Akhiri Beda Tafsir soal Syarat Mantan Terpidana Maju di Pilkada
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara perselisihan Pilkada Boven Digoel diharapkan bisa mengakhiri perbedaan tafsir soal syarat jeda lima tahun bagi calon kepala/wakil kepala daerah berstatus mantan terpidana.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah Boven Digoel 2020 diharapkan bisa memperjelas syarat jeda lima tahun bagi mantan terpidana yang hendak maju di pemilihan. Selama ini penafsiran berbeda kerap muncul di antara penyelenggara pemilu sehingga menciptakan ketidakpastian hukum.
Sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Boven Digoel 2020 oleh Mahkamah Konstitusi digelar pada Jumat (29/1/2021). Majelis hakim panel yang diketuai Anwar Usman menerima perkara yang diajukan pasangan calon Martinus Wagi-Isak Bangri. Setelah menerima, MK akan memeriksa pokok perkara tersebut dalam persidangan berikutnya.
Kuasa hukum pemohon, Semy Latunussa, mengatakan, pemohon keberatan dengan hasil penghitungan suara Pilkada Boven Digoel yang memenangkan pasangan calon Yusak Yaluwo-Yakob Weremba.
Menurut pemohon, pencalonan pasangan tersebut inkonstitusional. Sebab, salah satu calon, yaitu Yusak, pernah divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan kapal tanker dan APBD Boven Digoel 2002-2005, dan saat ditetapkan sebagai calon, ia belum memenuhi syarat jeda lima tahun seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Sesuai Pasal 7 UU No 10/2016 tentang Pilkada, calon kepala/wakil kepala daerah yang berstatus mantan terpidana diharuskan telah melewati jangka waktu lima tahun seusai menjalani masa pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Selain diatur dalam UU Pilkada, aturan mengenai jeda waktu bagi narapidana itu juga tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 4 Ayat (1) Huruf f, Pasal 4 Ayat (2a), Pasal 4 Ayat (2d), dan Pasal 4 Ayat (1) Huruf g.
Kronologi kasus
Yusak menjalani pembebasan bersyarat pada 7 Agustus 2014 dengan masa percobaan berakhir pada 26 Mei 2017. KPU kemudian mendiskualifikasi pasangan Yusak-Yakob karena dianggap belum melewati jeda waktu lima tahun. Karena Yusak baru bebas murni pada 26 Mei 2017, KPU menilai, hingga 2020, dia baru melewati jeda waktu tiga tahun.
KPU juga menilai, saat menjalani pembebasan bersyarat, status Yusak masih terpidana karena masih menjalani kewajiban administrasi dengan lapas. Adapun sesuai Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 21 Tahun 2013, seseorang yang menjalani masa pembebasan bersyarat tetap disebut sebagai narapidana (Kompas, 20/1/2021).
Namun, terhadap keputusan KPU tersebut, Yusak mengajukan sengketa ke Bawaslu Boven Digoel. Bawaslu kemudian memutuskan mengabulkan permohonan Yusak, menyatakan pasangan calon tersebut memenuhi syarat, serta memerintahkan KPU RI dan atau KPU Papua selaku KPU Kabupaten Boven Digoel menerbitkan keputusan atau berita acara penetapan Yusak-Yakob sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati dalam Pilkada Boven Digoel.
”Pembebasan bersyarat sebagaimana dijalani Yusak Yaluwo pada tanggal 8 Agustus 2014 belum memosisikan dirinya sebagai mantan terpidana. Karena itu, sangat keliru apabila Yusak beranggapan telah melewati masa jeda lima tahun dan berani mendaftarkan dirinya sebagai peserta Pilkada Boven Digoel. Seseorang yang menjalani pembebasan bersyarat tidak dapat dikatakan sebagai mantan terpidana,” ujar Semy.
Semy menilai, Bawaslu Boven Digoel memihak pasangan Yusak-Yakob. Selain itu, Bawaslu dianggap kurang profesional dan memahami hukum sehingga mengabulkan sengketa yang diajukan pasangan calon tersebut. Proses di Bawaslu itu dianggap menguntungkan posisi pasangan tersebut hingga akhirnya menang dalam perolehan suara. Tak hanya Bawaslu, KPU setempat pun dinilai memihak dan tidak profesional dalam proses pilkada.
”Pemohon meminta kepada Mahkamah agar dapat membatalkan Keputusan KPU Boven Digoel tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Boven Digoel dan memerintahkan kepada termohon untuk melaksanakan pemungutan suara ulang secara menyeluruh di Kabupaten Boven Digoel tanpa melibatkan pasangan calon nomor urut 4,” kata Semy.
Terkait dengan gugatan tersebut, peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana, berpendapat, MK diharapkan dapat memperjelas penafsiran mengenai jeda waktu lima tahun bagi eks narapidana yang ingin maju di pilkada.
Hal itu sebenarnya sudah tertuang dalam Putusan MK Nomor 59/PUU/XVII/2019. Namun, selama ini belum ada penjelasan detail mengenai sejak kapan penghitungannya. Ketidakjelasan itu akhirnya memicu tafsir yang berbeda-beda di antara penyelenggara pemilu. Hal itu membuat ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan pilkada.
”Sudah ada dua putusan MK, yaitu nomor 59/PUU/XVII/2019 dan nomor 4/PUU-VII/2009, yang mengatur syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang maju dalam pemilu, termasuk jeda waktu dari mantan narapidana. Kami berharap, dalam perkara ini, MK memperjelas lagi penghitungan mantan narapidana itu sejak kapan sehingga tidak ada multitafsir aturan dari penyelenggara pemilu,” tutur Ihsan.