Tanpa Revisi UU Pemilu, Pemetaan Masalah dan Simulasi Jadi Krusial
Nasib RUU Pemilu akan ditentukan pada rapat paripurna penutupan masa sidang yang digelar Rabu (10/1/2021). DPR akan menetapkan Prolegnas Prioritas 2021. Belum jelas apakah RUU Pemilu disetujui masuk Prolegnas atau tidak.
JAKARTA, KOMPAS — Nasib Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 yang memuat juga Rancangan Undang-undang Pemilu akan ditentukan dalam rapat paripurna, Rabu (10/2/2021). Melihat sikap sebagian besar partai politik yang menolak pembahasan RUU Pemilu, berat bagi Komisi II DPR untuk meneruskan RUU inisiasinya tersebut. Langkah ke depan, Komisi II DPR bersama pemerintah harus membantu penyelenggara pemilu menyiapkan simulasi dan dukungan regulasi guna mengantisipasi keserentakan pemilu di 2024.
Sikap penolakan pembahasan yang disampaikan oleh sebagian besar partai politik (parpol) yang merupakan partai koalisi pemerintah ini secara tidak langsung berdampak pada kelanjutan pembahasan RUU Pemilu. Sikap ini pun antiklimaks dari dorongan percepatan pembahasan RUU Pemilu yang sebelumnya disepakati oleh fraksi-fraksi dan pemerintah dalam rapat kerja Prolegnas Prioritas Badan Legislasi (Baleg) DPR, 14 Januari 2021.
Pada Rabu besok diagendakan penutupan masa sidang DPR, sekaligus pengesahan Prolegnas Prioritas 2021.
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa, Selasa (9/2/2021), di Jakarta, menuturkan, pada Rabu besok diagendakan penutupan masa sidang DPR, sekaligus pengesahan Prolegnas Prioritas 2021. Namun, ia belum bisa memastikan apakah RUU Pemilu itu akan dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas ataukah tidak. Semua akan sangat bergantung pada dinamika rapat paripurna, Rabu.
”Kalau misalnya tidak diteruskan revisi ini, 2021, berarti harus didrop. Kalaupun masih ada di dalam daftar Prolegnas, karena sikap fraksi-fraksi menolak, logikanya 90 persen RUU ini tetap tidak akan dibahas,” ujar Saan.
Baca juga: Pintu Revisi Tertutup, Siasati Keserentakan dengan Terobosan
Saat ini, enam fraksi di DPR, yakni Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan, sudah menyatakan penolakannya. Alasannya serupa, yaitu karena saat ini negara sedang fokus menghadapi Covid-19. Hanya dua fraksi, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, yang mendukung revisi UU Pemilu. Adapun PDIP-P sebagai fraksi dengan kursi terbanyak di DPR memberi sinyal akan turut menolak revisi.
Saan mengatakan, fraksinya mengikuti sikap dan arahan pimpinan parpol yang meminta fraksi untuk tidak meneruskan pembahasan RUU Pemilu. Di dalam fraksi sendiri, pemikiran mengenai pentingnya revisi itu sebenarnya telah lama mengemuka. Fraksi Nasdem bahkan meminta pendapat para ahli pemilu untuk mengkaji poin-poin mana saja yang perlu dijadikan titik tolak dalam merevisi UU Pemilu. Namun, ada kepentingan yang lebih besar yang disuarakan pimpinan parpol dengan mempertimbangkan pula sikap dari pemerintah.
Kendati demikian, jalan masih panjang dalam perbaikan sistem pemilu dan demokrasi di Indonesia. Upaya DPR untuk menginisiasi RUU Pemilu dan membuka wacana pembahasan sejak awal merupakan langkah awal. Perubahan sikap politik dinilai masih bisa saja terjadi ketika di dalam perkembangannya ditemui kendala dalam desain keserentakan yang kini sedang diwacanakan.
”Ini masih panjang waktunya. Siapa tahu pertengahan 2021 ini ada dinamika yang lain, dan sebagainya. Masih ada pertimbangan-pertimbangan lain. Tetapi, saat ini ada kepentingan lain yang lebih besar dalam perspektif pemerintah, dan disampaikan kepada koalisi. Kami ikuti apa yang diinstruksikan oleh partai,” ucapnya.
