Pemerintah Berkukuh Tolak Revisi UU Pemilu dan Pilkada
Sikap pemerintah bukan untuk mengganjal Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di pemilu presiden, tidak pula untuk memberi kesempatan bagi Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta terpilih, maju di Pilkada DKI.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·4 menit baca
SEKRETARIAT PRESIDEN
Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Rabu (7/10/2020).
JAKARTA,KOMPAS - Pemilihan kepala daerah serentak nasional tetap digelar sesuai jadwal pada 2024. Pemerintah bersikukuh tidak akan merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan alasan ketentuan mengenai pilkada serentak masih relevan dan belum pernah dilaksanakan.
Kepastian bahwa pemerintah tidak akan menyetujui usulan perubahan UU No 10/ 2016 (UU Pilkada) disampaikan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno melalui keterangan resmi yang disebarluaskan melalui saluran Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (16/2/2021). Pemerintah juga menegaskan tidak akan merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan pertimbangan ketentuan dalam UU tersebut masih relevan.
"Pemerintah tidak menginginkan revisi dua UU tersebut (UU Pemilu dan UU Pilkada). Prinsipnya jangan sedikit-sedikit UU diubah, yang sudah baik ya tetap dijalankan," kata Pratikno.
Perubahan UU 10/2016 serta UU 7/2017 sebelumnya diusulkan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun sejak pertengahan Januari lalu, satu persatu fraksi berubah sikap menjadi menolak revisi. Kini tinggal Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang masih tetap mendorong revisi. Begitu pula banyak kalangan pemerhati pemilu mendorong revisi agar pilkada serentak nasional tak digelar di tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan presiden pada 2024.
Petugas KPPS TPS 46, Kelurahan Pakujaya, Serpong Utara, Tangerang Selatan, menunjukkan surat suara yang tidak sah saat melakukan penghitungan suara pada Pilkada Kota Tangerang Selatan, Selasa (9/12/2020).
Menyikapi polemik itu, pemerintah melalui Mensesneg menegaskan bahwa pilkada serentak tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan dalam UU Pilkada, yakni pada bulan November 2024.
"Kaitannya dengan UU Pilkada, perlu kami tegaskan bahwa ketentuan pilkada serentak itu dilaksanakan bulan November 2024. Jadi pilkada serentak bulan November 2024 itu sudah ditetapkan di tahun 2016," ujar Pratikno.
Ketentuan mengenai pilkada serentak tahun 2024 yang diatur dalam UU Pilkada belum dilaksanakan. Karena itu pemerintah berpandangan akan lebih baik jika ketentuan dalam UU Pilkada tersebut dilaksanakan terlebih dahulu. Revisi baru bisa dilakukan sebagai bentuk evaluasi atas pelaksanaan pilkada serentak.
Dalam keterangan virtual itu, Pratikno menegaskan, pemerintah tidak akan mengubah UU yang sudah diputuskan, tetapi belum dilaksanakan. "Jangan dibalik-balik, pemerintah justru tidak mau mengubah UU yang sudah ditetapkan, tetapi belum kita laksanakan," tuturnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Doa dan ungkapan duka cita untuk petugas yang meninggal karena kelelahan menyelenggarakan Pemilu 2019 terpasang di Kantor Badan Pegawas Pemilu, Jakarta, Rabu (1/5/2019). Dorongan untuk merevisi UU Pemilu salah satunya untuk memisahkan gelaran pilkada serentak nasional dan pemilu legislatif dan presiden tak digelar di tahun yang sama. Gelaran di tahun yang sama berpotensi mengulang tragedi pada Pemilu 2019 saat banyak petugas pemilu meninggal karena kelelahan.
Pilkada DKI Jakarta
Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu pun menampik jika sikap pemerintah tak mau merevisi UU Pilkada dikaitkan dengan kontestasi politik. Keputusan pemerintah diambil bukan untuk mengganjal keikutsertaan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dalam pemilu presiden, tidak pula untuk memberi kesempatan bagi Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta terpilih, maju dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta.
Keputusan pemerintah tidak menyetujui usulan revisi UU Pilkada dilatarbelakangi pertimbangan bahwa ketentuan pilkada serentak tahun 2024 sudah ditetapkan sejak 2016, sehingga tinggal dijalankan saja. Selain itu, pemerintah tidak ingin timbul ketidakpastian jika regulasi pilkada serentak itu diubah.
Adapun terkait UU Pemilu, pemerintah berpandangan masih relevan, sehingga tak perlu diubah. "Prinsipnya, jangan sedikit-sedikit UU diubah, yang sudah baik ya tetap dijalankan. Seperti UU Pemilu itu kan sudah dijalankan dan sukses, kalaupun ada kekurangan hal-hal kecil di dalam implementasi ya itu nanti KPU, melalui PKPU yang memperbaiki," kata Pratikno.
Penyelenggara kewalahan
Menanggapi keputusan pemerintah, peneliti senior Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita menyampaikan, tiga lembaga penyelenggara pemilu akan kewalahan jika pilkada serentak nasional tetap digelar pada 2024. Sebab dalam satu tahun itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus mempersiapkan penyelenggaraan tiga pemilihan sekaligus, yakni pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Yun Lukas (53) menunjukkan foto suaminya, Sonny Langkay (61), yang meninggal karena kelelahan setelah menjadi anggota KPPS Pemilu 2020 di TPS 8 Kleak, Malalayang, Manado.
"Secara prosedur tentu tripartit penyelenggara pemilu, terutama KPU, akan kewalahan dan berpotensi kolaps dan menyiapkan segala macam aturan. Mengingat 20 bulan permulaan masa tahapan Pemilu dan Pilkada tentu ada yang beririsan, dan ini menyulitkan koordinasi di lapangan," kata Mita.
JPPR menduga, pemerintah bertahan untuk melaksanakan pemilu sekaligus pilkada pada 2024 karena meyakini KPU akan mampu menggunakan teknologi dalam teknis penyelenggaraan pemilihan. Padahal berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan Bawaslu maupun lembaga pemantau pemilu, sistem teknologi yang diadopsi KPU seperti Sipol, Sidankam, dan Sirekap belum sepenuhnya aman dari kendala teknis.
Mita mencontohkan penggunaan Sirekap, para petugas KPPS malah harus bekerja dua kali, mengisi berkas dan memasukkan ke dalam aplikasi sirekap.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Petugas memotret kertas rekapitulasi suara saat uji coba Aplikasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) pada pemilihan tahun 2020 di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Hal itu justru tidak efektif, karena memakan banyak waktu. Begitu pula Sidankam, tidak secara otomatis menjawab aspek integritas serta transparansi laporan pendaan kampanye seperti tuntutan UU.
"Penyiapan teknologi yang hanya punya waktu dua tahun tidak akan cukup untuk menjawab kebutuhan penyelenggaraan pemilu dan pilkada secara keseluruhan," katanya.
Oleh karena itu JPPR tetap mengusulkan agar pilkada serentak diselenggarakan pada tahun 2022 dan 2023. Hal itu juga sesuai dengan ketentuan peralihan pada UU Pemilu.