Memaknai Tahun Baru Imlek dari Negeri Silang Budaya
Setiap Tahun Baru Imlek dirayakan, kebinekaan jadi topik yang mengemuka. Padahal, kebinekaan bukan fenomena baru di Indonesia. Sejak mula, Nusantara adalah tempat terjadinya silang budaya dari berbagai corak budaya.
Di tengah pandemi Covid-19, perayaan Tahun Baru Imlek, Jumat (12/2/2021), diadakan secara sederhana. Namun, satu hal yang tidak berubah belakangan ini, setiap kali Imlek dirayakan, kebinekaan menjadi topik yang banyak diperbincangkan. Padahal, kebinekaan bukan fenomena baru di Indonesia. Sejak mula, Nusantara adalah tempat terjadinya silang budaya dari berbagai corak ragam kehidupan manusia dengan berbagai latar belakang. Budaya China atau Tionghoa salah satunya.
Hubungan antarwarga lintas etnis yang cair, misalnya, dikenang Nabil Haroen, anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang juga Ketua Umum Pagar Nusa, sebuah badan otonom di bawah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Kenangan itu diungkapkannya kembali dalam peluncuran buku berjudul Islam di China: Dulu dan Kini, karya Novi Basuki, dan Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas dan Strategi Kebudayaan, karya Munawir Aziz, yang digelar secara daring, Minggu (14/2/2021). Kedua buku itu diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.
Selain Nabil, Novi, dan Munawir, tiga pembicara lainnya adalah Ketua Tanfidziyah PBNU KH Robikin Emhas; Wakil Sekjen Perkumpulan Pengusaha Tionghoa Indonesia (Perpit) yang juga Wakil Ketua Umum Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia, Richard Tan; serta dosen senior SOAS University of London, Soe Tjen Marching.
Nabil mengenang masa kecilnya saat menjadi santri di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Nabil yang mengaku kerap membandel ini banyak melakukan ikhtiar dagang dengan membuat rekaman pengajian melalui rekaman video cakram (VCD). Untuk melakukan produksinya itu, ia membeli piringan video cakram di Kota Kediri.
”Kebetulan yang memiliki toko itu adalah keluarga Tionghoa. Karena saking seringnya datang ke sana, saya sampai diangkat anak oleh keluarga mereka dan diberi nama khusus, Xiao Ming. Kadang saya dipanggil A Ming. Saya merasakan kehangatan dengan keluarga mereka,” tuturnya.
Hubungan yang erat antarmanusia itu, menurut Nabil, tidak membuat dirinya yang Muslim berasa jauh, apalagi bermusuhan dengan keluarga Tionghoa tersebut. Lebih-lebih, Islam mengajarkan tiga jenis persaudaraan, yaitu ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Ketiga jenis persaudaraan itu selama ini menjadi panduannya dalam merajut hubungan baik dengan rekan-rekan bisnisnya dari komunitas Tionghoa.
”Di setiap kelompok, selalu ada oknum. Misalnya, ketika ada orang mengatasnamakan Islam berbuat kasar, tidak bisa di-gebyah uyah (digeneralisasi) wajah Islam begitu. Begitu juga kalau ada pengusaha Tionghoa yang menginjak-injak orang lain, tidak bisa disamakan semua seperti itu,” ungkap Nabil.
Baca juga : Merayakan Imlek dengan Semangkuk Soto
Untuk sampai pada kesadaran semacam itu rupanya bukan sesuatu yang mudah karena membutuhkan ketulusan dan sikap obyektif untuk melihat diri sendiri, orang lain, serta menghargai berbagai perspektif berbeda. Toleransi yang muncul haruslah toleransi yang tulus, asli (genuine), dan bukan semacam jargon yang disuarakan keras-keras, tetapi layu di dalam hati.
Perspektif semacam ini, menurut Richard Tan, harus dijadikan modal untuk menjalani visi-misi bersama ke depan. Dalam melihat kesenjangan ekonomi antara kelompok Tionghoa dan elemen masyarakat lainnya, Richard berpendapat hal itu harus dilihat secara obyektif.
