Kelompok Teroris Sudah Sempat Siapkan Latihan dan Rencana Teror
Polri menyebut sejumlah tersangka terorisme yang ditangkap di Gorontalo telah melakukan latihan fisik dan latihan bela diri. Mereka juga berlatih memanah, melempar pisau, dan latihan menembak dengan senapan angin.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri memindahkan 26 tersangka terorisme dari kelompok Gorontalo dan Makassar ke Jakarta. Kedua kelompok tersebut diketahui kepolisian sudah menyiapkan pelatihan dan memiliki rencana untuk melakukan teror.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono, Kamis (4/2/2021), mengatakan, ke-26 tersangka kasus terorisme itu terdiri dari 7 anggota jaringan Gorontalo dan 19 orang jaringan Makassar. Kedua kelompok itu adalah bagian dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Mereka dipindahkan ke Rumah Tahanan Cikeas, Bogor, Jawa Barat.
Rusdi mengatakan, kelompok Gorontalo yang dikenal dengan jaringan Ikhwan Pohuwato itu diketahui telah mempersiapkan diri dengan melakukan latihan fisik dan latihan bela diri. Mereka juga berlatih menggunakan senjata, seperti memanah, melempar pisau, dan latihan menembak dengan senapan angin.
”Tentunya kelompok ini mempunyai kemampuan merakit bom,” kata Rusdi.
Menurut Rusdi, kelompok Gorontalo tersebut telah berencana untuk menyerang markas Polri, rumah dinas anggota Polri, dan rumah pejabat di Gorontalo. Mereka juga berencana merampok beberapa toko yang ada di wilayah Gorontalo.
Kelompok Makassar, lanjut Rusdi, ditangkap Densus 88 Antiteror pada 6-7 Januari. Kelompok ini memiliki rencana untuk mengganggu keamanan dan ketertiban serta memiliki mental untuk melakukan bom bunuh diri. Selain itu, mereka semua merupakan anggota Front Pembela Islam (FPI) yang terlibat aktif dalam berbagai kegiatan FPI di Makassar.
Salah seorang tersangka dari kelompok Makassar itu, menurut Rusdi, adalah anak dari pasangan pelaku bom katedral di Filipina, yakni Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani. Pasangan tersebut memiliki lima anak, yakni seorang ditangkap aparat keamanan di Filipina karena aksi terorisme, dua orang bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf di Filipina, seorang berada di Suriah, dan seorang lagi ditangkap Densus 88 Antiteror.
”Kemudian punya menantu, yaitu Andi Baso, yang terlibat pengeboman gereja Oikumene di Samarinda tahun 2016. Artinya, dari keluarga ini terdapat bapak, ibu, anak, dan menantu yang terlibat dalam aksi terorisme,” kata Rusdi.
Chief Advisor International Association for Counterterrorism and Security Professionals (IACSP) Indonesia Haryoko R Wirjosoetomo berpandangan, keterlibatan satu keluarga atau keluarga besar dalam tindak pidana terorisme sudah pernah terjadi sebelumnya, seperti pada kasus Bom Bali I dan Bom di Surabaya. Sebab, itu adalah cara termudah dalam melakukan rekrutmen.
Yang menarik, menurut Haryoko, adalah kaitan tersangka tindak pidana terorisme di Makassar dengan FPI. Meski demikian, meskipun ada anggota FPI yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana terorisme, bukan berarti FPI adalah organisasi teroris.
”Jangan terjebak pada persepsi bahwa FPI adalah organisasi terorisme. FPI itu kalau dibilang radikal, mungkin iya. Tetapi, kalau organisasi teroris, ini tidak,” kata Haryoko.
Menurut Haryoko, jika ada anggota FPI yang terlibat dalam organisasi teroris bisa jadi karena semangat jihadnya tidak tertampung atau terwadahi di dalam FPI. Oleh sebab itu, dia bergabung ke kelompok yang lebih keras tanpa menanggalkan keanggotaan FPI.
Kemungkinan yang kedua, lanjut Haryoko, adalah FPI menjadi tempat berlindung bagi orang-orang yang sebenarnya sudah terpapar paham radikal. Bagi mereka, FPI menjadi tempat yang sesuai untuk menyamarkan diri.
Kompensasi Korban Bom Bali
Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan kompensasi kepada 36 korban tindak pidana terorisme peristiwa bom Bali I dan II dengan total nilai kompensasi Rp 7,8 miliar. Kompensasi diserahkan Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo dan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati di Kantor Gubernur Bali, Denpasar, Kamis (4/2/2021).
Hasto mengatakan, untuk korban Bom Bali yang diputuskan berhak menerima kompensasi adalah 45 orang yang terdiri dari 38 korban Bom Bali I dan 7 korban bom Bali II. Pada kesempatan itu, LPSK menyerahkan kompensasi hanya kepada 37 korban, yakni 29 korban bom Bali I, 7 korban bom Bali II, dan 1 korban peristiwa penembakan Poso Operasi Sadra Maleo.