Problem pada pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif serentak 2019 bisa terulang kembali di 2024. Bahkan dampaknya dinilai bisa lebih berat.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Keserentakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) di tahun 2024 menjadi buah dari pengaturan di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No 10/2016 tentang Pilkada.
Pasal 201 Ayat 8 UU No 10/2016 menyebut pilkada serentak nasional dijadwalkan bakal digelar pada November 2024. Artinya, pemilihan 33 gubernur (minus DI Yogyakarta) dan 514 bupati/wali kota beserta para wakilnya berlangsung di satu hari. Sementara itu, di pasal 167 ayat 2, 3, 6, dan 7 diatur ”rambu-rambu” waktu pelaksanaan pileg dan pilpres, yakni persiapan dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Adapun ”ujung” proses, penetapan pasangan calon terpilih paling lambat 14 hari sebelum berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dengan memperhatikan ”rambu-rambu” waktu itu, di 2019, pileg dan pilpres diselenggarakan pada bulan April. Dengan berkaca dari hal ini, dengan desain yang sama, pilkada serentak 2024 akan berselang tujuh bulan seusai penyelenggaraan Pemilu 2024.
Banyak pihak memberikan catatan kritis pada desain ”keserentakan” itu. Survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pada 1-3 Februari 2021, melibatkan 1.200 responden, menunjukkan, 68,4 persen responden mengetahui banyak petugas pemilu yang meninggal akibat beban kerja yang berat di Pemilu 2019. Atas dasar itu, 71,8 persen responden menyatakan sebaiknya pemilu serentak dihindari sehingga tidak memunculkan korban jiwa lagi.
Di Pemilu 2019, faktor kelelahan dan sakit bawaan petugas membuat 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 5.157 petugas KPPS sakit.
Berdasarkan evaluasi Pemilu 2019 yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum, teknis pilpres dan pileg serentak cukup memberatkan KPPS di tempat pemungutan suara. Sebelumnya, pileg diselenggarakan beberapa bulan sebelum pilpres.
Selain itu, para peneliti politik juga menilai ada masalah substansi di Pemilu 2019. Ini, misalnya, pemilih kesulitan memilah isu lokal-nasional dan isu eksekutif-legislatif, kesulitan partai politik (parpol) dalam pencalonan karena jarak pileg dan pilkada terlalu dekat, serta sulitnya mencapai tujuan pemerintahan presidensiil efektif di tingkat lokal dan nasional.
Kekhawatiran persoalan serupa muncul di 2024 menguat. Meski pemungutan suara pilkada dan pemilu berselang tujuh bulan, ada tahapan-tahapan pilkada yang beririsan dengan pemilu. Kekhawatiran itu sudah dibaca DPR RI yang lalu mendorong revisi UU Pemilu. Pada November 2020, semua fraksi di DPR sepakat mengusulkan revisi UU Pemilu masuk Program Legislasi Nasional 2021.
Namun, sebulan terakhir, satu per satu parpol berubah sikap. Akhirnya, dari sembilan fraksi, hanya dua fraksi yang tetap ingin ada pembahasan revisi UU Pemilu. Dua fraksi itu ialah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.
Perubahan sikap yang dilakukan Golkar, kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu Golkar Maman Abdurrahman, diambil setelah menghitung kalkulasi politik jangka panjang. ”UU Pilkada baru dibuat pada 2016 dan belum selesai diuji coba sehingga tidak bisa menentukan efektivitasnya,” kata Maman dalam bincang Satu Meja The Forum bertema ”Pertaruhan Politik Pilkada Serentak 2024” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (10/2/2021) malam. Acara dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo.
Hadir juga secara daring sebagai pembicara politikus Partai Demokrat Andi Nurpati, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Djarot Saiful Hidayat, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, dan peneliti politik senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro.
Maman menuturkan, sikap Golkar soal revisi UU Pemilu sempat terbelah, ada yang sepakat dan ada yang menolak revisi. Namun, akhirnya, Golkar menolak revisi dengan pertimbangan politik dan ekonomi. Adapun pertemuan Presiden Joko Widodo dengan sejumlah mantan juru bicara Tim Kampanye Nasional pada Pilres 2019, termasuk di dalamnya Golkar, diakui sebagai salah satu faktor yang mengubah sikap.
”Bahwa itu (pertemuan dengan Jokowi) menjadi salah satu faktor, iya betul,” ucapnya.
Senada dengan Golkar, PDI-P menilai UU Pilkada dirumuskan melalui kajian yang sangat mendalam. Oleh karena itu, kata Djarot, pembahasan di fraksi dan DPP PDI-P berkesimpulan keserentakan Pilkada 2024 harus tetap dilanjutkan.
Soal kekhawatiran rumitnya penyelenggaraan dan beratnya beban kerja KPPS pada pemilu dan pilkada serentak 2024, PDI-P mendorong agar KPU merancang sistem kepemiluan yang lebih sederhana dengan memanfaatkan teknologi. Salah satunya dengan penggunaan pemungutan suara elektronik dan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
”Kami mendorong agar KPU punya terobosan penyederhanaan pemilu,” ujar Djarot.
Norma hukum
Namun, menurut Andi, KPU tidak bisa membuat terobosan yang sifatnya harus diatur dalam UU. Seperti usulan tentang pemungutan suara elektronik dan Sirekap, terobosan itu harus tercantum di UU agar bisa menjadi norma hukum.
Menurut dia, persoalan-persoalan yang kemungkinan akan terjadi pada pemilu dan pilkada serentak 2024 sudah bisa dideteksi. Jika pada Pemilu 2019 ada 894 KPPS meninggal, kekhawatiran terenggutnya korban jiwa bisa meningkat karena ada penambahan pelaksanaan pilkada serentak.
”Ini menyangkut kerja semua pihak, bukan hanya penyelenggara, melainkan juga parpol sebagai peserta karena tahapan yang beririsan. Pendaftaran pasangan calon kepala daerah, misalnya, akan bersamaan dengan pilpres jika terjadi dua putaran,” ujar Andi.
Siti menilai, uji coba pemilu borongan (pilpres, pileg, dan pilkada) harus dihindari karena dampak negatifnya besar. ”Jangan lagi melakukan trial and error terhadap hal yang sudah jelas,” ucapnya.
Dari hasil kajian LIPI, menurut dia, Pemilu 2019 tidak banyak memberikan manfaat terhadap peningkatan kualitas pemilu. Tujuan awal menyerentakkan pilpres dan pileg, seperti efisiensi anggaran, tidak tercapai. Bahkan dalam hal substansi, gaung pileg tenggelam di tengah keriuhan pilpres. Siti mengingatkan agar tarik-menarik kepentingan sesaat parpol dikesampingkan dan keputusan harus didasarkan pada kepentingan publik jangka panjang.
Seandainya pilkada serentak tetap dilaksanakan 2024, Djohermansyah khawatir akan ketercukupan kebutuhan penjabat kepala daerah. Penjabat gubernur setidaknya dibutuhkan di 24 daerah untuk mengisi kekosongan jabatan yang berakhir pada 2022 dan 2023, sementara ketersediaan pejabat eselon I di Kementerian Dalam Negeri hanya 16 orang.
Oleh karena itu, pengisian penjabat harus mengambil dari kementerian lain yang mempunyai pengalaman pemerintahan dalam negeri. Sayangnya, hal ini sangat terbatas karena sulit mencari aparatur sipil negara dari jabatan pimpinan tinggi madya dengan kapasitas yang teruji di lapangan.
Dengan potensi aneka ”ranjau” keserentakan menanti di 2024, bagaimana sikap para elite?