Pintu Revisi Tertutup, Siasati Keserentakan dengan Terobosan
Penyelenggara pemilu didorong siapkan antisipasi jika RUU Pemilu tidak jadi dibahas. KPU diharapkan memikirkan tahapan dan simulasi jauh-jauh hari dengan memperhitungkan pemilu presiden, pemilu DPR, dan pilkada.

Pengendara melintasi mural Komisi Pemilihan Umum untuk mengampanyekan antigolput dalam pemilu di Jalan KH Hasyim Ashari, Tangerang, Banten, Minggu (7/6/2020). Sejumlah kalangan menilai puluhan juta suara pemilih berpotensi akan hangus apabila Rancangan Undang-Undang Pemilu disahkan terkait aturan ambang batas parlemen. Pada Pemilu 2019, sebanyak 13 juta lebih suara sah rakyat terbuang karena adanya aturan ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Jumlah tersebut akan bertambah jika RUU Pemilu disahkan sebab ambang batas parlemen akan dinaikkan menjadi 7 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Menyusul sikap partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat yang satu per satu berubah terhadap Rancangan Undang-Undang Pemilu, penyelenggara pemilu kini didorong untuk menyiapkan antisipasi jika RUU Pemilu tidak jadi dibahas. KPU diharapkan memikirkan tahapan dan melakukan simulasi jauh-jauh hari dengan memperhitungkan pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilu kepala daerah digelar pada tahun yang sama, yaitu pada 2024.
Tanpa antisipasi jauh-jauh hari, sejumlah hal yang selama ini dikhawatirkan, termasuk beban berat penyelenggara yang berimbas pada risiko kematian penyelenggara ad hoc di lapangan, akan berpotensi terjadi. Sekalipun UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dinilai tidak memadai jika tidak direvisi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) didorong untuk berani membuat terobosan melalui Peraturan KPU (PKPU).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas, Senin (8/2/2021) di Jakarta, mengatakan, pembahasan RUU Pemilu di DPR sulit direalisasikan karena sikap partai politik (parpol) yang kini berbalik menolak revisi UU Pemilu. Posisi Baleg pun problematik karena tersandera dengan belum disahkannya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 di dalam rapat paripurna DPR.
Baca Juga: Fokus RUU Pemilu Bukan Hanya Keserentakan
Di satu sisi, draf RUU Pemilu itu telanjur ada di tangan Baleg DPR untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Baleg juga telah meminta pendapat para ahli pemilu dalam harmonisasi dan sinkronisasi RUU Pemilu. Namun, karena Prolegnas Prioritas 2021 belum juga disahkan, proses itu terhenti.
Secara prinsip, kalau melihat kekuatan politik sekarang, agak sulit RUU ini berlanjut. Beberapa parpol menyatakan sikapnya menolak revisi UU Pemilu.
”Secara prinsip, kalau melihat kekuatan politik sekarang, agak sulit RUU ini berlanjut. Beberapa parpol menyatakan sikapnya menolak revisi UU Pemilu. Walau belum secara resmi diungkapkan di dalam rapat di DPR, tetapi arahnya kalau pun nanti di Baleg kami membentuk panitia kerja (panja), saya yakin pembahasan itu tidak dapat diteruskan,” ujarnya.
Supratman mengatakan, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh secara prosedural. Pertama, Komisi II DPR dapat menarik usulan revisi UU Pemilu. Sebab, sebelumnya Komisi II yang menginisiasi revisi UU Pemilu. Kedua, jika dalam kesempatan terdekat digelar rapat paripurna DPR, pimpinan DPR dapat menugasi Baleg untuk menggelar rapat kerja (raker) kembali dengan pemerintah guna memastikan kelanjutan RUU ini. Pasalnya, RUU Pemilu itu sebelumnya disepakati oleh pemerintah dan DPR untuk masuk prolegnas.
Ketiga, kalaupun tetap diputuskan untuk masuk ke dalam prolegnas, RUU itu tidak akan dibahas dan, dalam kesempatan evaluasi prolegnas rutin oleh Baleg dan pemerintah, RUU Pemilu itu dapat ditarik dari daftar Prolegnas Prioritas 2021.
Terlepas dari beberapa pilihan tersebut, menurut Supratman, parpol-parpol setuju agar pilkada tetap dilakukan pada 2024. Pintu revisi UU Pemilu pun kemungkinan besar tidak dapat diharapkan lagi saat ini untuk mengevaluasi keserentakan Pemilu 2019 dan menyiapkan keserentakan Pemilu 2024.
”Soal keserentakan itu sudah ada dalam putusan MK. Nanti tinggal apakah desain keserentakan itu diputuskan oleh KPU dan Bawaslu dengan menggelar rapat konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Saya pikir walau tidak ada revisi UU Pemilu, desain keserentakan itu masih dapat dibicarakan antara penyelenggara dengan DPR dan pemerintah,” ucapnya.
