KPU Minta Dukungan Payung Hukum
Penyelenggara pemilu meminta agar ada dukungan payung hukum yang jelas bagi mereka untuk melaksanakan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 jika pembahasan RUU Pemilu dihentikan. Sebab, tak semua aturan bisa dijalankan.
JAKARTA, KOMPAS — Seiring wacana ditundanya revisi Undang-Undang Pemilu, penyelenggaraa pemilu meminta agar ada dukungan payung hukum yang jelas bagi mereka untuk melaksanakan Pemilu dan Pilkada Serentak Nasional 2024. Sebab, tidak semua hal dapat diselesaikan dengan pembuatan peraturan Komisi Pemilihan Umum. Beberapa hal, seperti pengaturan teknis penyelenggaraan dan aplikasi teknologi elektronik, memerlukan payung hukum setingkat UU.
Wacana mengenai pembahasan revisi UU Pemilu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun kian berat setelah ada hasil rapat Komisi II DPR dengan para ketua kelompok fraksi, Kamis (11/2/2021). Komisi II memutuskan untuk tidak meneruskan pembahasan atau menunda pembahasan RUU Pemilu. Sebelumnya, RUU Pemilu merupakan inisiasi dari Komisi II DPR. Selain itu, dalam rapat paripurna, Kamis, DPR juga belum menetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, yang di dalamnya terdapat pula RUU Pemilu. Kepastian nasib RUU Pemilu masih menunggu rapat Badan Musyawarah (Bamus) pada masa sidang berikutnya, yang akan dibuka 8 Maret 2021.
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPU Ilham Saputra, dalam diskusi daring yang diadakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Jumat (12/2/2021), mengatakan, pihaknya selaku penyelenggara pemilu harus siap melaksanakan apa pun amanat UU Pemilu. Apa pun aturan di dalam UU harus dijalankan oleh KPU. Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan terkait dengan keserentakan pemilu.
Baca juga: Fraksi-fraksi Belum Sepakat soal Isu Krusial dalam RUU Pemilu
Menurut Ilham, keserentakan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019 memiliki dampak positif dan negatif. Hal positif dalam pemilu serentak ialah adanya kenaikan partisipasi publik dalam pemilu, yakni mencapai 81 persen, jauh lebih tinggi daripada pemilu sebelumnya yang hanya pada kisaran 74 persen. Namun, keserentakan pemilu itu juga memberikan dampak negatif, antara lain beban berat penyelenggara di lapangan. Selain itu, isu pileg juga cenderung tertutupi oleh isu pilpres.
Selaku penyelenggara pemilu harus siap melaksanakan apa pun amanat UU Pemilu. Apa pun aturan di dalam UU harus dijalankan oleh KPU. Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan terkait dengan keserentakan pemilu.
Menyikapi kondisi saat ini di mana kemungkinan revisi UU Pemilu tidak dilakukan, menurut Ilham, ada beberapa hal yang tetap memerlukan payung hukum demi perbaikan teknis penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak Nasional 2024. Salah satunya ialah penggunaan teknologi informasi untuk mendukung kerja-kerja penyelenggara di lapangan. Sirekap (Sistem Informasi) rekapitulasi, misalnya, yang juga pernah diterapkan oleh KPU pada Pilkada 2020, harus diatur lebih detail ke dalam peraturan setingkat UU.
”Kalau tidak ada revisi UU Pemilu, tentu ada hal-hal tertentu yang bisa saja kemudian dibuat perppu (peraturan pemerintah pengganti UU) atau ada aturan tertentu yang memberikan kewenangan kepada KPU untuk mengatur hal ini. Di UU sekarang, belum secara detail kita dibolehkan memakai Sirekap ini,” ucapnya.
Ilham mengatakan, jika Pemilu 2024 masih mengacu pada UU No 7/2017 tentang Pemilu serta UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, penting dicari formulasi yang tepat agar persoalan seperti pada Pemilu 2019 tidak terulang. Dua persoalan utama, yakni kelelahan penyelenggara ad hoc di lapangan dan isu pileg yang terpinggirkan oleh isu pilpres, harus diantisipasi dan dicari jalan keluarnya.
