Penanggulangan Setengah Hati, Covid-19 Tak Terbendung
Upaya pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dinilai setengah hati. Diperlukan konsistensi, penegakan aturan, bahkan kebijakan yang ekstrem saat kasus Covid-19 kian menjulang.
Kebijakan pemerintah dalam mengendalikan Covid-19 tidak efektif. Ini terbukti dari tren penularan Covid-19 di Tanah Air yang kian agresif dan tak terbendung. Padahal, pandemi telah berlangsung selama 11 bulan. Maka, kebijakan yang lebih keras dan ketat menjadi keniscayaan jika penderitaan akibat pandemi ingin segera diakhiri.
Satu Meja The Forum membahas masalah tersebut, Rabu (3/2/2021). Dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo, acara dengan tema ”Siap-siap Lockdown?” itu menghadirkan empat narasumber secara virtual.
Mereka adalah anggota Komisi IX dari Fraksi PAN DPR, Saleh Daulay; Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Dany Amrul Ichdan; Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Agustin Kusumayati, dan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad.
Kasus Covid-19 di Tanah Air terkonfirmasi pertama kali pada 2 Maret 2020. Sejak saat itu, pemerintah berupaya mengendalikan penyebaran kasus dengan sejumlah kebijakan. Awalnya adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ini diterapkan di sejumlah daerah. Inisiatif pelaksanaan harus datang dari pemerintah daerah.
Baca juga : Pastikan Pembatasan Skala Mikro Lebih Substantif
PSBB berlangsung selama beberapa minggu atau bulan pada 2020 di sejumlah daerah. Toh, tambahan kasus harian Covid-19 konsisten meningkat dari bulan ke bulan. Peningkatan makin tajam memasuki Desember, terutama pascapemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember dan libur panjang akhir tahun 2020.
Guna menahan laju kasus, pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di 77 kabupaten dan kota di Jawa dan Bali, 11-25 Januari. Belakangan, periodenya diperpanjang sampai 8 Februari.
Guna menahan laju kasus, pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di 77 kabupaten dan kota di Jawa dan Bali, 11-25 Januari.
Berdasarkan data pemerintah, Covid-19 di Indonesia tembus angka 1 juta kasus per 26 Januari. Pada 1 Februari, total kasusnya telah mencapai 1.089.306 kasus dengan 175.349 kasus di antaranya berstatus aktif.
Sebagai pembanding, India memiliki akumulasi kasus sebanyak 1,39 juta kasus alias lebih banyak ketimbang Indonesia. Namun, jumlah kasus aktifnya lebih rendah, yakni 164.278 kasus. Ini mengindikasikan, India berangsur-angsur mulai bisa mengendalikan laju penularan Covid-19.
Baca juga : Kasus Covid-19 Global Turun, Indonesia Justru Naik
Tak efektif
Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/1/2021), menyatakan, implementasi PPKM tidak efektif. Dengan demikian, kasus Covid-19 masih terus meningkat.
”Yang berkaitan dengan PPKM, tangal 11 Januari sampai 25 Januari, kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif. Mobilitas juga masih tinggi. Kita punya indeks mobilitasnya sehingga di beberapa provinsi (kasus) Covid-nya tetap naik,” kata Presiden.
Implementasi PPKM tidak efektif. Dengan demikian, kasus Covid-19 masih terus meningkat.
Untuk itu, Presiden meminta Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPPEN) Airlangga Hartarto untuk melibatkan sebanyak-banyaknya epidemiolog guna mendesain kebijakan yang lebih komprehensif. Salah satu aspek implementasi yang vital adalah adanya operasi yang konsisten di lapangan.
”Sebetulnya esensi PPKM ini, kan, membatasi mobilitas. Namanya saja pembatasan kegiatan masyarakat. Tetapi, yang saya lihat di implementasinya, ini kita tidak tegas dan tidak konsisten,” kata Presiden.
Presiden juga mengingatkan bahwa penerapan PPKM berdampak pada melambatnya perekonomian. ”Ada PPKM, ekonomi turun. Sebetulnya enggak apa-apa asal Covid-nya juga turun. Tapi, ini ndak. Menurut saya, coba dilihat lagi,” kata Presiden sambil berharap KPPEN akhirnya mampu mendapatkan sebuah formula efektif mengendalikan penyebaran Covid-19.
Dalam dialog Satu Meja The Forum, Dany menyatakan, kebijakan PPKM sudah baik. Tantangannya adalah pada implementasi. Terjadi inkonsistensi antara kebijakan dan implementasi di lapangan.
”Ada kelemahan-kelemahan yang tidak bisa kita salahkan semuanya ke masyarakat. Case by case. Ini membuat transmisi Covid-19 berjalan terus,” kata Dany.
Untuk itu, ia melanjutkan, pemerintah bertekad mengetatkan implementasi PPKM. Agar lebih efektif, penerapannya akan menggunakan strategi manajemen mikro, yakni spesifik sampai tingkat RT/RW atau desa.
Baca juga : Pengendalian Covid-19 Menyimpang dari Prinsip Epidemiologi
Menjawab kritik kebijakan pemerintah yang terus berubah, Dany mengatakan bahwa itu menjadi keniscayaan di tengah situasi pandemi yang darurat. Perubahan itu didasarkan atas sikap pemerintah yang adaptif terhadap dinamika persoalan.
Dany juga menekankan, pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah bekerja serius dan turun ke lapangan. Untuk itu, yang diperlukan saat ini lebih banyak di wilayah operasional ketimbang strategi besar.
Kusumayati berpendapat, epidemiolog sudah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Namun, tidak semua kebijakan terimplementasikan sesuai desain.