Supratman mengatakan, Baleg menyadari ada sejumlah catatan yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keserentakan pemilu. Salah satunya ialah menghitung jika pada 2024 nanti terjadi pilpres putaran kedua. Adapun jadwal yang tersedia di dalam UU Pilkada ialah 7 bulan. Pilpres dan Pileg dilakukan pada April 2024, sedangkan pilkada pada November. Kecukupan waktu itu perlu dibicarakan oleh penyelenggara dengan DPR dan pemerintah.

Suasana Sidang Paripurna DPR dalam rangka penyampaian RUU APBN Tahun Anggaran 2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019). Hasil Pemilu Legislatif 2019 menunjukkan anggota DPR terpilih masih didominasi wajah lama.
”Jadwal tahapan harus diatur dan simulasi perlu dilakukan karena hal itu sangat terkait dengan kesanggupan penyelenggara. KPU dapat melakukan rapat konsultasi dengan DPR dan pemerintah untuk membahas PKPU. Akan tetapi, apakah PKPU itu dasar hukum yang kuat atau tidak, itu soal lain,” ungkapnya.
Secara terpisah, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, pihaknya belum merapatkan lagi di internal Komisi tentang kelanjutan RUU Pemilu. Namun, dengan kondisi yang ada sekarang memang tidak mudah meneruskan wacana perubahan RUU Pemilu. Meski demikian, selalu terbuka opsi mengubah RUU Pemilu itu di masa depan, atau di momen yang lain.
”Yang harus diingat ialah sebuah RUU itu harus ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah. Saat ini, kita berpikir positif saja bahwa memang momentumnya belum tepat bagi kita untuk mengajukan revisi ini. Dalam waktu dekat, kami akan membahasnya di komisi. Selanjutnya, kami ikuti mekanisme di Bamus. Pandangan resmi dan final fraksi-fraksi akan disampaikan di Bamus, apakah kita akan meneruskan RUU ini ataukah tidak,” tuturnya.
Harus kreatif
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, sikap-sikap parpol yang berubah itu sangat mengecewakan. Sebab, banyak hal yang mestinya dapat diperbaiki dengan revisi UU Pemilu. Namun, karena sikap politik itu sangat menentukan dalam keberlanjutan suatu pembahasan RUU, kini langkah lain harus ditempuh.
Upaya untuk menghadirkan dasar hukum bagi keserentakan pemilu yang lebih rasional bisa ditempuh melalui uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Cara lain juga dapat ditempuh, misalnya dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu). Namun, untuk jalan kedua, yakni pembentukan perppu, menurut Hadar, kecil kemungkinan akan disetujui oleh presiden sebab pemerintah menginginkan pilkada tidak dilakukan pada 2022 dan 2023.
”Kita mungkin hanya bisa berharap pada uji materi di MK sebab perbaikan terbatas di UU Pemilu juga kecil kemungkinan disepakati jika menyangkut soal keserentakan Pilkada 2024. Di sisi lain, KPU juga harus mulai mengantisipasi dan membuat simulasi jika pilkada dan pemilu serentak, 2024,” tuturnya.
Menurut Hadar, KPU harus kreatif membuat terobosan teknis penyelenggaraan yang memudahkan penyelenggara ataupun pemilih. Penggunaan teknologi dapat dioptimalkan, antara lain dengan rekapitulasi elektronik. KPU sudah berpengalaman menggunakan Sirekap (aplikasi rekapitulasi) dan hal itu harus diperkuat sebagai bagian upaya memudahkan kerja-kerja penyelenggara.
Hal itu memang belum diatur di dalam UU Pemilu, tetapi setidaknya ide itu harus dimunculkan. ”KPU harus berani dan reformis karena ini demi terpenuhinya asas-asas pemilu yang baik. Ide itu harus dimunculkan di dalam rapat konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Tidak semua hal harus ada di UU Pemilu sebab ini, kan, soal penafsiran saja. Sepanjang itu tidak dilarang secara eksplisit di dalam UU Pemilu, KPU dapat mengajukan ide-ide terobosan kepada pembuat kebijakan,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyampaikan tabel formulasi penghitungan suara dalam diskusi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019 yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR, Menteng, Jakarta, Minggu (6/11). Diskusi membahas sejumlah isu krusial antara lain variabel sistem pemilu, seperti ambang batas parlemen, formula penghitungan suara, metode pemberian suara, dan penataan daerah pemilihan, juga desain penegakan hukum pemilu yang dirancang di dalam RUU tampak masih berpotensi memunculkan sejumlah persoalan.
Usulan lain yang dapat juga dicoba oleh KPU ialah tentang early voting. Dengan melakukan pemilihan awal atau early voting, kepadatan di TPS dapat dikurangi. Lagi pula, pemilihan awal ini sudah dapat dilakukan oleh warga di luar negeri. Hal serupa dapat pula diatur untuk keperluan tetentu, termasuk dalam kondisi-kondisi yang menyulitkan. UU Pemilu belum mengatur early voting secara eksplisit dan tidak ada larangan pula soal hal ini. Oleh karena itu, menurut Hadar, kreativitas dan terobosan KPU dapat dilakukan dalam mengatur hal ini ke dalam PKPU.
