Istimewa Laporan Tahunan Mahkmah Agung (MA) untuk kinerja tahun 2020 di Jakarta, Rabu (17/02/2021).
Untuk itu, Presiden berharap MA terus meningkatkan kualitas pengadilan elektronik. Termasuk di dalamnya adalah standardisasi kewajiban para pihak, pemeriksaan saksi dan ahli menggunakan sistem dalam jaringan, dan salinan putusan elektronik. Hal lainnya adalah perluasan pengadilan elektronik untuk perkara-perkara perdata yang bersifat khusus.
”Upaya-upaya untuk melakukan reformasi peradilan melalui penerapan sistem peradilan yang modern adalah keharusan. Sebagai benteng keadilan, Mahkamah agung dapat mewujudkan kepastian hukum bagi masyarakat, pelaku usaha, dan investor melalui keputusan-keputusan yang mengurangi disparitas pemidanaan,” kata Presiden.
Terobosan-terobosan yang telah dilakukan, menurut Presiden, membuktikan bahwa sistem peadilan di Indonesia mampu beradapatasi dengan cepat. Harapannya, inovasi terus dilakukan agar mampu melayani masyarakat dengan lebih cepat dan lebih baik.
Namun, Presiden mengingatkan bahwa percepatan penggunaan teknologi bukanlah tujuan akhir. Percepatan penggunaan teknologi adalah pintu masuk untuk transformasi yang lebih luas dan lebih besar dalam penyelengaraan peradilan guna mempercepat terwujudnya peradilan yang modern.
Dalam acara virtual tersebut, Presiden berada di Istana Negara, Jakarta, didampingi Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Tersambung pula dalam jaringan, Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Adapun, jajaran pimpinan MA berada di Gedung MA.
Dalam laporannya, Ketua MA, M Syarifuddin menyatakan, pandemi Covid-19 mendorong MA untuk mempercepat terbentuknya regulasi tentang administrasi dan persidangan perkara pidana secara elektronik. Mengacu pada Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, migrasi dari sistem peradilan konvensional ke sistem peradilan elekronik baru terjadi pada periode 2021-2026. Namun, sistem peradilan elektronik ternyata berhasil diwujudkan setahun lebih cepat.
”Konsep peradilan modern tidak cukup hanya dengan menyiapkan regulasi dan membangun perangkat-perangkat teknologi, tetapi harus dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan para pencari keadilan. Tujuan dibangunnya peradilan modern adalah untuk mempercepat proses penyelesaian perkara dan memberikan kemudahan bagi para pencari keadilan dalam menyelesaikan perkaranya,” kata Syarifuddin.
Penyesuaian
Pandemi Covid-19, menurut Syarifuddin, merupakan musibah bagi peradaban umat manusia dan telah banyak merenggut korban jiwa. ”Termasuk juga di kalangan warga peradilan. Pandemi merupakan tantangan terbesar di awal saya menjabat sebagai Ketua MA,” kata Syarifuddin.
Di tengah penyebaran Covid-19 yang sedang merajalela pada 2020, menurut Syarifuddin, MA harus memastikan bahwa proses peradilan dan layanan akses keadilan bisa berjalan dengan baik. Sebab, terhentinya proses peradilan akan berdampak besar bagi stabilitas keamanan bangsa dan negara serta akan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
”Penanganan perkara-perkara tertentu tidak dapat dihentikan sekalipun dalam kondisi pandemi. Bagi perkara pidana yang terdakwanya ditahan atau perkara-perkara yang telah ditentukan jangka waktu penyelesaiannya oleh undang-undang tetap harus disidangkan meskipun disadari bahwa hal itu sangat berisiko bagi kesehatan dan keselamatan jiwa para hakim dan aparat peradilan,” kata Syarifuddin.
Untuk itu, MA mengambil langkah-langkah guna melindungi aparatur peradilan dan pencari peradilan. Di antaranya dengan mengubah mekanisme persidangan konvensional menjadi persidangan secara elektronik.
Untuk perkara perdata, perkara perdata agama, perkara tata usaha negara, dan perkara tata usaha militer, persidangan elektronik telah diterapkan karena payung hukumya sudah ada, yakni Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2018 yang diperbarui menjadi Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik.
Dengan demikian, merebaknya pandemi tidak banyak menimbulkan kendala bagi proses penyelesaian perkara. Namun, bagi persidangan perkara pidana, merebaknya pandemi pada awal 2020 sempat menimbulkan kepanikan di kalangan para penegak hukum karena payung hukumnya belum tersedia.