Meski demikian, KPU mengusulkan beberapa proses tahapan agar disederhanakan secara elektronik. Misalnya, pendaftaran partai politik (parpol) bisa dilakukan melalui Sipol. Adapun untuk pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih tetap (DPT) juga dapat dilakukan secara elektronik. Demikian pula usulan penggunaan teknologi informasi untuk tahapan lainnya, termasuk pelaporan dana kampanye, yakni melalui Sidakam, dan distribusi logistik melalui Sidalog. Namun, semua apliksi teknologi ini memerlukan payung hukum berupa UU atau peraturan setara dengan UU.
”Kami sudah menerapkan Sirekap pada Pilkada 2020 dan ini bisa menjadi bahan penggunaan teknologi terkait dengan rekapitulasi elektronik. Misalnya saja diterapkan dalam pileg dan pilpres, serta pilkada serentak, yang membutuhkan tenaga dan pikiran luar biasa. Keberadaan TI amat berarti bagi penyelenggara pemilu, tetapi perlu diatur di dalam UU,” ujarnya.
KPU juga mengusulkan agar dilakukan pemisahan penyelenggara yang menyelenggarakan pilpres dan pileg dengan pilkada. Hal ini untuk mencegah kelelahan atau beban berat penyelenggara ad hoc di lapangan. Selain itu, KPU mendorong agar ada pengaturan yang lebih tegas di antara penyelenggara pemilu. Terkait dengan kemungkinan dibarengkannya pilkada serentak nasional dengan Pemilu 2024, llham mengatakan, KPU tengah membuat simulasi-simulasi pelaksanaan.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengatakan, negara juga harus memikirkan penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu harus melakukan apa pun yang diamanatkan oleh UU, tetapi keruwetan dan kompleksitas dalam teknis penyelenggaraan pemilu dan pilkada harus pula turut dipikirkan oleh pembuat kebijakan.
”Ketika sudah masuk ke dalam UU, mau tidak mau harus dilaksanakan. Ibaratnya, kita disuruh maju perang melawan tank memakai pistol. Ya, karena bunyi UU begitu kita harus tetap maju ke depan. Akan tetapi, ini beban penyelenggata perlu juga dipikirkan oleh perancang UU dan pembuat kebijakan kita. Apakah sanggup kita dan apakah simulasi-simulasi itu bisa dibuat dalam waktu setahun ini,” kata Bagja.
Minta ditunda
Kami kemarin sepakat untuk tidak dulu melanjutkan. Karena ini, kan ,sampai sekarang prolegnas belum tuntas dan belum diputuskan di paripurna. Semua RUU ini kan di-hold dulu, bukan hanya RUU Pemilu, sembari menunggu keputusan paripurna soal Prolegnas Prioritas 2021. Itu yang menjadi latar belakang kami untuk menunda dulu. Apalagi ini drafnya sudah bukan di kami, tetapi ada di Baleg DPR.
Secara terpisah, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, Komisi II sepakat untuk menunda dulu pembahasan RUU Pemilu. Ada dua fraksi yang menginginkan RUU Pemilu itu tetap dibahas, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Namun, karena mayoritas fraksi menolak pembahasan RUU Pemilu, maka rapat memutuskan Komisi II meminta agar RUU Pemilu itu ditunda.
”Kami kemarin sepakat untuk tidak dulu melanjutkan. Karena ini, kan, sampai sekarang prolegnas belum tuntas dan belum diputuskan di paripurna. Semua RUU ini kan di-hold dulu, bukan hanya RUU Pemilu, sembari menunggu keputusan paripurna soal Prolegnas Prioritas 2021. Itu yang menjadi latar belakang kami untuk menunda dulu. Apalagi ini drafnya sudah bukan di kami, tetapi ada di Baleg DPR,” katanya.
Mekanisme yang akan diambil Komisi II DPR terkait dengan penundaan pembahasan RUU Pemilu, menurut Doli, akan tetap mengikuti ketentuan yang diatur di dalam tata tertib DPR. ”Kita serahkan pada mekanisme di DPR. Nanti, kan, dibahas di prolegnas melalui Bamus dulu, terus di pimpinan. Kalau, misalnya, terjadi perubahan, yakni RUU Pemilu dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2021, nanti bisa ada rekomendasi dari Bamus agar Baleg membicarakan ulang dengan pemerintah,” katanya.
