Problem kewarganegaraan AS yang dimiliki calon bupati terpilih Sabu Raijua, Orient P Riwu Kore, menguak sederet persoalan. Harus jadi bahan perbaikan bagi penyelenggara pemilu dan pemerintah agar tak terulang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Persoalan kewarganegaraan Amerika Serikat yang dimiliki calon bupati terpilih Sabu Raijua, Orient P Riwu Kore, menguak masih lemahnya proses verifikasi persyaratan terhadap mereka yang ingin menjadi kepala/wakil kepala daerah. Ini harus menjadi pelajaran bagi penyelenggara pemilu dan pemerintah. Apalagi, persoalan kewarganegaraan bukan hal yang sederhana. Seseorang dengan kewarganegaraan asing bisa saja membawa kepentingan asing tatkala menjadi pimpinan daerah.
Kecolongan di tahap verifikasi calon kepala/wakil kepala daerah hingga akhirnya calon itu terpilih bukan hanya terjadi di Sabu Raijua. Lebih dari satu dekade lalu, cerita serupa juga muncul di Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan dengan kemenangan calon akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dirwan Mahmud harus rela melepas kemenangan yang sudah di depan mata karena MK menyatakan kemenangannya di Pilkada 2008 batal demi hukum (void ab initio). Ia terbukti pernah menjadi narapidana dengan masa tahanan lebih dari 5 tahun sehingga pencalonannya saat itu dinilai cacat yuridis.
Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Mahfud MD pada 8 Januari 2009, kesalahan ada di penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bengkulu Selatan dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Bengkulu Selatan. Kedua pihak tersebut dinilai telah melalaikan tugas karena tidak pernah memproses secara sungguh-sungguh laporan-laporan yang diterima tentang latar belakang Dirwan.
”Kelalaian tersebut menyebabkan seharusnya pihak terkait (Dirwan) tidak berhak ikut dan karena itu keikutsertaannya sejak semula adalah batal demi hukum,” seperti dikutip dalam putusan MK Nomor 57/PHPU.D-VI/2008.
MK lantas memerintahkan KPU melakukan pemungutan suara ulang tanpa diikuti oleh Dirwan dan calon wakil bupatinya, Hartawan.
Kasus kecolongan itu lantas terulang kembali pada Orient P Riwu Kore, calon bupati terpilih dalam Pilkada Sabu Raijua 2020. Sekalipun Orient dalam keterangan video, Sabtu (6/2/2021), menegaskan dirinya berkewarganegaraan Indonesia dan menyatakan sudah dalam proses mencabut kewarganegaran AS-nya, tetapi surat Kedutaan Besar AS di Jakarta, tertanggal 1 Februari 2021, menunjukkan sebaliknya.
Dalam surat balasan atas permintaan penjelasan soal kewarganegaraan Orient dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sabu Raijua itu, Orient dinyatakan sebagai warga negara AS.
Batal demi hukum
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso saat dihubungi, akhir pekan lalu, mengatakan, kemenangan Orient seharusnya batal demi hukum karena sejak awal tidak memenuhi syarat (ab initio ineligibility), sama seperti kasus Dirwan.
”Maka, semua suara pasangan itu seharusnya dianggap tidak ada. Dengan demikian, keputusan KPU kabupaten tentang hasil rekapitulasi itu tidak sah karena ada pasangan calon yang sejak awal tidak memenuhi syarat,” ujar Topo.
Sejauh ini, aturan yang pas dengan kasus Dirwan ataupun Orient tidak diatur. Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, diskualifikasi atau pembatalan pasangan calon atau paslon hanya bisa terjadi jika paslon, misalnya, mengganti pejabat dalam enam bulan sebelum tanggal penetapan paslon tanpa persetujuan Menteri Dalam Negeri. Selain itu, jika terbukti telah melakukan politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Namun, bukan berarti Dirwan atau Orient bisa asal melenggang bebas menjadi kepala daerah. Menurut Topo, KPU seharusnya merujuk pada aturan tentang syarat pencalonan, proses, dan penetapan calon. Dari sana, KPU bisa segera mengambil tindakan administratif untuk membatalkan calon.
”Walaupun tidak masuk di pasal-pasal itu, karena ini berkaitan dengan prasyarat sebagai calon, jadi sudah seharusnya dibatalkan walaupun proses pilkada sudah selesai,” ujar Topo.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf sependapat dengan Topo. ”Batal demi hukum karena cacat prosedur, cacat persyaratan,” tuturnya.
Ia pun mengingatkan, syarat kewarganegaraan, termasuk dalam pencalonan pilkada, merupakan syarat yang vital. Dengan berstatus warga negara AS, calon bisa berafiliasi atau membawa kepentingan asing. ”Jadi, syarat warga negara itu vital, itu urusan sangat pokok karena tidak boleh warga negara asing menjadi pejabat publik,” ujar Asep.
Menurut Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, cukup tiga bukti guna membatalkan kemenangan Orient, yakni surat dari Kedubes AS, surat peringatan dari Bawaslu ke KPU, dan pernyataan Orient.
”Tiga dokumen itu sebetulnya kalau dibawa ke pleno KPU bisa membuat surat keputusan penetapan sebagai bupati terpilih bisa dikoreksi,” ujarnya.
Namun, ironisnya, antarinstansi pemerintah dan penyelenggara pemilu malah saling melempar tanggung jawab. Ketua Bawaslu Abhan tidak ingin disebut instansinya kecolongan dalam kasus Orient. Sebab, Bawaslu Sabu Raijua sudah melakukan beberapa tindakan untuk memastikan kewarganegaraan Orient sejak 5 September 2020 atau lebih dua pekan sebelum penetapan paslon pada 23 September.
Bawaslu Sabu Raijua juga telah bersurat ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Direktorat Lalu Lintas Keimigrasian Kemenkumham. Namun, hingga saat ini, surat tersebut tak kunjung dibalas.
Sebaliknya, Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Sinta Simanjuntak menyatakan, instansinya tak pernah menerima surat tersebut. ”Sampai saat ini belum ada permintaan tentang status (kewarganegaraan Orient),” katanya.
Adapun komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik, berdalih semua tahapan pilkada telah selesai. Karena itu, persoalan Orient menjadi kewenangan pemerintah. ”Ini bukan serah menyerahkan persoalan, melainkan menjalankan tugas sesuai kewenangan yang diberikan undang-undang dan peraturan KPU,” ujarnya.
Sementara itu, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik hingga kini masih menunggu kepastian dari Kemenkumham terkait status kewarganegaraan Orient.
Persoalan koordinasi
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, kasus Orient merefleksikan sistem koordinasi sekaligus kontrol negara ini masih lemah. Semua level kecolongan setelah yang bersangkutan tidak jujur atau tidak mengaku terhadap statusnya.
”Kalau memang ditemukan ketidakpemenuhan syarat seharusnya dibatalkan,” kata Hadar.
Seluruh pihak, menurut Hadar, wajib menjadikan persoalan ini sebagai pelajaran. Penguatan sistem koordinasi dan kontrol harus dilakukan. Selain itu, ia mengusulkan agar syarat kewarganegaraan di pilkada diperketat. Menurut dia, ke depan, harus ada pernyataan dari calon bahwa calon berstatus warga negara Indonesia saat mencalonkan.
”Ini akan mengikat yang bersangkutan, bersikap jujur, dan memberikan keterangan yang benar. Mengandalkan KTP elektronik yang memiliki kolom kewarganegaraan tidak cukup karena lemahnya sistem koordinasi dan kontrol,” ujar Hadar.