Potensi Pembahasan RUU Pemilu Masih Dinamis kendati Sikap Fraksi Terbelah
Tiga fraksi di DPR menolak pembahasan revisi UU Pemilu, sedangkan empat fraksi mendukung dan dua fraksi masih membuka kemungkinan pembahasan dengan prasyarat. Situasi itu dinilai masih sangat dinamis.
JAKARTA, KOMPAS — Sikap fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat RI masih dinamis terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu. Belum dibawanya Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 ke Paripurna DPR membuat berbagai kemungkinan politik terkait pembahasan RUU Pemilu masih mungkin terjadi.
Hingga awal Februari 2021, telah ada tiga fraksi yang menyatakan menolak revisi UU Pemilu, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Persatuan Pembangunan (PPP), dan Gerindra. Salah satu alasan yang mengemuka ialah keinginan partai-partai itu untuk fokus pada pemulihan dan penanganan pandemi Covid-19. Namun, ada pula fraksi yang mendukung RUU Pemilu, yaitu Golkar, Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Demokrat.
Dua fraksi lainnya, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), masih membuka kemungkinan revisi sepanjang revisi UU Pemilu tidak mengutak-atik keserentakan pilkada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa, Selasa (2/2/2021), mengatakan, dinamika yang terjadi di antara fraksi-fraksi di dalam pembahasan RUU Pemilu wajar terjadi. Namun, kata dia, apa pun masih bisa terjadi dalam beberapa waktu ke depan, termasuk kemungkinan untuk tidak menutup pintu seluruhnya terhadap pembahasan RUU Pemilu itu.
”Pilkada itu, kan, satu topik saja dalam RUU Pemilu. Diskursus RUU Pemilu itu, kan, bukan hanya soal pilkada. Kalaupun yang menjadi alasan fraksi-fraksi berkeberatan ialah pilkada, kan, itu masih bisa dibicarakan bersama,” katanya.
Menurut dia, ada persoalan-persoalan selain keserentakan pilkada di dalam UU Pemilu yang harus dievaluasi, seperti desain kelembagaan penyelenggara pemilu, peradilan khusus pemilu. Selain itu, juga soal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang terlalu tinggi.
Saan mengatakan, pada prinsipnya sikap internal Komisi II DPR sudah selesai, yakni dengan adanya keputusan Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu. Saat itu, seluruh fraksi setuju terhadap pembahasan RUU Pemilu. Namun, dalam perkembangannya, ketika draf RUU Pemilu masuk ke Badan Legislasi (Baleg), terjadi dinamika berbeda. Dinamika itu ditanggapi wajar, lanjut Saan, tetapi bukan berarti pembahasan RUU Pemilu berhenti berproses begitu saja di DPR.
”Ini, kan, yang menjadi perdebatan ialah normalisasi pilkada. Kalau memang tetap mayoritas mau Pilkada 2024, ya, mari kita bicarakan. Boleh saja tetap 2024, tetapi persoalan lainnya dari evaluasi Pemilu 2019 harus juga kita telaah dong,” kata Saan.
Dengan alasan itu, menurut Saan, dinamika politik selanjutnya akan terus dicermati karena sikap Komisi II DPR pada dasarnya sudah selesai dan menunggu paripurna digelar. ”Jangan sampai ini menjadi preseden buruk, DPR yang mengajukan inisiatif RUU Pemilu, tetapi DPR sendiri yang mencabutnya. Tidak bisa langsung dicabut begitu saja, karena sudah ada sikap-sikap fraksi sebenarnya,” katanya.
Baca juga : Pengesahan Prolegnas Berpotensi Kian Molor
Selama ini, isu yang beredar ialah sikap-sikap fraksi itu berubah karena adanya keberatan dari pemerintah. Presiden beberapa hari lalu dikabarkan bertemu dengan perwakilan partai-partai dan menyampaikan beberapa catatan. Menurut Saan, jika memang pemerintah berkeberatan dengan RUU Pemilu, hal itu dapat disampaikan ketika RUU itu selesai berproses di DPR.
”Ya silakan saja kalau keberatan dengan Pilkada 2022 atau 2023. Dari sekian banyak isu tentang pemilu yang perlu dievaluasi, di bagian mana pemerintah yang keberatan, bagian mana yang tidak keberatan. Karena kita, kan, menganut pembahasan UU bersama antara DPR dan pemerintah. Itu, kan, masih bisa dibicarakan semua. Pemerintah juga jangan menutup pintu terhadap pembahasan RUU Pemilu,” ungkap Saan.
Dorong paripurna
Sebelumnya, Wakil Ketua Baleg Willy Aditya mengatakan, saat ini pembahasan RUU Pemilu itu masih terhenti. Baleg belum dapat melakukan harmonisasi dan sinkronisasi RUU Pemilu karena Prolegnas Prioritas 2021 belum diputuskan di paripurna. Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, Azis mengatakan jadwal pengesahan prolegnas prioritas itu masih dikomunikasikan.
”Seharusnya pengesahan Prolegnas Prioritas 2021 itu dibarengkan dengan persetujuan dengan Kapolri, 21 Januari 2021. Sebab, Bamus telah memutuskan untuk menggelar pengesahan Prolegnas Prioritas 2021 dalam paripurna terdekat,” ujarnya.