Baca juga: Sarat Rivalitas Parpol, Pembahasan Revisi UU Pemilu Alot
Sebelumnya, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pembahasan RUU Pemilu sulit direalisasikan karena sikap parpol yang kini berbalik menolak revisi. Posisi Baleg DPR pun problematik karena tersandera dengan belum disahkannya Prolegnas Prioritas 2021. Kalaupun RUU itu tetap ada di dalam daftar Prolegnas, dan panitia kerja dibentuk Baleg, RUU itu diyakini tidak dapat diteruskan karena sikap fraksi-fraksi yang menolak pembahasan (Kompas, 9/2/2021).
Dorong simulasi
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Erik Kurniawan mengatakan, dengan waktu yang ada saat ini, penyelenggara pemilu harus mulai memetakan masalah dan melakukan simulasi teknis penyelenggaraan jika pilpres, pileg, dan pilkada dilakukan pada tahun yang sama. Pemetaan masalah dan simulasi ini penting untuk mengetahui celah persoalan di mana saja yang harus diatasi oleh penyelenggara pemilu.
”Harus disimulasikan mana tahapan pemilu dan pilkada yang beririsan waktunya, dan itu ditandai sebagai zona merah yang harus diperhatikan. Misalnya, saat pemutakhiran data pilkada yang waktunya bersinggungan dengan tahapan pencalonan pilpres dan pileg. Maka, harus ada perlakuan khusus pada April, Mei, Juni, Juli, Agustus, dan November 2024, dari sisi teknis penyelenggaraan. Jika pemetaan masalahnya telah diketahui, akan dapat lebih mudah dilakukan mitigasi risiko persoalan,” kata Erik.
Dengan waktu yang ada saat ini, penyelenggara pemilu harus mulai memetakan masalah dan melakukan simulasi teknis penyelenggaraan jika pilpres, pileg, dan pilkada dilakukan pada tahun yang sama.
Di sisi lain, tanggung jawab keberhasilan penyelenggaraan pilpres, pileg, dan pilkada serentak itu bukan hanya ada di pundak KPU selaku penyelenggara. Komisi II DPR dan pemerintah harus pula ikut memikirkan dukungan politik dan regulasi yang dapat diberikan kepada penyelenggara untuk memuluskan agenda politik tersebut.
”Penolakan pembahasan revisi UU Pemilu ini, kan, sangat disayangkan karena fraksi-fraksi dan pemerintah sikapnya berubah. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus juga memikirkan skema dukungan kepada penyelenggara sehingga penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak pada 2024 dapat berlangsung baik dan tidak lagi menimbulkan persoalan seperti Pemilu 2019,” ujarnya.
Merespons hal ini, Saan mengatakan, Komisi II dalam rapat kerja atau konsultasi dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu akan memberikan perhatian terhadap hal ini. Ia sepakat waktu yang ada mesti dimanfaatkan dengan optimal oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) guna menyiapkan simulasi dan mengambil langkah-langkah antisipasi dalam tiga tahun ke depan.
”Dari sekarang memang penting dipikirkan oleh KPU bagaimana menyusun tahapan dan jadwal ke dalam Peraturan KPU (PKPU) sebagai aturan turunan dari UU No 10/2016 tentang Pilkada. Pasti itu akan kita bicarakan bersama dengan Komisi II. Kita akan lihat nanti. Bisa nanti diadakan semacam rapat kerja atau konsultasi dengan pemerintah dan penyelenggara untuk membahas hal itu,” ujarnya.
Raker antara Komisi II dan pemerintah dan penyelenggara pemilu dalam membahas desain keserentakan dan tahapan-tahapan keserentakan 2024, baru dapat dilakukan Maret, ketika DPR kembali memulai masa sidang. Beberapa ketentuan, seperti penggunaan sistem elektronik dan teknologi lain, serta pengaturan jadwal tahapan, memerlukan payung hukum kuat.
”Kami akan mendukung adanya regulasi. Memang harus ada payung hukum. Sebab, tanpa payung hukum, KPU akan kesusahan, dan itu rawan gugatan karena sensitif. Tetapi, yang pasti, nanti akan dibicarakan lagi apakah ada perppu ataukah regulasi lain,” katanya.
Baca juga: Cari Titik Temu RUU Pemilu
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim berharap, jika sampai menjelang Pemilu 2024 tidak terbuka kesempatan untuk merevisi UU Pemilu, terpaksa Komisi II DPR harus bisa meyakinkan Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Perppu itu, menurut dia, terutama berkaitan dengan Pasal 383 di UU Pemilu yang mengatur penghitungan suara harus selesai pada hari pemungutan suara. Selama ini, menurut PKB, ketentuan itulah yang membuat penyelenggara di lapangan terbebani. Mereka harus menuntaskan penghitungan suara dalam hari yang sama. Kondisi itu dipandang akan lebih berat jika pilpres, pileg, dan pilkada dilakukan dalam waktu yang berimpitan. Oleh karena itu, fraksinya mendorong ketentuan itu direvisi.