Kalau warga Indonesia di luar negeri dapat melakukan early voting, kenapa tidak mereka yang ada di dalam negeri juga dapat dilayani dengan cara yang sama. Yang penting, kan, ini dilakukan demi untuk memenuhi asas pemilu yang baik.
”Kalau warga Indonesia di luar negeri dapat melakukan early voting, kenapa tidak mereka yang ada di dalam negeri juga dapat dilayani dengan cara yang sama. Yang penting, kan, ini dilakukan demi untuk memenuhi asas pemilu yang baik,” ujarnya.
Anggota Dewan Pembinan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, apabila pemerintah dan mayoritas partai menolak revisi, harapan pembenahan regulasi akhirnya beralih ke MK. ”Bisa jadi ada hambatan-hambatan dari pengaturan yang tidak mampu menangkap realita lapangan, sehingga akhirnya MK menjadi sandaran untuk menyelesaikannya,” ucapnya.
Di sisi lain, KPU juga didorong untuk melakukan simulasi penyelenggaraan Pemilu 2024 secara menyeluruh. ”KPU harus mengukur dan menghitung apa saja kebutuhan dan daya dukung sehingga KPU bisa menyelenggarakan pemilu dengan siap, berkualitas, profesional, dan kredibel. Sebab, kalau tidak, kita sedang berhadapan dengan pertaruhan besar atas integritas demokrasi elektoral kita,” ujarnya.
Sejumlah alternatif
Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, ada sejumlah alternatif yang disiapkan untuk mengantisipasi permasalahan teknis penyelenggaraan pemilu serentak 2024. Namun, tidak semua alternatif tersebut bisa dilaksanakan dengan landasan hukum berupa PKPU.

Suasana audiensi dan diskusi mengenai RUU Pemilihan Umum dan UU terkait lainnya di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (19/2/2020). Sejumlah lembaga, seperti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Indonesian Corruption Watch, Perludem, dan KoDe Inisiatif hadir dalam pertemuan dengan Pelaksana Tugas Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar tersebut.
Untuk meringankan beban penyelenggara pemilu serentak 2024 salah satunya dengan menyederhanakan tahapan penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilihan Kepala Daerah 2024. Hal itu dilakukan dengan meniadakan tahapan pencocokan dan penelitian (coklit).
Teknisnya, yakni DPT Pemilihan Presiden dan Pemilu Legislatif ditambah data pemilih pemula atau pemilih yang masuk usia 17 tahun antara April 2024 hingga November 2024. Selanjutnya daftar pemilih tersebut langsung ditetapkan sebagai DPS.
Dua alternatif ini bisa didorong dengan revisi terbatas atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang karena hanya perlu dua ayat atau pasal.
Setelah diumumkan untuk mendapat masukan publik dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), daftar pemilih itu lalu ditetapkan sebagai daftar pemilih sementara atau DPS-hasil perbaikan (DPS-HP). Kemudian diumumkan lagi untuk mendapatkan catatan masukan publik dan Bawaslu. Terakhir, daftar pemilih itu ditetapkan menjadi DPT Pilkada 2024.
Baca Juga: Fraksi-fraksi Belum Sepakat soal Isu Krusial dalam RUU Pemilu
”Meniadakan tahapan coklit akan meringankan tugas KPU dan jajarannya, menyingkat waktu, serta efisiensi anggaran yang cukup besar,” ujarnya.
Alternatif itu bisa dilakukan melalui PKPU, sama seperti Pemilu 2019. Saat itu, DPT di daerah-daerah penyelenggara Pilkada 2018 langsung ditetapkan sebagai DPS Pemilu 2019 dan tidak diadakan lagi tahapan coklit di daerah tersebut.
”Itu dituangkan dalam PKPU yang disetujui saat Rapat Dengar Pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah,” kata Pramono.
Adapun alternatif lain untuk meringankan beban penyelenggara, terutama Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, yakni melalui pemberian suara melalui pemungutan suara awal (early voting) untuk mengurangi jumlah pemilih yang datang ke TPS. Kemudian proses rekapitulasi suara sebaiknya memanfaatkan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) untuk meringankan beban KPPS dalam menyalin Form C-Plano dan menyederhanakan proses rekapitulasi.
”Dua alternatif ini bisa didorong dengan revisi terbatas atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang karena hanya perlu dua ayat atau pasal,” katanya.
Meski demikian, ada hal-hal terkait ketersediaan logistik dan pelayanan pemilih yang hingga saat ini belum menemukan solusi alternatif. Keberadaan lima jenis surat suara, yakni pemilu presiden bersamaan dengan pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada pemilu serentak 2024 menjadi kerumitan tersendiri bagi penyelenggara dan pemilih.

Ketua Pansus RUU Pemilu Arif Wibowo (kanan depan) memberikan salinan RUU Pemilu kepada Ketua DPR Marzuki Alie (tengah) disaksikan Wakil DPR (kanan ke kiri) Taufik Kurniawan, Pramono Anung, Priyo Budi Santoso, dan Anis Matta, saat rapat paripurna dengan agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (11/4).