Namun, paripurna 21 Januari 2021 itu hanya menyetujui Kapolri baru, tetapi tidak mengagendakan pengesahan Prolegnas Prioritas 2021. Willy mengaku belum mengetahui apa alasan yang membuat Prolegnas Prioritas 2021 itu belum juga disahkan.
Baca juga : Pemerintah Abaikan Desakan Pemisahan Waktu Pilkada dan Pemilu di 2024
Menanggapi sejumlah informasi yang menyebutkan ketidaksetujuan pemerintah terhadap revisi UU Pemilu, Willy mengatakan, ada mekanisme ketatanegaraan yang telah disediakan aturan perundang-undangan. Jika pemerintah tidak bersetuju dengan RUU Pemilu yang merupakan inisiatif DPR, hal itu boleh saja, sepanjang sikap itu diwujudkan melalui koridor ketatanegaraan. Pertama, biarkan dulu RUU Pemilu itu berproses di DPR.
”Paripurnakan dulu Prolegnas Prioritas 2021, baru proses di Baleg berjalan. RUU Pemilu kemudian dibawa ke dalam paripurna untuk dijadikan RUU inisiatif DPR. Setelahnya, DPR mengirimkan draf kepada Presiden. Presiden lalu mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR. Tetapi, jika memang pemerintah tidak ingin membahasnya, silakan saja tidak mengirimkan DIM. Kalau tidak ada DIM dari pemerintah, RUU itu tidak bisa dibahas,” katanya.
Terkait informasi pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan sejumlah petinggi partai dan perwakilan fraksi, yang memunculkan wacana penolakan RUU Pemilu, Willy enggan menjelaskan lebih jauh. Namun, ia membenarkan ada pertemuan antara Presiden dan mantan juru bicaranya dari sejumlah parpol koalisi saat Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Dalam pertemuan itu, Presiden memberi catatan-catatan terkait dengan beberapa isu.
Tidak jadi perdebatan
Dihubungi terpisah, Pelaksana Harian Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan, dalam rapat Bamus terakhir, Januari 2021, ia tidak melihat ada perdebatan susbtansial terkait dengan prolegnas. Ketika ditanyai lebih detail mengenai adanya tarik-menarik kepentingan partai-partai dalam pembahasan RUU Pemilu di Bamus, Saleh membantahnya.
”Belum ada dibahas di Bamus (RUU Pemilu). Tidak ada tarik-menarik kepentingan. Setahu saya tidak ada yang krusial. Memang ada perdebatan soal RUU lain, tetapi bukan RUU Pemilu, dan perdebatannya sudah selesai di Baleg,” ujarnya yang mewakili PAN dalam rapat Bamus.
Sementara itu, anggota Fraksi Demokrat, Wahyu Sanjaya, mengatakan, Demokrat menginginkan pilkada tetap ada di 2022 dan 2023. ”Pembahasan tetap perlu dilakukan karena banyak hal yang perlu dievaluasi berdasarkan temuan saat Pilkada Serentak 2020,” ujarnya.
Selain persoalan keserentakan, kata dia, banyak celah yang juga perlu diperhatikan dalam revisi UU Pemilu. Menurut Wahyu, salah satunya ialah penanganan pelanggaran pidana pemilu serta sengketa pemilu. Dua hal ini juga menjadi isu penting selain keserentakan pemilu yang mesti juga dipikirkan.
Dihubungi terpisah, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Topo Santoso mengatakan, pembuat kebijakan mesti memikirkan ulang jika tidak merevisi UU Pemilu. Pasalnya, banyak celah yang mesti diperbaiki dalam sistem pemilu dengan berkaca pada pelaksanaan Pemilu 2019. Isu keserentakan pemilu dan pilkada hanya satu saja dari banyak isu lain yang menjadi celah dalam pemilu yang mesti juga diperhatikan.
”Selain penanganan pidana pemilu, ada juga desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang mesti mendapatkan perhatian. Jika desain kelembagaan ini tidak diperhatikan, akan kerap terjadi unjuk kewenangan antarlembaga,” katanya.
Topo mengatakan, dirinya bersama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) juga telah melakukan kajian terhadap UU Pemilu. Hasilnya, ada inefisiensi dalam penyelenggaraan pemilu yang berdasarkan pada UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. ”Cost (biaya) jauh lebih besar daripada benefit (manfaat),” katanya.
Revisi UU Pemilu dinilai sebagai jalan yang ideal. Namun, dengan melihat perkembangan dan dinamika politik di DPR, ada potensi RUU Pemilu itu tidak dapat diteruskan pembahasannya dalam waktu dekat. Dengan kondisi itu, menurut Topo, situasinya menjadi lebih sulit bagi penyelenggara.
”Kalau mau, KPU dapat menggunakan e-rekapitulasi sebagai upaya mengurangi beban penyelenggara. Tetapi bagaimanapun, untuk dapat mengoperasikan hal itu, tetap memerlukan perubahan beberapa pasal di dalam UU Pemilu,” ujarnya.
Sekalipun KPU dapat mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU), menurut Topo, landasan hukum di dalam UU tetap diperlukan. Adanya ketentuan di dalam UU Pemilu juga lebih menjamin pelaksanaan kebijakan itu di lapangan.
”Tetapi, sekali lagi sebaiknya pembuat kebijakan betul-betul memiliki niatan politik untuk merespons kelemahan penyelenggaran pemilu kita dengan berkaca pada Pemilu 2019. Jangan biarkan kesalahan lama terulang dan problem-problem sebelumnya terjadi lagi,” katanya.