Di usianya yang memasuki 13 tahun, Gerindra merasa perlu untuk melakukan revitalisasi. Gerindra ingin menempatkan dirinya kembali sebagai partai nasionalis yang menjunjung keberagaman. Mengapa begitu?
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
Dalam peringatan Hari Ulang Tahun Ke-13 Partai Gerindra, 6 Februari 2021, yang diadakan secara daring, Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto mengingatkan anggotanya untuk tetap kompak, percaya diri, dan percaya kepada pimpinan. ”Kondisi bangsa kita lagi susah karena pandemi, jangan memperparah dengan menimbulkan isu dan kegaduhan yang tidak perlu,” kata Prabowo.
Ia mengatakan, semua kader harus siap berkorban, menahan diri, walau difitnah dan dihujat. Ia mengingatkan agar masalah dan perbedaan yang timbul antar-anak bangsa tidak diatasi dengan saling membenci dan bertikai. ”Rivalitas itu baik. Tapi, partai-partai lain itu saudara sebangsa kita. Mereka bukan musuh,” kata Prabowo.
Setelah 13 tahun berdiri, walau kalah berturut-turut dalam pemilihan presiden, perolehan Gerindra di Pemilihan Legislatif 2019 menempatkannya pada posisi kedua. Gerindra meraih 12,57 persen suara sah nasional, di bawah partai pemenang pemilu, yakni PDI-P (19,33 persen). Raihan Gerindra itu naik ketimbang pada Pemilu 2014, yakni 11,8 persen, atau di posisi ketiga.
Hanya saja, prestasi Gerindra di Pileg 2019 tak berbanding lurus dengan raihan di pilkada serentak 2020. Sebagai contoh, di Sumatera Barat, di Pemilu 2019, Gerindra menguasai 13 dari 19 kabupaten/kota. Dalam Pilkada 2020, Gerindra mengusung 12 kandidat di kabupaten/kota dan satu di provinsi. Hanya empat kandidat yang menang di kabupaten/kota (Kompas, 6 Januari 2021). Secara umum, kecenderungan serupa terjadi di sejumlah daerah lain.
Ada dua hal yang secara umum dianggap memengaruhi hasil Pilkada 2020. Pertama, bergabungnya Prabowo dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kedua, penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang merupakan kader Gerindra oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus dugaan suap benih lobster. Penangkapan tersebut terjadi beberapa hari sebelum pilkada.
Tantangan
Saat rangkaian peringatan HUT ke-13, kepengurusan DPP Gerindra juga dikukuhkan. Kepengurusan itu banyak menampilkan wajah muda. Namun, masih banyak pihak di luar partai yang menyoroti dominasi keluarga di partai.
Hal ini tentu berujung pada beberapa pertanyaan, seperti tongkat estafet kepemimpinan dan arah partai hingga setelah 2024. Secara internal, banyak kader di daerah yang juga menanti arah dan kebijakan partai ke depan.
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Jakarta, Hendri Satrio, Kamis (11/2/2021), mengatakan, banyak pihak mengharapkan Gerindra untuk terus berkembang dan memperkuat diri. Ia melihat, masuknya Prabowo ke pemerintah membuat banyak pendukungnya terkejut. Sama seperti parpol-parpol lain yang mengandalkan tokoh sentral, Gerindra banyak ditentukan oleh sepak terjang Prabowo.
Hingga kini, publik belum melihat tokoh lain yang kuat yang bisa mewakili Gerindra selain Prabowo. Untuk itu, Prabowo juga perlu melakukan kaderisasi pemimpin di partai selama ia masih bugar.
Hashim Djojohadikusumo, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra yang juga adik kandung Prabowo, dalam wawancara daring, Jumat (12/2), merespons dua hal yang diperkirakan berkontribusi menurunkan capaian Gerindra di Pilkada 2020.