Baru pada 29 September 2020 muncul Peraturan MA Nomor 4 tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana secara Elektronik. Ini menjadi pedoman bagi pelaksanaan sidang secara elektronik untuk perkara pidana, perkara pidana militer, dan perkara jinayat.
Syarifuddin dalam kesempatan itu juga memaparkan capaian kerja MA sepanjang 2020. Dalam hal penanganan perkara melalui sistem peradilan elektronik, produktivitas penyelesaian perkara mencapai 99 persen. Hal ini disebutnya tertinggi dalam sejarah. Padahal, jumlah kasus yang ditangani sepanjang 2020 juga terbanyak sepanjang sejarah MA. ”Tanpa meninggalkan kualitas,” kata Syarifuddin.
Beban perkara MA sepanjang 2020 mencapai 20.761 perkara, terdiri atas 20.544 perkara masuk dan 217 sisa perkara 2019. MA berhasil memutus 20.562 perkara, sehingga sisa perkara 2020 adalah 199 perkara. Jumlah sisa perkara ini adalah yang terendah sepanjang sejarah berdirinya MA. Rasio produktivitas putusan MA adalah 99,04 persen atau lebih tinggi daripada indikator kinerja utama MA sebesar 70 persen.
Jumlah salinan putusan adalah 18.237 perkara. Artinya rasio penyelesaian perkara oleh MA mencapai 88,77 persen. Dari aspek ketepatan waktu, MA telah memutus 19.874 perkara dari 20.562 perkara di bawah tiga bulan atau 96,65 persen. Ini melampaui capaian di 2019 sebesar 96,58 persen.
Sementara pada pengadilan tingkat banding, dari empat lingkungan peradilan dan pengadilan pajak, beban perkara di 2020 adalah 42.095 perkara. Ini terdiri atas 35.927 perkara masuk dan 6.168 perkara sisa 2019. Perkara yang telah diputus di pengadilan tingkat banding dan pegadilan pajak sebanyak 32.077 perkara. Artinya, rasio produktivitas penyelesaian perkara adalah 76,22 persen.
Adapun pengadilan tingkat pertama, beban perkara mencapai 3.893.107 perkara. Ini terdiri atas 3.805.229 perkara masuk dan 87.878 perkara sisa 2019. Jumlah perkara yang diputus 3.772.035 perkara. Sementara itu, 45.474 perkara dicabut dan sisanya 75.598 perkara. Rasio produktivitas putusan perkara 98,06 persen.
Dari penanganan umum tersebut, sebagian di antaranya diproses secara elektronik. Di sepanjang 2020, perkara perdata, perkara perdata agama, dan perkara tata usaha negara yang didata melalui aplikasi e-court di pengadilan tingkat pertama adalah 186.987 perkara, naik 295 persen dari 2019.
Dari jumah tersebut, 8.560 perkara telah disidangkan secara e-litigation. Sementara itu, pada pengadilan tingkat banding, sejak aplikasi e-court pengadilan tingkat banding diresmikan, 19 Agustus 2020, jumlah perkara banding yang telah didaftarkan menggunakan aplikasi e-court sebanyak 294 perkara dengan 82 perkara di antaranya telah diputus.
Jumlah pengguna terdaftar dan pengguna lainnya yang menggunakan layanan e-court sampai dengan 30 Desember 2020 mencapai 119.409 pengguna, terdiri atas 36.077 advokat dan 83.332 pengguna lainnya dari perseorangan, pemerintah, badan hukum, dan kuasa insidentil.
Untuk perkara pidana di luar perkara pelanggaran lalu lintas, perkara pidana militer, dan perkara jinayat, sejak berlakunya Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana secara Elektronik, 115.455 perkara telah diselesaikan oleh sistem persidangan elektronik.
MA juga melaporkan jumlah pidana denda dan uang pengganti melalui putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap pada perkara-perkara pelanggaran lalu lintas, korupsi, narkotika, dan kehutanan. Selain itu juga pada perkara perlindungan anak, perikanan, pencucian uang, dan tindak pidana lainnya.
Denda dan uang pengganti berdasarkan putusan MA adalah Rp 5,65 triliun. Denda dan uang pengganti berdasarkan putusan pengadilan tingkat pertama yang berkekuatan hukum tetap di lingkungan peradilan umum dan militer mencapai Rp 52,86 triliun. Sementara penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah Rp 71,71 miliar.