Ketok Palu di Ruang Realitas Virtual
Dalam beberapa perkara pidana, sidang virtual telah cukup lama dilaksanakan. Pandemi Covid-19 ikut memacunya. Mungkinkah di masa mendatang persidangan dilakukan melalui piranti realitas virtual?
Seseorang berkemeja putih duduk dengan kedua mata tertutup "kacamata” yang biasanya digunakan untuk nge-game. Masing-masing tangannya memegang perangkat berwarna gelap yang terhubung dengan “kacamata” melalui seutas kabel.
“Sidang dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan, saya buka dan agar dibuka untuk umum,” kata pria itu.
Tangan kanannya kemudian bergerak naik turun sebanyak tiga kali yang diiringi bunyi meja diketuk, “tok, tok, tok”. Meski terdengar bunyi “meja diketok”, pria itu tidak memegang palu. Juga sama sekali tidak ada meja yang dipukul.
Di dekat pria tersebut, terdapat layar yang menampilkan gambar ruang sidang. Sementara, di beberapa ruang lain, terdapat beberapa orang duduk dengan mengenakan perangkat serupa. Gerak maupun ucapan yang mereka lakukan sama persis dengan yang tampak di layar monitor.
Rupanya, mereka sedang melakukan melakukan simulasi persidangan. Dan pria berbaju putih yang berperan sebagai hakim itu bukanlah hakim, melainkan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kejaksaan RI Tony Tribagus Spontana.
“Mungkin kita tahu teknologi virtual reality kebanyakan untuk bermain game. Ternyata teknologi ini bisa membantu kita untuk hal lain, seperti persidangan,” kata Tony.
Tony menuturkan, sejak pandemi Covid-19 melanda, kegiatan pendidikan bagi para jaksa dialihkan menjadi kombinasi antara virtual dengan tata muka terbatas. Biasanya, dalam sekali periode penyelenggaraan diklat, setidaknya 750 orang jaksa dari seluruh Indonesia berkumpul di asrama Badiklat di Ragunan, Jakarta Selatan.
Selama ini, penyelenggaraan diklat dengan sistem kombinasi dapat berjalan meski ada penyesuaian di sana sini. Namun demikian, dari sekian banyak materi pendidikan, terdapat satu materi yang tidak bisa dilakukan secara virtual dan harus dilakukan dengan praktik langsung, yakni materi persidangan.
Baca juga: MA Keluarkan Pedoman Sidang Pidana Virtual
Pada materi itu, para jaksa mendapat sebuah materi perkara. Kemudian, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang menjadi hakim, penuntut umum, penasihat hukum, dan terdakwa untuk kemudian diberi tugas melakukan simulasi persidangan sesuai peran yang diberikan. Melalui simulasi itu, kemampuan untuk menganalisis suatu perkara diasah.
Masalahnya, dalam situasi pandemi, hal itu menjadi sulit dilakukan. Bagi Tony, terlalu besar risikonya jika simulasi persidangan dilakukan secara tatap muka di tengah ancaman penyebaran Covid-19.
“Dalam situasi seperti itu keluar ide ini. Melalui virtual reality, dibuat ruang persidangan di mana orang bisa bertemu dengan orang lain secara virtual. Ternyata penggunaan VR ini memenuhi syarat kediklatan, yaitu ilmu atau materi bisa disampaikan sempurna,” ujarnya.
Tony memperkirakan, simulasi persidangan tersebut akan dapat diterapkan di 33 kejaksaan tinggi (kejati) di seluruh Indonesia. Sebab, posisi kejati berada di ibukota provinsi dengan akses internet yang relatif baik. Setidaknya setiap kejati memerlukan 10 perangkat VR sementara di Badiklat Kejaksaan memerlukan 20 perangkat beserta sistem manajemen pembelajaran dengan total biaya sekitar Rp 22 miliar hingga Rp 24 miliar.
