Semua pemimpin bangsa mempunyai warisan dan kontribusi untuk negeri. Namun, yang perlu dicatat, legacy untuk negeri tidak terkait dengan dengan lamanya masa jabatan seorang presiden.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Indonesia ada karena keberagaman. Karena itu, yang beda jangan disama-samakan, yang sama jangan dibeda-bedakan.
Apa yang pernah dikatakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) disampaikan kembali oleh putri Gus Dur, Alissa Wahid, dalam percakapan di IGTV bersama mantan aktivis demokrasi—kini juru bicara Presiden—Fadjroel Rachman. Bicara Imlek di Indonesia tak bisa dilepaskan dari Presiden Gus Dur. Masa jabatan Presiden Gus Dur singkat. Ia menjabat 20 Oktober 1999-23 Juli 2001. Singkatnya masa jabatan bukan berarti tak ada legacy untuk bangsa.
Perayaan Imlek ditekan Orde Baru sejak tahun 1967 melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967. Orde Baru melarang Imlek dirayakan secara terbuka. Presiden Soeharto dalam inpres tersebut menyebut, ”Perayaan pesta agama dan adat istiadat China dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.”
Inpres No 14/1967 dicabut melalui Keputusan Presiden No 6/2000 yang ditandatangani Presiden Gus Dur 17 Januari 2000. Kesinambungan politik pemerintahan Gus Dur diteruskan Presiden Megawati Soekarnoputri yang masa jabatannya juga tidak panjang. Presiden Megawati menetapkan Imlek sebagai libur nasional.
Perayaan Imlek secara terbuka, hadirnya liong dan barongsai di ruang publik, dan diakuinya Konghucu sebagai agama adalah warisan dari pemerintahan Gur Dur dan diteruskan Megawati. Gus Dur pantas disebut sebagai ”Bapak Kemajemukan”. Gus Dur menjadi pemimpin yang membebaskan warga dari keterkekangan. Bagi Alissa Wahid, Gus Dur melakukan restorative justice. Mengembalikan sesuatu kepada yang berhak untuk itu.
Begitu juga Presiden BJ Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto bisa saja dikenang sebagai ”Bapak Kemerdekaan Pers”. Habibie membebaskan pers tanpa surat izin usaha penerbitan pers, melarang sensor dan pemberedelan, serta membuka jalan terjadinya kebebasan politik. Habibie tergolong pemimpin yang membebaskan. Habibie pernah mengatakan; ”Penjara itu tempat kriminal, bukan tempat orang yang berbeda pendapat.” Itulah argumen Habibie saat membebaskan sejumlah tahanan politik.
Serial kepemimpinan Habibie, Gus Dur, dan Megawati bisa ditarik dalam satu frase; sosok pemimpin yang membebaskan rakyatnya. Bebas berpendapat, berorganisasi, dan merayakan adat-istiadat dan kepercayaannya. Namun, kebebasan itu dibatasi kebebasan orang lain.
Sayang momentum kehadiran kepemimpinan transformatif dan mempunyai otoritas moral belum sempat menyelesaikan pekerjaan rumah bangsa, termasuk soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Atribusi yang melekat atau dilekatkan adalah pengakuan sosial.
Semua pemimpin bangsa, Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo, mempunyai warisan dan kontribusi untuk negeri. Namun, yang perlu dicatat, legacy untuk negeri tidak terkait dengan lamanya masa jabatan seorang presiden. Kesinambungan kebijakan politik penting untuk memperkuat kebebasan warga, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berorganisasi—sebagai ciri negara demokrasi untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial.
Donald McGannon menyebut kepemimpinan bukanlah sekadar posisi atau jabatan, melainkan aksi dan tindakan nyata. ”Leadership is an action not a position,” tulis Gannon. Kepemimpinan Habibie, Gus Dur, dan Megawati melakukan aksi yang membebaskan warga dari keterkekangan dalam perspektif HAM.
Setiap pemimpin mempunyai tantangannya tersendiri. Tampilnya Joko Widodo—orang biasa-biasa—bukan dari kelompok elite—menjadi pemimpin nasional menunjukkan dahsyatnya sistem demokrasi. Warisan nyata Presiden Jokowi adalah pembangunan infrastruktur. Kekuatan politik Presiden Jokowi luar biasa. Apa yang diinginkannya menjadi kenyataan.
Revisi Undang-Undang KPK yang ditolak berbagai elemen masyarakat berhasil digolkannya. Begitu pula dengan UU omnibus law Cipta Kerja. Tekanan DPR merevisi UU Pemilu bisa ditepis dan tidak jadi dibahas. Kepemimpinan Presiden Jokowi bakal tercatat dalam sejarah ketika putranya (Gibran Rakabuming Raka) dan menantunya (Bobby Nasution) terpilih sebagai wali kota melalui jalan demokrasi.
Ada yang sedikit ”mangkrak” dalam implementasi, seperti retorika Revolusi Mental dan Poros Maritim yang belum kelihatan bentuknya. Selain warisan infrastruktur dan UU Cipta Kerja yang disebut penggagasnya sebagai bentuk reformasi struktural Indonesia, Presiden Jokowi masih punya kesempatan membuat legacy; juga selain mengatasi pandemi dan resesi ekonomi.
Mumpung kekuatan politiknya masih solid, Presiden Jokowi bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, mengembalikan nilai demokrasi yang terpuruk, membereskan Indonesia dari virus korupsi. Apalagi, sejumlah aktivis HAM, aktivis demokrasi, dan aktivis antikorupsi berada di sekitar kekuasaan. Meskipun secara formal masa jabatan Presiden Jokowi hingga 20 Oktober 2024, peta politik bisa cepat berubah pada tahun 2022 atau 2023.
Pieter van Dijk, mantan hakim Pengadilan HAM Eropa, menyebut; ”Tanpa iklim yang bebas bagi keragaman, toleransi dan keluasan pikiran, demokrasi tidak akan bisa survive.”