Politik negara dinilai cenderung mengarah pada praktik demokrasi militan. Akibatnya, politisasi Polri menjadi kental. Perlu ada sejumlah langkah agar Polri keluar dari bayang-bayang politik. Apa saja itu?
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang baru, Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, diharapkan mampu membawa institusi Polri lebih profesional dan independen. Namun, tarikan pemerintah kepada Polri untuk mengamankan rezim diyakini masih kuat.
Hal itu terungkap dalam Seri Diskusi Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik Ke-15 dengan tema ”Institusi Polri, Kepemimpinan Baru dan Masa Depan Demokrasi”, Rabu (3/2/2021). Panelis dalam diskusi tersebut adalah Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto; peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhamad Haripin; Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf; dan Ketua Forum 4 De Facto Malik Feri Kusuma.
Al Araf mengatakan, posisi Polri mesti dilihat dalam konteks kekuasaan. Sebab, dinamika politik memengaruhi dinamika demokrasi dan keamanan sebuah negara. Demikian pula bagi Polri, arah politik negara yang sehat akan memberikan pengaruh ke arah yang positif meski tetap ada pengaruh internal.
”Faktanya, kecenderungan politik negara selama ini cenderung pada praktik demokrasi militan (militant democracy). Maka, politisasi Polri menjadi kental. Intervensi kekuasaan menjadi sangat kuat dan itu yang terjadi pada rezim pemerintahan ini. Sebagai contoh isu kriminalisasi, larangan demonstrasi,” kata Al Araf.
Menurut Al Araf, dengan praktik demokrasi militan yang kuat, maka sulit bagi Polri untuk keluar dari bayang-bayang politik. Jika hanya berharap dari internal Polri untuk menata institusinya tanpa ada arah dari politik negara, hal itu akan sulit dilakukan. Sebab, rezim akan mengintervensi melalui ruang yang ada.
Meski demikian, lanjut Al Araf, masih ada peluang untuk menata Polri di tengah situasi stagnan tersebut. Salah satunya adalah agar ke depan pemilihan dan pengangkatan Kapolri, termasuk nantinya Panglima TNI dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), tidak perlu dengan persetujuan DPR. Mereka cukup diangkat presiden, sementara tugas DPR adalah mengawasi pejabat-pejabat yang dipilih presiden.
Peluang lainnya adalah memperkuat institusi eksternal, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Pernyataan Listyo yang menyebutkan bahwa masyarakat sebagai hukum tertinggi yang berarti menekankan paradigma penghormatan kepada hak asasi manusia diharapkan sungguh diterapkan.
Haripin mengatakan, keterkaitan antara Polri dan pemerintah atau elite partai dapat terjadi karena ada relasi patronase. Persepsi bahwa pertahanan rezim sama dengan pertahanan polisi adalah faktor berikutnya. Selain itu, adanya keuntungan politik yang dinikmati perwira aktif Polri ataupun purnawirawan dari kedekatan mereka dengan elite politik. Faktor itulah yang membuat Polri terjun dalam aktivisme politik.
Peristiwa seperti cicak versus buaya antara Polri dan KPK, kemudian perdebatan tentang Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional, juga UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menunjukan aktivisme politik dari Polri. Sementara kekerasan terhadap pelajar dan mahasiswa dalam sejumlah unjuk rasa pada 2019 dan 2020 adalah untuk mempertahankan rezim.
Pasukan siber
Sementara itu, Wijayanto menyinggung laporan Oxford mengenai pengerahan pasukan siber di banyak negara. Jika laporan tersebut menyebutkan penggunaan pasukan siber hanya oleh pemerintah dan partai politik, dari kajian LP3ES, di Indonesia penggunaan pasukan siber juga dilakukan oleh pihak oposisi.
”Dalam temuan kami, kita melihat ternyata Polri ikut berperan melakukan kampanye di medsos untuk kerja-kerja pemerintah, seperti new normal, omnibus law, dan pilkada. Polri juga berkampanye mengenai tata kehidupan baru, disiplin kehidupan baru,” kata Wijayanto.
Menurut Wijayanto, sejak 2014 hingga 2019, Presiden Joko Widodo telah memberikan peran yang begitu besar kepada polisi, baik yang masih aktif maupun purnawirawan. Salah satunya adalah dengan menempatkan mereka di berbagai lembaga, baik di kementerian, BIN, PSSI, dan Kemendagri.
Sementara Feri mengatakan, konsep Polri Presisi, yakni prediktif, responsibilitas, dan transparansi keadilan dinilai bagus serta tinggal dinanti penerapannya di lapangan. Dengan konsep prediktif, diharapkan Polri dapat melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
”Saya memang berharap kepolisian ke depan bisa mengubah wajahnya menjadi lebih humanis dan melindungi HAM,” ujar Feri.