Di dalam organisasi Perpit, misalnya, isu ini dijadikan sebagai persoalan bersama. Tidak semata-mata melihat fakta yang ada, tetapi juga melihat mengapa hal itu terjadi, apa yang memicu, dan bagaimana kemudian persoalan itu diatasi. Cara pandang yang sama perlu digunakan untuk melihat berbagai aspek yang mengaitkan berbagai peristiwa diskriminasi yang dialami warga Tionghoa.
Perpit, misalnya, sudah ada sejak 1906 atau bahkan sebelum Indonesia merdeka. Namun, organisasi itu dilarang, akhirnya hilang. Pelarangan budaya Tionghoa di satu sisi juga memberikan tekanan kepada warga Tionghoa. Hal itu tidak dimungkiri menjadi salah satu faktor yang harus pula diperhatikan dalam melihat komunitas Tionghoa secara utuh. Sentimen pribumi dan nonpribumi sejak lama menjadi kerikil dalam kehidupan berbangsa, dan peristiwa 1998 membuktikan hal itu.
”Pada saat itu, Pak BJ Habibie sebagai presiden dengan jeli melihat, kenapa ada toko yang tidak dirusak. Ternyata, toko yang tidak dirusak ada tulisan ’pri’ dan toko yang dirusak tidak ada tulisan itu. Dari situ, Pak Habibie mengeluarkan inpres, tahun 1998, September, yang melarang penggunaan istilah pri dan nonpri,” katanya.
Reformasi tidak dapat dimungkiri telah menjadi pintu pembuka bagi kelompok Tionghoa untuk masuk ke berbagai sektor dan secara pelan-pelan mendapatkan perlakuan yang lebih baik. Pemerintah secara bertahap memberikan pengakuan lebih luas kepada kelompok Tionghoa.
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur membolehkan perayaan Imlek secara terbuka, secara bertahap napas lega dapat dihirup oleh warga Tionghoa. Di era Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan hari libur. Adapun di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, istilah China yang dimaksudkan untuk merujuk pada kelompok etnis diganti dengan istilah Tionghoa.
”Apa yang dapat kita lakukan saat ini ialah mengambil hikmah dari kesalahan di masa lalu. Jangan sampai kita kembali ke sana, dan hal itu jangan dijadikan kendala bagi kita untuk berhimpun membangun bangsa di masa depan,” kata Richard.
Membaca sejarah
Dalam melihat hubungan antara Muslim dan Tionghoa, Soe Tjen menawarkan pendekatan historis untuk mengurai akar hubungan yang sejak lama sebenarnya harmonis. Ia kembali ke abad ke-15 ketika banyak pedagang dari negara Tiongkok atau China yang berperan sebagai ”diplomat”.
Mereka datang dalam beberapa gelombang dan menjalin hubungan yang erat dengan warga di Nusantara. Berbeda dengan pendatang dari Belanda atau Inggris yang berkarakter menjajah, menurut Soe Tjen, pendatang dari Tiongkok ini bertujuan untuk berdagang.
”Cheng Ho ketika itu datang dengan membawa 62 kapal besar, 225 kapal kecil, dan jumlah ini melebihi ekspedisi-ekspedisi Eropa, seperti Columbus, atau Vasco Da Gama. Tidak seperti VOC yang membawa bedil dan tentara, mereka datang untuk memperkenalkan budaya, Islam. Jadi, ini bisa dianggap sebagai diplomasi Islam antarnegara, bahkan diplomasi pertama di Nusantara,” katanya.
Ketika orang Eropa datang kemudian, mereka tidak dapat lagi membedakan antara orang Tiongkok dan orang Nusantara lainnya karena sudah berbaur. Tahun 1656, ada pula catatan dari seorang pegawai VOC yang mengatakan dia bertemu dengan seorang kapten China dan Syahbandar Banten bernama Abdul Wakid. Menariknya, orang China yang disebutkan oleh catatan itu bergelar kiai.