Kendati demikian, Doli mengakui ada beberapa hal yang harus dibahas terkait dengan keserentakan Pilkada dan Pemilu 2024. Tiga jenis pemilu dalam satu tahun yang sama tidak hanya membebani penyelenggara, tetapi juga memberatkan parpol, calon kepala daerah, calon presiden, dan calon anggota legislatif. Oleh karena itu, menurut Doli, pihaknya akan membuka pintu konsultasi dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu terkait dengan desain keserentakan pilkada dan pemilu.
”Misalnya, RUU ini ditunda, dan oleh karena itu memang harus kita cari format atau konsep yang tepat menghadapi 2024. Pertama, karena menyelenggarakan pilpres, pileg, dan pilkada pada satu tahun yang sama itu tidak mudah. Beban pekerjaannya sangat berat, bukan hanya bagi penyelenggara, melainkan juga semua pihak yang terlibat, baik partai politik, calon kepala daerah, maupun capres dan caleg. Oleh karena itu, pada waktunya pasti kita akan bahas bersama penyelenggara bagaimana konsep atau format keserentakan itu bisa berjalan dengan baik,” ujarnya.
Doli mengatakan, saat ini secara informal pihaknya juga tengah berbicara dengan KPU dan Bawaslu mengenai simulasi dan desain keserentakan. Banyak hal harus dipikirkan, antara lain soal penjadwalan, pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT), serta kecukupan waktu pemilu dan pilkada. ”Banyak sekali yang harus dibicarakan, harus dibuat desain dan konsep yang detail. Nanti akan kami bicarakan bersama (dengan pemerintah dan KPU),” ujarnya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menuturkan, perlu dicari titik temu dalam wacana pembahasan RUU Pemilu ataupun upaya evaluasi terhadap Pemilu 2019. Misalnya, karena persoalan sistem sulit untuk dicapai kesepahaman, maka pembahasan bisa berkonsentrasi pada pengaturan penataan kelembagaan penyelenggara pemilu, perbaikan manajemen pemilu, dan penguatan desain penegakan hukum pemilu yang berkeadilan (electoral justice).
Pembahasan bisa berlanjut dan dibatasi untuk fokus pada revisi UU Pemilu, sedangkan materi pilkada dikeluarkan dari pembahasan. Adapun penataan jadwal dilakukan melalui revisi UU Pilkada. Di sisi lain, koherensi tata kelola pemerintahan antara eksekutif nasional dan eksekutif daerah juga bisa diperkuat melalui pengaturan dalam UU Pemerintahan Daerah.
”Pembahasan bisa berlanjut dan dibatasi untuk fokus pada revisi UU Pemilu, sedangkan materi pilkada dikeluarkan dari pembahasan. Adapun penataan jadwal dilakukan melalui revisi UU Pilkada. Di sisi lain, koherensi tata kelola pemerintahan antara eksekutif nasional dan eksekutif daerah juga bisa diperkuat melalui pengaturan dalam UU Pemerintahan Daerah,” ujar Titi.
Baca juga: Komisi II DPR Serahkan Nasib RUU Pemilu kepada Bamus
Titi mengatakan, karena Pilkada 2022 dan 2023 kini kian sulit diwujudkan karena sampai dengan 2021 belum ada aturan hukumnya, ia mengusulkan untuk pilkada di daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada 2022 dan 2023 sebaiknya digelar serentak pada Februari 2023.
”Irisan atau pertemuan tahapan pada 2023 lebih sederhana dibandingkan dengan pertemuan tahapan pada tahun yang sama (2024). Dengan demikian, diharapkan sebelum berlangsung tahapan pencalonan pemilu, seluruh proses pilkada sudah bisa dituntaskan. Masa jabatan antara presiden serta gubernur dan bupati/wali kota juga tidak terlalu terpaut lama,” katanya.
Sementara itu, anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Zainuddin Maliki, mengatakan, fraksinya yang pertama kali menolak pembahasan RUU Pemilu. Ia menilai, pengaturan mengenai parliamentary threshold (ambang batas raihan suara untuk penghitungan kursi parlemen) merugikan partai menengah dan kecil. Aturan soal ambang batas parlemen itu hanya menguntungkan parpol besar. Hal tersebut dikhawatirkan kian menguatkan korelasi antara olrigarki dan kartel politik dalam sistem kepartaian di Indonesia.