”Ketika kebijakan sudah diambil, implementasinya juga tidak gampang. Apa yang kita ambil sebagai pilihan, impementasinya tidak seperti harapan,” katanya.
Epidemiolog sudah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Namun, tidak semua kebijakan terimplementasikan sesuai desain.
Obat pandemi, menurut Kusumayati, sebenarnya tidak ada yang baru. Semua pihak sudah tahu obatnya. ”Racikannya itu memang kemudian yang menentukan. Kita mencari dan mencoba yang terbaik. Tapi, tidak boleh terlalu besar error-nya. Kita bisa belajar dari negara lain agar racikan kita bisa tepat,” katanya.
Karantina wilayah
Kunci menghadapi Covid-19, lanjut Kusumayati, adalah mengubah perilaku masyarakat sehingga penularan bisa dicegah. Guna mengubah perilaku masyarakat itulah, konsistensi penegakan kebijakan menjadi vital, selain pendampingan juga penegakan hukum. Berikutnya adalah menyelenggarakan tes, pelacakan, dan isolasi yang selama ini juga masih belum efektif.
Selain mengubah perilaku individu-masyarakat, ia mengingatkan, penting juga mengubah kebiasaan lembaga. Ini membutuhkan waktu dan pendekatan yang berbeda dari upaya mengubah perilaku individu-masyarakat.
”Intervensi harus diperkuat sehingga kemudian betul-betul membuat penduduk di zona tertentu diam sementara waktu. Turunkan tingkat penularan. Baru kalau kondisi sudah terkendali, kegiatan bisa berangsur-angsur diaktifkan kembali. Ini suatu pilihan yang bisa kita terapkan dengan implementasi yang baik dan konsisten,” tuturnya.
Dari aspek kebijakan, pemerintah dinilai tidak konsisten. Dari istilahnya saja, misalnya, terus berubah.
Dari aspek kebijakan, Saleh menilai bahwa pemerintah tidak konsisten. Dari istilahnya saja, misalnya, terus berubah. Akibatnya, belum tersosialisasi dengan kebijakan lama, masyarakat sudah dihadapkan dengan kebijakan baru.
”Saya lihat pemerintah tidak tegas. Ada aturannya, tetapi pada tataran implementasi pemerintah tidak tegas sehingga kalau ada yang melanggar, dibiarkan saja. Akibatnya, orang tidak takut melakukan pelanggaran,” kata Saleh.
Pemerintah, menurut Saleh, selama ini memasang kadar kebijakan yang tanggung sehingga kegiatan masyarakat masih bisa dilakukan dengan longgar. Ke depan, ia mengusulkan agar pemerintah segera menerapkan karantina wilayah atau lockdown untuk wilayah zona risiko tinggi. Aturan harus dibuat tegas dan konsisten pada implementasinya.
”Saya harap pemerintah tidak ragu untuk mengambil kebijakan. Dulu pada awal-awal Covid di Indonesia, banyak kalangan minta Indonesia langsung menerapkan lockdown. Itu diharapkan bisa mengatasi. Namun, waktu itu pemerintah ragu karena khawatir akan menghabiskan banyak anggaran untuk bantuan sosial warga,” ujarnya.
Namun dampak atas keraguan itu, Saleh menekankan, adalah pilihan kebijakan yang akhirnya tidak efektif sehingga Covid-19 justru makin meluas. Alih-alih bisa membatasi pengeluaran uang negara, eskalasi penularan yang berkepanjangan justru memaksa pemerintah mengelontorkan keuangan negara lebih besar pada 2020 dan 2021.
Alih-alih bisa membatasi pengeluaran uang negara, eskalasi penularan yang berkepanjangan justru memaksa pemerintah mengelontorkan keuangan negara lebih besar pada 2020 dan 2021.
Ahmad menyatakan, Presiden sudah melihat bahwa pemulihan ekonomi tidak mungkin terjadi jika Covid-19 belum terkendali. Gagasan menyeimbangkan program di sektor kesehatan dan ekonomi pada saat yang bersamaan terbukti tidak mungkin dilakukan.
Baca juga : Menangani Pandemi Mulai dari Hulu, Penguatan Puskesmas Perlu Keberlanjutan
Kebijakan PPKM mikro, dinilai Ahmad, juga tidak akan efektif. Alasannya, manajemen mikro semacam itu juga pernah dilakukan Presiden pada saat penerapan PSBB. Hasilnya, toh, juga tidak efektif.
Untuk itu, Ahmad menyerukan kepada pemerintah agar secepatnya sadar dan mengambil kebijakan pengendalian Covid-19 secara lebih ekstrem. Ia menyarankan, misalnya, ada karantina wilayah untuk Pulau Jawa.
Karantina wilayah, ujarnya, akan membuat ekonomi menderita dalam jangka pendek. Namun, kebijakan ini memberi kepastian dan menjamin pemulihan ekonomi bisa lebih cepat.
Sementara PPKM atau PPKM mikro diperkirakan tetap tidak akan efektif. Mempertahankan kebijakan itu sama saja memperpanjang penderitaan ekonomi dan masyarakat tanpa ada kepastian waktu pemulihannya.
”Belajar dari banyak negara yang berpenduduk banyak, (lockdown) ini adalah prioritas. Kalau setengah-setengah, semuanya akan sia-sia. Pilihan ekstrem harus kita coba. Kita sama-sama coba pilihan yang lebih baik yang banyak negara sudah menerapkannya dan di tahun 2021 mereka mulai pulih. Yang penting, dampaknya dimitigasi. Maka, pilihan terbaik di tengah situasi ini adalah lockdown. Tentu dampak ekonomi akan lebih berat. Anggaran pemerintah bisa direalokasikan dengan tepat,” papar Ahmad.