Demokrasi dan Intervensi Uang
Skor Indonesia pada Indeks Demokrasi 2020 EIU menurun, salah satunya disebabkan kultur politik yang memburuk. Politik uang dalam kontestasi elektoral juga punya andil memperburuk budaya politik.
Indeks Demokrasi 2020, yang diluncurkan the Economist Intelligence Unit (EIU) pada 3 Februari 2021, memberi sinyal bagi semua pemangku kepentingan di Indonesia untuk sama-sama berbenah. Skor Indonesia pada indeks itu tercatat 6,30, turun dibandingkan skor pada 2019, yakni 6,48. Skor tahun 2020 itu jadi yang terendah untuk Indonesia sepanjang 14 tahun terakhir atau sejak indeks ini disusun EIU tahun 2006.
Dari skala 0-10, semakin tinggi skor, makin baik kondisi demokrasi sebuah negara. Dengan skor rata-rata 6,30, Indonesia tergolong flawed democracy (demokrasi yang cacat). Indonesia menempati urutan ke-64 dari 167 negara yang dikaji. Dari lima aspek demokrasi yang diukur EIU, penurunan tajam dialami Indonesia pada indikator budaya politik yang hanya memperoleh 4,38 poin. Skor ini anjlok dari tahun 2019, yakni 5,63.
Ada sejumlah indikator yang diukur dalam aspek ini, seperti keyakinan pada demokrasi kemudian kepemimpinan di berbagai cabang kekuasaan. Keyakinan pada demokrasi dan bagaimana hal itu berdampak pada masyarakat, dari berbagai penelitian juga tidak terlepas dari rangkaian proses pra, saat, dan setelah kontestasi elektoral. Intervensi politik uang sebuah pemilihan ditengarai juga berpengaruh.
Politik uang membuat kontestasi tidak lagi berdasar gagasan atau tawaran program. Selain itu, politik uang juga membuat pejabat yang terpilih menjadi merasa tak punya ikatan ”kontrak sosial” dengan pemilihnya sehingga menurunkan fungsi representasi. Akibat lebih lanjut, masyarakat menjadi merasa punya jarak dengan orang yang mereka pilih untuk mewakilinya. Pada akhirnya, hal ini memengaruhi kepercayaan mereka pada proses demokrasi.
Kuatnya peran uang dalam kontestasi pengisian jabatan publik dialami oleh sebagian calon anggota legislatif dan calon kepala daerah. Sekarwati, mantan calon anggota legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah VII di Pemilu 2019, merasakan dampak politik uang dalam proses elektoral.
Dosen yang juga menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu gagal merebut satu kursi Dewan Perwakilan Rakyat mewakili pemilih dari Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen, Jawa Tengah. Padahal, ia mengaku sudah melakukan kerja-kerja politik jauh sebelum gelaran Pemilu 2019 berlangsung.
”Pemberdayaan masyarakat yang telah saya lakukan sejak lama hilang tak berbekas ketika ada uang berseliweran menjelang tahapan pemungutan suara. Praktik politik uang membuat kerja-kerja saya tidak berbekas,” kata Sekarwati dalam sebuah seminar daring para akhir Januari 2021.
Baca juga: Pandemi Beri Tekanan Indeks Demokrasi Indonesia
Menurut dia, kekuatan uang cukup berpengaruh menentukan keterpilihan seseorang mewakili pemilih di suatu daerah. Akibatnya, dalam pemilu, kualitas dan prestasi seseorang kian tak menentukan keterpilihan dari masyarakat.
Salah satu penyebabnya adalah reformasi pada masyarakat yang berjalan tidak sebaik reformasi negara. Orde Baru, negara melakukan reformasi besar-besaran untuk memperkuat sistem demokrasi. Sayangnya, reformasi pada masyarakat sebagai pemilik kuasa demokrasi kurang berjalan baik sehingga pemilih yang bisa dibeli dengan uang tumbuh subur hingga kini.
Mahar politik
Uang tak hanya penting dalam hubungannya dengan pemilih. Pada pemilihan kepala daerah, uang dinilai menjadi faktor penting untuk mendapatkan dukungan dari partai politik atau yang dikenal sebagai mahar politik.
Fenomena tersebut, kata peneliti Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KILTV), Ward Berenschot, salah satunya terjadi pada Pemilihan Bupati Lampung 2014. Dua kandidat yang memperebutkan dukungan parpol sama-sama menyerahkan uang ke kantor parpol di Jakarta agar bergabung dengan partai koalisi kandidat.
Dari kajian koalisi parpol pendukung calon kepala daerah pada Pilkada 2005-2018, ada kecenderungan parpol berorientasi mahar politik dalam memberikan dukungan. Data yang diolah dari 5.048 koalisi di 1.478 daerah penyelenggara pilkada menunjukkan, ideologi parpol tidak menjadi penentu dalam pembentukan koalisi.
Menurut dia, faktor utama pembentuk koalisi justru mahar politik yang mampu dibayarkan oleh kandidat kepada parpol pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Fenomena itu sangat kuat terjadi di Pilkada 2005-2014 yang ditunjukkan dengan rendahnya persentase koalisi pemilik kursi DPRD sehingga memunculkan banyak kandidat dalam pilkada.