"Penonton sidang bisa mengakses persidangan melalui android. Jadi teknologi ini sangat memungkinkan untuk diterapkan dalam persidangan yang sebenarnya. Untuk syarat hukum acaranya terpenuhi semua,” ujar Tony.
Pertama kali
Penyedia solusi teknologi simulasi persidangan di Badiklat adalah Edumo yang dipimpin Tyovan Ari Widagdo. Menurut Tyovan, di Indonesia, simulasi persidangan baru pertama kali diuji coba di Badiklat Kejaksaan RI.
“Teknologi VR sangat memungkinkan untuk digunakan dalam persidangan yang sebenarnya. Hanya perlu pembiasaan saja karena ini kan teknologi baru. Experience menggunakan teknologi VR ini mendekati kenyataan sampai 90 persen karena interaksi dengan objek sangat nyata,” kata Tyovan.
Untuk simulasi persidangan di Badiklat Kejaksaan, Tyovan dan timnya menyiapkan ruang virtual yang dibuat sama persis dengan ruang sidang. Kemudian masing-masing peserta sidang menggunakan perangkat VR yang dipasang di kepala dan kedua tangan. Sementara ini Tyovan menggunakan piranti Oculus dari anak perusahaan Facebook.
Menurut Tyovan, sidang secara 3D dilakukan secara real time dan dapat dilakukan dari manapun asalkan terdapat jaringan internet 4G. Peserta sidang akan menjadi avatar di ruang sidang virtual tersebut dan dapat berinteraksi dengan avatar yang lain seperti di ruang sidang sesungguhnya. Hal yang dilakukan peserta di dunia nyata, akan terjadi di ruang virtual.
Terkait dengan kebutuhan pemeriksaan barang bukti di depan para pihak di persidangan, menurut Tyovan, hal itu dapat dibuat secara tiga dimensi atau dalam bentuk foto. Namun, dalam ruang virtual, yang tak bisa dilakukan ialah meraba. Semisal barang bukti adalah telepon genggam yang retak, maka keretakan itu tak bisa diraba meski dapat dilihat.
Kelemahan lainnya adalah para pihak akan ‘diwakili’ avatarnya, tidak sebagai dirinya seperti di dunia nyata. “Kurang lebihnya seperti di film Avatar,” kata Tyovan.
Tantangan daring
Namun, penggunaan teknologi untuk mensubstitusi kehadiran fisik dalam pengadilan bukan tanpa tantangan.
Bagi praktisi hukum dan advokat Juniver Girsang, dari pengalamannya selama ini, sidang secara daring dengan menggunakan video konferensi pada umumnya membuat komunikasi kurang lancar. Terlebih jika sinyal tidak bagus akan mengganggu konsentrasi para pihak yang bersidang. Bahkan, Juniver mengaku pernah melakukan sidang bersama hakim dan penuntut umum dengan menggunakan telepon genggam masing-masing karena sinyal buruk.
Padahal, lanjut Juniver, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), persidangan itu mesti secara fisik dihadiri terdakwa. Kemudian di persidangan, barang bukti harus transparan dan diketahui semua pihak. Selain itu, untuk mencari kebenaran materiil, saksi maupun barang bukti harus dapat diperiksa.
“Emosi itu penting untuk melihat mimik dan gestur saksi. Bagaimana kami bisa memahami gestur klien dan saksi kalau sidang online. Demikian juga barang bukti perlu dirasakan, dilihat benar atau tidak. Jadi dalam sidang, unsur melihat, merasakan dan mengetahui penting. Ini yang diuji di pengadilan,” kata Juniver.
Juniver memahami, pandemi Covid-19 telah memaksa dilakukannya adaptasi. Namun, dari pengalamannya, sidang yang berlangsung daring terasa sebagai formalitas.
Dengan tantangan itu, menurut Anda, di masa mendatang persidangan bakal bertransformasi, lebih banyak memanfaatkan teknologi informasi?