”Karena kalau aturan ini tidak diubah, kita bisa membayangkan 2024 nanti, korban yang jatuh dari penyelenggara pemilu akan persis seperti kemarin, bisa bertambah jumlahnya. Dan, itu dosa kita semua kalau kita tidak mengubah (aturan) itu,” kata Luqman.
Upaya lain dapat pula dilakukan oleh penyelenggara dalam mencegah kematian petugas di lapangan. Salah satunya ialah dengan menyeleksi calon petugas dengan ketat. Praktik Pilkada 2020 dinilai dapat diteruskan.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar mengatakan, upaya lain dapat pula dilakukan penyelenggara dalam mencegah kematian petugas di lapangan. Salah satunya ialah dengan menyeleksi calon petugas dengan ketat. Praktik Pilkada 2020 dinilai dapat diteruskan. Sebab, pada saat itu seluruh jajaran digerakkan untuk siaga satu mendampingi penyelenggara pemilu dan memberikan pelayanan kesehatan.
”Pengalaman Pilkada 2020 sangat baik. Semoga pandemi sudah mereda pada 2024 sehingga biaya kesehatan untuk pilkada bisa diminimalkan. Uang negara bisa kita pakai membangun lagi pemulihan ekonomi dan penanganan kesehatan, serta pembangunan lainnya. Dengan demikian, bisa tumbuh lagi pembangunan nasional kita,” ucapnya.
Berikan catatan
Secara terpisah, anggota KPU, Hasyim Asy’ari, mengatakan, idealnya pilkada dilakukan pada 2026 atau tidak dibarengkan pada tahun yang sama dengan Pilpres dan Pileg 2024. Desain Pilkada Serentak 2026 itu didasarkan pada tujuan untuk menata keserentakan masa jabatan lima tahunan antara kepala daerah dan anggota DPRD. Selama ini, kerap ditemui ada ketidakselarasan masa jabatan antara kepala daerah dengan DPRD.
Idealnya pilkada dilakukan pada 2026 atau tidak dibarengkan pada tahun yang sama dengan Pilpres dan Pileg 2024. Desain Pilkada Serentak 2026 itu didasarkan pada tujuan untuk menata keserentakan masa jabatan lima tahunan antara kepala daerah dan anggota DPRD.
Implikasi dari desain Pilkada Serentak 2026 ialah adanya perpanjangan masa jabatan sebagian kepala daerah yang semestinya berakhir pada 2022, 2023, dan 2025. Namun, perpanjangan masa jabatan ini dinilai rasional. Pemerintah tidak perlu menyedikan penjabat kepala daerah untuk durasi yang panjang dengan perhitungan jika pilkada dilakukan pada 2024. Selain itu, opsi Pilkada 2026 juga meringankan beban penyelenggara.
Akan tetapi, mengingat dukungan politik untuk dilakukannya pemilu dan pilkada pada 2024 kini menguat, menurut Hasyim, ada beberapa catatan yang mesti dipikirkan oleh pembuat kebijakan. Pertama, kategori pemilih dan teknis pemutakhiran data pemilih, yang kategorinya berbeda dalam aturan di UU Pilkada dan UU Pemilu.
”Kedua, soal siapa yang dapat mengusung calon dalam pilkada, apakah parpol peserta Pemilu 2024, atau Pemilu 2019, apakah ukuran yang digunakan dalam pencalonan, perolehan suara atau kursi hasil Pemilu 2021, ataukah hasil Pemilu 2019. Jika yang boleh mencalonkan ialah parpol peserta Pemilu 2019, bagaimana dengan parpol peserta Pemilu 2024 yang memperoleh kursi, apakah tidak boleh mengajukan calon,” katanya.
Catatan ketiga, beban kerja penyelenggara pemilu yang berat karena harus menyelenggarakan tujuh jenis pemilihan di tahun yang sama, yaitu pilpres; pemilu anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupten/Kota), pemilu gubernur, dan pilkada kabupaten/kota. ”Beberapa topik ini perlu dibahas dan dicarikan jalan keluarnya dalam regulasi Pemilu dan Pilkada 2024,” ujar Hasyim.