Menko Polhukam: Uang Simpanan Anggota TNI-Polri di Asabri Dijamin Negara
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta anggota TNI dan Polri tetap tenang di tengah penyidikan dugaan korupsi dana Asabri. Dia menegaskan pemerintah menjamin hak mereka tak terganggu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjamin proses hukum akan dijalankan dalam kasus dugaan korupsi dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri (Persero). Mahfud juga menjamin uang milik nasabah yang mayoritas merupakan anggota TNI-Polri itu tidak akan hilang.
”Korupsinya akan terus diadili, tetapi jaminan kesejahteraan para prajurit yang dijanjikan yayasan itu dijamin oleh pemerintah agar tidak hilang. Kejaksaan Agung sedang mengupayakan itu semua,” kata Mahfud dalam keterangan resmi, Selasa (2/2/2021).
Mahfud mengatakan, meskipun dua tersangka dalam kasus korupsi PT Asabri ini sama dengan kasus korupsi PT Jiwasraya, tetapi obyek, barang bukti, dan asetnya berbeda. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memastikan hal itu. Kejagung juga sedang mengupayakan agar aset yang ada dipulihkan.
Dalam waktu dekat, Kejagung akan menyita beberapa aset dalam kasus tersebut. Jika ternyata aset yang dipulihkan tidak sepadan dengan nilai kerugian negara, hal itu akan dibicarakan lebih lanjut. Negara memastikan prajurit TNI maupun anggota Polri tidak boleh dirugikan dalam kasus korupsi tersebut. Sebab, mereka menyimpan uang di PT Asabri untuk kesejahteraan mereka.
”Mari masyarakat ikut mengawal dengan sebaik-baiknya. Para prajurit TNI-Polri tetap tenang. Negara akan memberikan pelayanan kepada Anda karena ini uang tabungan Anda di Yayasan Asabri,” kata Mahfud.
Sebelumnya, awal tahun 2020, Mahfud pernah mengeluarkan pernyataan tentang dugaan korupsi di Asabri. Saat itu, ada pihak yang marah-marah dan ingin melaporkan tuduhan itu ke kepolisian. Namun, selang setahun setelah pernyataan publik itu, ternyata Kejaksaan Agung benar-benar menemukan dugaan korupsi di tubuh perusahaan asuransi milik negara itu.
Awalnya, Mahfud menyebut dugaan korupsi itu berpotensi merugikan keuangan negara senilai Rp 16 triliun. Kini, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 23 triliun. Kejaksaan juga telah menetapkan delapan tersangka dalam kasus tersebut. Dua di antaranya adalah terdakwa kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang telah divonis hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, yaitu Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.
Investigasi BPK
Kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi PT Asabri masih ditelaah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Anggota VI BPK, Harry Azhar Azis, ketika dihubungi dari Jakarta mengatakan, BPK telah menerima permintaan investigasi kerugian negara terkait Asabri dari Kejaksaan RI. Saat ini permintaan itu dalam proses pelaporan dan permintaan penghitungan kerugian negara.
”Dari kejaksaan tanggal 15 Januari lalu ke BPK, baru dalam tahap proses penelaahan,” katanya.
Menurut Harry, hasil penghitungan kerugian keuangan negara akan langsung diserahkan kepada pihak yang meminta dan bukan menjadi konsumsi umum. Hasil kerugian keuangan negara akan menjadi dasar di pengadilan.
Adapun dalam kasus tersebut, Kejaksaan Agung menyebutkan, pada 2012 sampai 2019, beberapa direksi dan pejabat PT Asabri melakukan kesepakatan dengan pihak di luar yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi, yaitu HH, BTS, dan LP. Kesepakatan itu untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio Asabri dengan saham HH, BTS, dan LP dengan harga yang telah dimanipulasi agar kinerja portofolio Asabri terlihat baik.
Terapkan pasal pencucian uang
Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho saat dihubungi, Selasa (2/2/2021), mengatakan, dalam aspek penindakan, pekerjaan rumah dari Kejaksaan Agung adalah menuntaskan kasus korupsi itu sampai ke akarnya. Siapa pun yang terlibat dalam kasus korupsi itu harus diproses hukum. Jangan sampai Kejaksaan Agung hanya selesai pada pembongkaran kasus tanpa menuntaskan kasus hingga ke akarnya.
Selain itu, Kejaksaan Agung juga diminta untuk menjerat para tersangka tidak hanya dengan pasal tindak pidana korupsi, tetapi juga pasal pencucian uang. Dengan pasal TPPU, kejaksaan bisa merampas aset milik tersangka yang disamarkan asal-usulnya. Aset tersebut tidak hanya pada tersangka, tetapi juga keluarganya. Dengan pasal TPPU, negara juga bisa merampas aset sesuai dengan nilai kerugian yang dialami. Berdasarkan audit sementara BPK, nilai kerugian negara akibat kasus korupsi PT Asabri mencapai lebih dari Rp 23 triliun.
”Kalau tidak dijerat dengan pasal TPPU, trennya koruptor akan memilih tidak membayar denda, tetapi diganti dengan hukuman kurungan. Menjerat pelaku dengan pasal TPPU penting dilakukan agar aset bisa dikembalikan ke kas negara,” kata Emerson.