Indeks Persepsi Korupsi Turun, Evaluasi Kebijakan dan Sistem Politik
Kebijakan yang membuka ruang untuk peningkatan investasi harus diimbangi dengan penguatan sistem antikorupsi. Selain itu, sistem politik yang masih membuka ruang untuk korupsi, mendesak untuk diperbaiki.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dituntut melakukan evaluasi menyusul turunnya Indeks Persepsi Korupsi 2020. Kebijakan yang membuka ruang untuk peningkatan investasi harus diimbangi dengan penguatan sistem antikorupsi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 mengalami penurunan hingga tiga poin dari 2019, yakni dari skor 40 menjadi 37. Dari rentang 0-100, semakin tinggi skor, semakin dipersepsikan sebuah negara bebas korupsi. Dengan skor 37, Indonesia kini berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei. IPK Indonesia 2020 dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII), Kamis (28/1/2021).
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Padang Feri Amsari mengatakan, Jumat (29/1/2021), penurunan IPK ini terjadi karena imbas dari perundang-undangan, kebijakan, dan tindakan dari negara yang tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Dari sembilan indikator penyusun IPK 2020, terdapat lima sumber data yang merosot dibandingkan temuan tahun lalu. Kelimanya adalah Global Insight Country Risk Ratings yang merosot hingga 12 poin, PRS International Country Risk Guide yang merosot 8 poin, IMD World Competitiveness Yearbook yang turun 5 poin, PERC Asia Risk Guide turun sebesar 3 poin, dan Varieties of Democracy Project yang turun 2 poin.
Adapun tiga indikator lainnya mengalami stagnasi. Ketiganya adalah World Economic Forum EOS, Bertelsmann Foundation Transform Index, dan Economist Intelligence Unit Country Ratings. Satu indikator lagi, yaitu World Justice Project-Rule of Law Index, memang mengalami peningkatan dua poin, tetapi secara agrerat tidak mampu memengaruhi kontribusi penurunan IPK 2020. Sebab, dalam lima tahun terakhir, indikator yang menunjukkan perbaikan pada penegakan supremasi hukum itu selalu di bawah rata-rata skor IPK tahunan.
Hasil analisis TII, penurunan ataupun stagnasi skor dalam sejumlah indikator tersebut menunjukkan ada persoalan dalam sektor ekonomi, investasi, dan kemudahan berusaha. Selain itu, sektor politik yang masih rentan terhadap tindak pidana korupsi.
”Sektor-sektor yang bermasalah itu adalah sektor-sektor yang menjadi target perlindungan dari negara agar terbebas dari jangkauan sistem antikorupsi dan sulit disentuh aparat penegak hukum,” kata Feri.
Menurut Feri, jatuhnya IPK hingga tiga poin adalah hal yang mengejutkan sekaligus kian menunjukkan bahwa Indonesia menuju sistem pemerintahan yang tertutup dan koruptif di segala lini. Ia berharap, negara tak menafikan data IPK itu dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi.
Ia merekomendasikan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan sektor bisnis saja yang hanya menguntungan para pengusaha secara instan atau pelaku kepentingan di sektor lain. Namun, pemerintah perlu juga mempertimbangkan untuk membuat kebijakan yang membangun prinsip antikorupsi.
Feri mencontohkan, pada sektor bisnis dapat dibangun aturan dan birokrasi yang transparan, berintegritas, dan antikorupsi. Kebijakan semacam itu tidak instan membenahi berbagai sektor, tetapi setidaknya menjadi fondasi bagi penyelenggaraan negara yang sehat.
Ikhtiar KPK
Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati mengatakan, KPK telah mendorong praktik-praktik good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dengan membuka data serta menyediakan saluran pengaduan masyarakat.
Ipi menjelaskan, penerapan tata kelola pemerintahan yang baik secara konsisten diharapkan dapat meningkatkan kualitas manajemen ASN, efektivitas tata laksana, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan akuntabilitas kinerja birokrasi seluruh instansi pemerintah.
Sistem politik
Terkait dengan masih tingginya korupsi di sektor politik, dari hasil studi dan penelitian KPK di sektor politik, episentrum korupsi di Indonesia adalah masih lemahnya sistem politik, khususnya partai politik.
”Sistem politik yang ada saat ini menjadi iklim yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya politik yang koruptif. KPK telah memberikan rekomendasi untuk perbaikan sistem politik, termasuk di dalamnya pembenahan partai politik,” kata Ipi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, ia tidak kaget atau keberatan dengan IPK Indonesia yang turun. Menurut Mahfud, persepsi itu bukan fakta. Persepsi adalah semacam kesan setelah orang melihat sesuatu. Karena itu, bagi pemerintah, hasil IPK yang dikeluarkan oleh TII tersebut diterima sebagai masukan yang baik untuk perbaikan.