Perbaikan Demokrasi Paralel dengan Pemberantasan Korupsi
Upaya untuk membenahi kualitas demokrasi di Indonesia harus berjalan paralel dengan pemberantasan korupsi. Sebab, pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah bentuk budaya politik yang demokratis.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah akademisi memaknai turunnya skor Indonesia dalam Indeks Demokrasi 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU) menjadi sinyal peringatan situasi demokrasi yang darurat. Perbaikan demokrasi perlu dijalankan secara paralel dengan pemberantasan korupsi. Kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi harus dipulihkan.
Di sisi lain, Kantor Staf Presiden menegaskan pemerintah berkomitmen untuk tetap menjaga demokrasi. Indeks Demokrasi yang merosot akan menjadi catatan untuk evaluasi dan kebijakan strategis yang akan dilakukan pemerintah.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra saat dihubungi, Sabtu (6/2/2021), mengatakan, demokrasi di Indonesia berada dalam kondisi darurat jika dilihat dari tren merosotnya indikator-indikator dalam Indeks Demokrasi EUI selama beberapa waktu terakhir.
Dari laporan Indeks Demokrasi 2020 yang diluncurkan EIU pada 3 Februari 2021, capaian Indonesia di tahun 2020 ialah 6,30. Dari skala 0-10, makin tinggi skor dinilai makin baik kualitas demokrasi. Nilai di tahun 2020 juga menjadi yang terendah untuk Indonesia sepanjang 14 tahun, atau sejak indeks ini disusun EIU tahun 2006. Dari lima aspek demokrasi yang diukur, penurunan tajam dialami Indonesia pada indikator budaya politik yang hanya memperoleh 4,38 poin. Skor ini anjlok dari capaian tahun 2019, yaitu 5,63.
Di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan Transparency International tahun 2020 juga merosot. Tahun 2020, Indonesia berada di peringkat ke-102 dari 180 negara.
”Upaya untuk membenahi kualitas demokrasi di Indonesia harus berjalan paralel dengan pemberantasan korupsi. Sebab, pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah bentuk budaya politik yang demokratis,” ujar Azra.
Dia juga mengatakan, karena penurunan signifikan skor indeks demokrasi pada aspek budaya politik, pemerintah, DPR, dan elite politik harus serius membangun budaya dan infrastruktur budaya politik. Kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi harus dipulihkan melalui kepemimpinan eksekutif dan legislatif.
Selain itu, partisipasi politik yang banyak terkendala oleh situasi pandemi Covid-19 harus kembali ditingkatkan. Jangan sampai ada lagi penyusunan regulasi yang meminggirkan partisipasi masyarakat. Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, Azra mencontohkan, meski banyak elemen masyarakat menentang, RUU itu tetap disahkan DPR menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.
”Pemerintah, DPR, dan elite politik harus menghentikan persekongkolan politik otokratis-oligarkis dalam legislasi dan regulasi dan pengambilan keputusan. Cara-cara seperti itu tidak sesuai dengan budaya politik demokrasi,” ujar Azra.
Sementara itu, pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Mada Sukmajati, juga mengatakan, penurunan indeks demokrasi menunjukkan bahwa Indonesia sudah mengalami kondisi darurat demokrasi. Hal ini tidak bisa terus dibiarkan. Pemerintah, DPR, dan elite politik harus menyikapinya dengan serius.
Apalagi, tren kemunduran demokrasi itu juga terjadi secara global. Bahkan, Amerika Serikat sebagai negara yang dianggap sudah matang demokrasinya pun mengalami tantangan yang sama.
”Kalau saya mengamati, gejala penurunan demokrasi di dunia itu terjadi karena pengaruh politik identitas dan korupsi yang semakin marak. Pemerintah bisa menjadikan aspek tersebut sebagai agenda utama perbaikan dan penguatan demokrasi,” kata Mada.
Dia juga sepakat bahwa partai politik merupakan aktor utama memengaruhi budaya politik di Indonesia. Oleh karena itu, reformasi parpol menjadi pekerjaan rumah terbesar untuk memperbaiki budaya politik, sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Revisi UU Parpol menjadi agenda mendesak, tetapi tidak banyak disuarakan oleh pemerintah dan DPR. Masyarakat sipil harus kembali mendorong agar revisi UU Parpol menjadi agenda bersama.
”Pemerintah harus kembali meneguhkan komitmennya pada penguatan demokrasi. Jangan sampai, karena berfokus pada pembangunan dan ekonomi, aspek-aspek lain dikesampingkan. Jika itu yang terjadi, akhirnya kita kembali seperti pada era Orde Baru,” kata Mada mengingatkan.
Pemerintah evaluasi
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani menyampaikan, dalam rentang waktu sejak laporan Indeks Demokrasi dibuat oleh EIU, Indonesia selalu masuk dalam kategori demokrasi yang cacat (flawed democracies). Pada tahun 2017, indeks demokrasi sempat membaik, kemudian kembali merosot di tahun 2020.
Hal itu dapat diartikan bahwa sampai saat ini, Indonesia masih berjuang untuk tidak merosot pada kondisi lebih buruk. Indonesia, misalnya, menjaga agar tidak jatuh pada rezim hibrida atau otoriter.
”Indonesia masih terus berjuang untuk menjadi negara demokrasi penuh,” katanya.
Jaleswari juga mengatakan bahwa komitmen pemerintah untuk merawat demokrasi tetaplah kuat. Demokrasi diyakini sebagai upaya menyelamatkan negara dan Indonesia yang plural. Demokrasi harus menjadi pergerakan yang dijaga bersama. Indeks Demokrasi yang merosot akan menjadi catatan untuk evaluasi dan kebijakan strategis yang akan dilakukan pemerintah.
Menurut dia, salah satu aspek yang memengaruhi turunnya indeks demokrasi adalah gencarnya penegakan hukum terhadap aksi intoleransi yang membahayakan ideologi negara. Padahal, pemerintah meyakini bahwa menguatnya intoleransi perlu direspons melalui langkah penegakan hukum. Penegakan hukum juga dilakukan untuk memperteguh ideologi Pancasila, melawan radikalisme, dan mengokohkan toleransi.
”Upaya itu adalah cara pemerintah merawat demokrasi agar tetap hidup. Pemerintah tidak mau berkembang ideologi yang membahayakan keberlangsungan negara di tengah ancaman pandemi Covid-19,” kata Jaleswari.