”Ketika VOC datang, mereka melihat pembauran antara orang-orang China dan warga Nusantara dianggap berbahaya. Lalu mereka melakukan politik pecah belah dengan membuat pembedaan golongan. Di golongan atas ada kelompok Eropa, lalu ada golongan China dan Arab, dan baru ada kelompok pribumi,” tutur Soe Tjen.
Pembentukan kampung-kampung khusus orang China atau pecinan, menurut Soe Tjen, adalah perwujudan dari upaya pecah belah itu. Dengan pembentukan banyak kampung pecinan, tercipta segregasi sosial di antara masyarakat. Hal ini dalam perjalanan sejarahnya membuat proses integrasi tidak terlalu mulus.
Syak wasangka kerap muncul dan secara struktural terkesan dibiarkan oleh rezim penguasa dengan terbitnya beberapa regulasi yang tidak berpihak kepada kelompok minoritas. Sejarah, oleh karena itu, menurut Soe Tjen, harus terus dilihat dengan kritis.
Teladan Nabi
Dalam kerangka ajaran agama, Robikin Emhas mengatakan, Islam mengajarkan hubungan yang harmonis dengan semua golongan. Islam hadir tidak hanya diperuntukkan bagi jalan kebahagiaan dunia-akhirat umat Islam, tetapi juga seluruh golongan. Berdirinya negara-kota Madinah yang diinisiasi Rasulullah SAW menunjukkan karakter negara atau komunitas yang menghargai kemajemukan.
”Madinatul Munawarrah adalah kota yang berperadaban. Rasulullah tidak mendirikan negara atau kota itu dengan platform agama. Di negara yang dihuni oleh penduduk dari berbagai latar belakang, seperti Nasrani, Majusi, dan Pagan, Rasulullah membuat Piagam Madinah sebagai konstitusi yang dibangun mengandung prinsip keadilan, kesetaraan, dan seterusnya. Buktinya jelas, ketika Islam sudah menjadi mayoritas, kelompok minoritas tetap dilindungi, baik dari sisi agama maupun etnis,” ujarnya.
Robikin menambahkan, NU sebagai penerus tradisi ahlussunnah waljamaah memegang teguh tiga ikatan persaudaraan, baik dalam keimanan, kebangsaan, maupun kemanusiaan. Hubungan umat Islam di Indonesia dengan kelompok yang berbeda, misalnya dengan kelompok Tionghoa, juga dapat dirunut jauh di era kerajaan. Raden Patah yang merupakan raja Islam pertama di tanah Jawa dikenal dengan nama Jin Bun dan diketahui sebagai anak dari Brawijaya V dengan putri China.
Jika sejarah yang panjang dan harmonis antara umat Islam dan warga Tionghoa di Indonesia ingin ditarik dalam kehidupan saat ini, contoh inklusivitas Gus Dur kiranya dapat menjadi acuan. Gus Dur tidak menjadikan Barat sebagai patokan metodologi untuk melihat Islam itu bagaimana. Di sisi lain, Gus Dur juga tidak membuat instrumen ideologis menjadi titik tolak untuk melihat nilai-nilai keberagaman. Dengan sudut pandang inklusivitas itu, muncullah pribumisasi Islam sebagaimana dipopulerkan Gus Dur tahun 1980-an dan 1990-an.
”Cara pandang yang inklusif ialah terbuka terhadap semua pandangan. Jadi, mengambil semua yang baik dan menyisihkan yang jelek, serta mereduksinya menjadi instrumen kepantasan, kelayakan, pertimbangan rasional. Oleh karena itu, harus ada dialog,” ucapnya.
Sekalipun Imlek dirayakan lebih sederhana kali ini, maknanya menjadi kian penting. Penting untuk mengingatkan kita semua akan sejarah panjang hubungan erat antarsesama warga bangsa, tanpa memandang apa pun suku, agama, ras, dan golongannya. Gong Xi Fa Cai!