Pada pilkada periode 2005-2014, persentase rata-rata koalisi pendukung 23 persen hingga 23,5 persen untuk satu paslon sehingga jumlah kandidat dalam satu pemilihan berkisar 3-5 paslon. Koalisi cenderung dibentuk untuk memenuhi ambang batas pencalonan agar makin banyak parpol pemilik kursi mendapatkan mahar politik.
Polanya cenderung berubah pada Pilkada 2015-2018 dengan koalisi yang membesar. Rata-rata koalisi parpol pendukung mencapai 31,01 persen hingga 39,62 persen sehingga rata-rata jumlah kandidat dalam pilkada jadi tiga pasang.
Namun, mahar politik tetap dinilai penting pada koalisi yang lebih besar tersebut. Bahkan dalam memberikan dukungan, parpol cenderung mendukung kandidat yang memiliki peluang menang lebih besar agar bisa mendapatkan akses pada sumber kekayaan negara dan politik patronase. Parpol akhirnya cenderung memberi dukungan pada petahana karena potensi menangnya lebih besar.
”Koalisi tidak berdasarkan ideologi karena tidak ada dampak perolehan suara yang signifikan jika berkoalisi dengan ideologi yang sama. Namun, ada kecenderungan koalisi di nasional memengaruhi situasi koalisi di daerah,” ujar Berenschot.
Tingginya mahar politik mengakibatkan kandidat yang memiliki uang sangat banyak yang mampu membeli tiket menuju pilkada. Salah satu pihak yang memiliki kemampuan dana tinggi adalah pengusaha, maka tak ayal kandidat kepala daerah berlatar belakang pengusaha selalu mendominasi pilkada.
Data yang dihimpun dari Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, kandidat dari latar belakang pengusaha menjadi yang terbanyak dibandingkan latar belakang lain, seperti birokrat dan anggota legislatif. Pada Pilkada Serentak 2015 (44 persen), Pilkada 2017 (49 persen), Pilkada 2018 (45 persen), dan Pilkada 2020 (45 persen).
Bahkan KPK juga mencium adanya praktik mahar politik yang diberikan oleh kandidat kepada parpol pendukung. Survei KPK pada kandidat yang kalah di Pilkada 2018 menunjukkan, ada 20 responden (total responden 198 orang) yang mengaku mengeluarkan biaya mahar politik kepada parpol berkisar Rp 50 juta hingga Rp 500 juta per kursi.
Padahal pada tingkat kabupaten/kota jumlah anggota DPRD berkisar 20-50 kursi, sedangkan pada tingkat provinsi ada 35-100 kursi. Dengan demikian, untuk mendapat tiket pencalonan, paslon memerlukan hingga 10 kursi di DPRD kabupaten/kota dan 20 kursi dari DPRD provinsi. Ini berdasar pada syarat pencalonan pilkada minimal 20 persen kursi DPRD. Biaya mahar ini diakui kandidat menjadi komponen biaya termahal dalam pembiayaan pilkada.
Tingginya mahar politik itu, menurut Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto, turut memicu terjadinya korupsi politik. Selama kurun waktu 2005-2020, setidaknya 135 kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan oleh KPK. Jumlahnya cenderung meningkat di tahun-tahun yang menyelenggarakan pilkada, seperti 2017 (19 kasus) dan 2018 (30 kasus).
”Sangat disayangkan karena tren peningkatan setiap kali menjelang pemilu yang berarti mengiyakan eksistensi politik uang menjelang periode kontestasi politik,” ujarnya.
Demokrasi
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor menilai, elite parpol memegang peran penting dalam kandidasi calon kepala daerah. Ironisnya, elite parpol kini cenderung dikuasai oleh oligarki yang memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Pengurus parpol yang sangat menentukan arah kebijakan parpol tersebut cenderung dikuasai orang-orang dekat elite, bukan atas dasar ideologi.
”Oligarki juga masih kuat, terlebih ketika partai masih lemah secara finansial. Jika dahulu pebisnis memanfaatkan parpol untuk mendapatkan akses sumber daya keuangan, kini parpol malah diambil alih oleh pebisnis,” kata Firman.
Celakanya, elite-elite politik sangat menentukan nasib terpeliharanya prinsip-prinsip demokrasi. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, elite partai nasional berperan penting dalam membangun perspektif masyarakat tentang nilai-nilai demokrasi.
Ada kecenderungan masyarakat umum untuk berubah pendapat terkait dengan jalannya demokrasi setelah dipengaruhi oleh pernyataan figur politik. Hal-hal nondemokratis akan didukung oleh masyarakat apabila elite parpol yang didukung menjadi bagian di dalamnya. Kondisi ini akan lebih terlihat pada kelompok masyarakat yang mengalami polarisasi.
”Demokrasi mengalami regresi dalam konteks Indonesia juga disebabkan oleh perilaku elite yang mencoba untuk menarik konstituen untuk mendukung hal-hal yang bertentangan dengan demokrasi,” kata Burhanuddin.
Kuatnya peran politik uang saat kedudukan parpol melemah mengakibatkan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Rakyat yang sejatinya merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam sistem demokrasi menjadi tak berdaya akibat kuasa uang. Akhirnya, kepercayaan pada demokrasi bisa terus tergerus. Maukah kita berbenah?