Gagasan menghidupkan pam swakarsa perlu dibarengi dengan pengawasan yang ketat. Hal tersebut penting untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan menghindari munculnya masalah di kemudian hari
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Wacana menghidupkan kembali pam swakarsa yang dilontarkan Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR, memicu polemik di masyarakat. Memori publik tentang pamswakarsa bentukan TNI di awal reformasi yang menjadi alat untuk membungkam suara kritis, belum hilang. Meski polisi menyebut pam swakarsa kini berbeda, masyarakat sipil tetap skeptis.
Di dalam buku berjudul Kivlan Zen: Personal Memoranda, dari Fitnah ke Fitnah terbitan 2020, Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen mengakui bahwa pam swakarsa dibentuk untuk mengamankan Sidang Istimewa MPR 10-13 November 1998. Kivlan mengaku diperintah Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI untuk membentuk pam swakarsa. Sukarelawan pam swakarsa di antaranya berasal dari kelompok muda di berbagai daerah. Mereka ditempatkan di sejumlah lokasi untuk berhadapan dengan demonstran. Pam swakarsa dibentuk karena saat itu ABRI sudah tidak berani berhadapan dengan massa sipil pasca Tragedi Trisakti 12 Mei 1998.
“Pam swakarsa untuk mendukung ABRI dalam pengamanan sidang istimewa MPR. Apabila pam swakarsa tidak mampu menghadapi massa, maka Polda dan TNI maju ke depan dan pam swakarsa mundur ke belakang,” tulis Kivlan.
Di masa transisi rezim otoriter ke demokrasi itu, kehadiran pam swakarsa justru memicu konflik horizontal. Pam swakarsa yang merupakan warga sipil berhadapan dengan mahasiswa dan aktivis 1998. Pam swakarsa disebut sebagai aktor penting yang memicu tragedi berdarah Semanggi I dan II. Menurut laporan KontraS, setidaknya 29 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam peristiwa kekerasan tersebut. Baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, warga sipil, maupun anggota pam swakarsa sendiri.
Memori kolektif dan trauma masa lalu inilah yang membuat masyarakat sipil lantang menolak ketika ada wacana menghidupkan kembali pam swakarsa. Tema itu dibahas dalam acara Satu Meja The Forum yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo yang disiarkan di Kompas TV, Rabu (27/1/2021).
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan, pam swakarsa adalah aktor yang memicu pelanggaran hak asasi manusia berat Tragedi Semanggi I dan II. Istilah itu menjadi momok dan mengorek luka masa lalu. Apalagi, dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, janji pemerintah belum terealisasi. Bagi korban, wacana menghidupkan kembali pam swakarsa melukai hati mereka.
Tak ada urgensi membentuk pam swakarsa. Saat ini, Indonesia tidak dalam keadaan perang atau situasi konflik
Terlebih, tak ada urgensi membentuk pam swakarsa. Saat ini, Indonesia tidak dalam keadaan perang atau situasi konflik. Kemunculan pam swakarsa justru disinyalir untuk membungkam suara kritis warga terhadap kebijakan pemerintah.
“Pam swakarsa adalah bentuk paramiliter atau underbow militer yang dinaungi oleh TNI. Kali ini, pam swakarsa akan dinaungi oleh kepolisian. Bagaimana mekanisme pembentukan, evaluasi, dan pengawasan agar tidak menjadi alat politik seperti di masa lalu?” ujar Fatia.
Selain Fatia, hadir narasumber lain yaitu aktivis 1998 dan inisiator Forum Kota Savic Ali, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono, dan anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat Didik Mukrianto.
Rusdi mengatakan, pam swakarsa yang dicetuskan kapolri dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR berbeda jauh dengan pam swakarsa di awal reformasi. Pam swakarsa sekarang berasal dari inisiatif dan kebutuhan masyarakat untuk menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan. Bentuknya, bisa berupa satuan pengamanan (satpam), satuan sistem keamanan lingkungan (satsiskamling), hingga satuan keamanan lokal seperti Kelompok Pecalang di Bali. Karena sudah ada di masyarakat, tugas polisi adalah membina dan menghubungkannya dengan program-program kepolisian. Dengan keterbatasan jumlah personel polisi, keberadaan pam swakarsa ini diharapkan membantu kinerja kepolisian untuk menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan.
“Di era demokrasi, Polri membuka peran serta masyarakat untuk mengelola keamanan. Pam swakarsa muncul dari top down (masyarakat), setelah itu polri akan melakukan pemantapan. Polri akan membuktikan apa yang menjadi keraguan masyarakat, dan memastikan hal tersebut tidak akan terjadi,” kata Rusdi.
Dengan keterbatasan jumlah personel polisi, keberadaan pam swakarsa ini diharapkan membantu kinerja kepolisian untuk menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan
Pengawasan
Savic Ali mengingatkan tentang pentingnya kajian serius tentang pembatasan wewenang dan pengawasan pam swakarsa. Sebab, ada potensi penyalahgunaan wewenang. Apalagi, saat ini, kondisi masyarakat masih terpolarisasi.
“Batasan wewenang pam swakarsa ini harus sangat jelas. Jangan sampai ada potensi penyalahgunaan wewenang, karena mereka merasa mengantongi stempel kepolisian. Jika tidak diatur, ini akan menjadi masalah baru,” kata Savic.
Savic memberikan contoh saat terlibat aktif dalam program kontraterorisme. Ia membina dan mendidik masyarakat agar lebih peka pada ancaman terorisme. Orang-orang dilatih agar lebih mengerti dan waspada. Namun, di sini, batasannya jelas, bahwa masyarakat tidak punya kewenangan untuk penindakan. Sehingga, ketika menemukan ancaman terorisme, mereka diminta melaporkan ke kepolisian.
Sementara Didik Mukrianto mengatakan, pihaknya memahami konsep yang dibangun Polri untuk melibatkan publik dalam menjaga kamtibmas. Dengan teritori yang luas dan personel terbatas, penegakan hukum memang tidak bisa ditangani Polri sendiri. Apalagi, tantangan keamanan ke depan diprediksi tidak mudah. Banyak muncul organisasi yang mengatasnamakan demokrasi, tapi membawa semangat negatif.
Pihaknya memahami konsep yang dibangun Polri untuk melibatkan publik dalam menjaga kamtibmas. Dengan teritori yang luas dan personel terbatas, penegakan hukum memang tidak bisa ditangani Polri sendiri
Namun, Didik memberi catatan apabila kebijakan itu akan diimplementasikan, polisi perlu memiliki parameter yang jelas dan terukur. Jangan sampai polisi terkesan tebang pilih dalam merangkul kelompok masyarakat tertentu. DPR akan mengawasi ketat kebijakan tersebut dalam koridor kewenangan polri di negara demokrasi.
“Kalau hadirnya pam swakarsa justru menyebabkan adanya penyimpangan seperti tahun 1998, saya orang pertama yang akan menuntut kepolisian,” kata Didik.
Sejarah mencatat pam swakarsa telah menjadi alat politik untuk melawan suara kritis. Padahal, di negara demokrasi, suara kritis adalah bentuk partisipasi dan kontrol masyarakat. Ingatan publik tentang kekerasan di masa lalu masih segar. Luka lama pun belum terobati. Semoga sejarah tidak begitu saja dilupakan…