Dia mengatakan, pertimbangan utama Prabowo bergabung dengan pemerintah adalah demi persatuan bangsa. Ia melihat Pilpres 2014 dan 2019 menjurus pada perpecahan di masyarakat. Selain alasan itu, katanya, Presiden Joko Widodo juga sepakat dengan berbagai konsep dari Prabowo, seperti tentang kedaulatan pangan, pertahanan, ketahanan energi, dan kedaulatan air.
Sementara terkait kasus Edhy Prabowo, Hashim mengatakan, Prabowo sangat terpukul atas kasus yang menjerat Edhy. Menurut dia, seluruh jajaran Gerinda kecewa.
”Kami merasa dikhianati,” katanya.
Ini seakan meruntuhkan prestasi Gerindra yang dinilai sebagai partai politik yang transparan terkait keuangan partai. Penilaian itu dari Indonesia Corruption Watch, Transparency International Indonesia, serta Komisi Informasi Pusat. Hashim pernah mengingatkan kader bahwa ujian yang sebenarnya belum terjadi. ”Bertahun-tahun lalu sudah saya ingatkan, ujian yang sebenarnya itu terjadi kalau Gerindra sampai ada di dalam pemerintahan,” katanya.
Revitalisasi partai
Gerindra kini tengah menjalani revitalisasi agar bisa jadi lebih baik. Usia 13 tahun memang masih relatif muda dibandingkan PDI-P dan Golkar yang juga berada di jajaran tiga besar partai hasil Pemilu 2019.
Revitalisasi tidak saja terkait dengan struktur dan sistem partai, tetapi juga hingga kepiawaian kadernya di lapangan. Apalagi, di daerah, logistik partai bisa dikatakan ditanggung sendiri-sendiri.
Menurut Hashim, revitalisasi Gerindra saat ini adalah menempatkan dirinya kembali sebagai partai nasionalis yang menjunjung keberagaman. Ia membantah kalau Gerindra partai keluarga dan menyebut beberapa nama sebagai tokoh- tokoh pemimpin Gerindra di luar keluarga.
”Kami sempat dituduh kanan. Itu tuduhan yang aneh apalagi melihat keluarga Prabowo yang latar agamanya beda-beda. Tapi, saya pikir, image nasionalis itu kini sudah kembali. Gerindra adalah tenda besar, semua golongan, suku, dan agama ada,” kata Hashim.
Masyarakat memang melihat Gerindra sebagai partai nasionalis. Namun, nasionalis yang seperti apa, hal ini yang dinilai belum kuat dikomunikasikan ke publik. Dibandingkan PDI-P yang citranya kuat sebagai partainya wong cilik, Partai Solidaritas Indonesia yang anak muda, Gerindra belum terlihat karakter nasionalisnya. Dengan masuk di kabinet, Gerindra seolah di bawah bayang-bayang PDI-P.
”Gerindra ini apa nasionalisnya. Harus dikomunikasikan ke publik,” kata Hendri Satrio.
Terkait hal itu, Hashim mengatakan, nasionalis yang diusung Gerindra adalah nasionalis yang anti-neoliberalisme. Saat ditanya tentang dukungan Gerindra terhadap UU Cipta Kerja yang dianggap masyarakat bercorak neoliberalisme, Hashim mengatakan, bergabung dengan pemerintah tentu ada konsekuensinya.
”Pak Prabowo sudah di dalam, ya, harus ikut pemerintahan. Tapi, di dalam, para politikus Gerindra itu sangat keras untuk ubah pasal-pasal guna bela serikat pekerja. Dan Cipta Kerja sesuai dengan tujuan kita, agar banyak lapangan kerja,” tutur Hashim.
Lalu bagaimana Gerindra 2024? Apakah Prabowo akan kembali berkontestasi di pilpres? ”Saya pikir bukan usia yang penting, tapi kesehatan. Pak Prabowo tahun ini baru 70 tahun, kita lihat Biden (Presiden AS), 78 tahun, Muhyiddin di Malaysia 73, Duterte di Filipina 75 tahun, dan Modi di India 70. Tapi, kita lihat nanti, kalau ada calon presiden kita sesuai visi mereka untuk Indonesia, mungkin saja kita dukung yang lain,” tutur Hashim.