Benahi Transparansi dan Penegakan Hukum untuk Ungkit Indeks Korupsi
Rilis TII, IPK Indonesia 2020 turun 3 poin dan berada di skor 37/100 atau di peringkat ke-102 dari 180 negara. Tak hanya akuntabilitas dan transparansi diperlukan, tetapi juga penegakan hukum yang diperkuat oleh negara.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan akuntabilitas dan transparansi penggunaan anggaran serta peningkatan penegakan hukum terhadap korupsi dipandang sebagai cara untuk mengatasi kemerosotan indeks persepsi korupsi Indonesia. Turunnya IPK itu sendiri dipengaruhi oleh sejumlah hal. Terlebih lagi ada faktor pandemi yang mendorong relaksasi sejumlah aturan dalam penyaluran anggaran yang ternyata tidak diikuti dengan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaannya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Ryanto saat dihubungi, Kamis (28/1/2021) dari Jakarta, mengatakan, situasi pandemi yang terjadi di seluruh dunia dapat menjadi faktor yang menyumbang bagi meningkatnya risiko korupsi. Namun, hal itu tidak boleh sepenuhnya dijadikan pembenaran, karena negara-negara lain yang mengalami pandemi tidak mengalami penurunan indeks korupsi seperti di Indonesia.
Sebagaimana dilaporkan dalam rilis Transparency International Indonesia (TII), indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia 2020 berada di skor 37/100 dan berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei. Dengan demikian, skor Indonesia turun 3 poin dari tahun 2019 yang sebelumnya berada pada skor 40/100, atau di bawah Timor Leste. TII menyebutkan, pandemi Covid-19 tak hanya krisis kesehatan dan ekonomi, tetapi juga krisis korupsi dan demokrasi.
”Soal korupsi ini kan soal mengelola kekuasaan. Bagaimana pemegang kekuasaan menerapkan kekuasaannya. Dalam kondisi pandemi, publik bisa melihat bagaimana pelaksanaan kekuasaan itu tidak sejalan dengan nilai-nilai akuntabilitas. Buktinya, ada pejabat tinggi negara yang tertangkap dalam kasus korupsi bantuan sosial pandemi. Ini menunjukkan problemnya bukan pada pandemi, melainkan pola pikir dan cara kekuasaan yang dikelolanya,” ucapnya.
Soal korupsi ini kan soal mengelola kekuasaan. Bagaimana pemegang kekuasaan menerapkan kekuasaannya. Dalam kondisi pandemi, publik bisa melihat bagaimana pelaksanaan kekuasaan itu tidak sejalan dengan nilai-nilai akuntabilitas.
Salah satu cara pengelolaan kekuasaan yang rentan dimanipulasi saat pandemi ialah penyaluran anggaran yang besar dalam penanganan pandemi, baik berupa bantuan langsung maupun barang dan jasa. Menurut Sigit, cara berpikir yang dipakai oleh pemegang kekuasaan ialah menyalurkan anggaran sebesar-besarnya untuk mengatasi dampak pandemi. Penyerapan anggaran menjadi fokus mereka.
Akan tetapi, hal ini tidak diimbangi dengan kepastian apakah anggaran itu tepat sasaran atau tidak. Artinya, tidak ada akuntabilitas dan transparansi dalam penyerapan anggaran itu. Kondisi ini, menurut Sigit, membuat penyaluran anggaran rentan disalahgunakan.
”Kalau pola pikirnya adalah serapan anggaran sebanyak mungkin, atau anggaran itu dibelanjakan, mungkin bisa disebut sebagai pencapaian. Namun, fokusnya seharusnya tidak di situ, tetapi apakah penyerapan anggaran itu sudah efektif dan efisien serta tepat sasaran. Apakah juga anggaran itu dikelola dengan mekanisme yang menjauhkan dari potensi tindakan koruptif,” ucapnya.
Sigit menegaskan, pandemi menjadi momentum yang dimanfaatkan koruptor untuk melancarkan aksinya. Problem terbesarnya bukan pada pandemi, melainkan pada pelaksanaan kekuasaan yang tidak akuntabel dan tidak disertai dengan pengawasan ketat meskipun sudah berkali-kali diingatkan. Imbasnya, kerentanan korupsi menjadi tinggi. Di sisi lain, KPK dalam posisi sulit secara institusional setelah ada revisi Undang-Undang KPK tahun 2019.
Menurut Sigit, praktik legislasi yang buruk dan tidak mendengarkan aspirasi publik juga menyumbang pada rendahnya IPK 2020. Keluarnya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dipandang melemahkan KPK secara institusional. Oleh karena itu, ke depan, perbaikan mesti dilakukan tidak hanya meningkatkan akuntabilitas anggaran dan perubahan paradigma dalam pengelolaan anggaran, tetapi juga memperbaiki kualitas legislasi dan menguatkan demokrasi.
Untuk menaikkan kembali IPK Indonesia, menurut Sigit, tidak bisa hanya bergantung kepada KPK. Sebab, lembaga penegak hukum yang menangani korupsi bukan hanya KPK. ”Ada kepolisian dan kejaksaan, yang perannya juga mesti ditingkatkan,” ujarnya.
Ada kepolisian dan kejaksaan, yang perannya juga mesti ditingkatkan.
Relatif terbuka dan kendur
Koordinator Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan mengatakan, pengawasan anggaran di masa pandemi memang menjadi relatif lebih terbuka karena ada paradigma relaksasi dalam penyaluran anggaran dalam penanganan pandemi Covid-19. Sayang, hal itu menjadi celah bagi terjadinya korupsi.
Transparansi anggaran masih menjadi persoalan. Misalnya, ketika dana pemulihan ekonomi nasional ditetapkan Rp 403 triliun tahun 2021, tetapi baru bulan pertama di tahun ini, angkanya dinaikkan menjadi Rp 553 triliun.
”Transparansi anggaran masih menjadi persoalan. Misalnya, ketika dana pemulihan ekonomi nasional ditetapkan Rp 403 triliun tahun 2021, tetapi baru bulan pertama di tahun ini, angkanya dinaikkan menjadi Rp 553 triliun. Masyarakat tidak tahu apa asumsi dasarnya hingga dana itu dinaikkan. Hal itu sebenarnya harus dibuat transparan sehingga menjadi jelas dan memudahkan para pihak mengawasi,” ujarnya.
Di masa pandemi, pengadaan barang dan jasa juga kerap tidak dilaporkan secara terbuka dan untuk kepentingan percepatan penyaluran anggaran dapat dilakukan penunjukan langsung. Sayang, menurut Misbah, hal-hal ini luput dari antisipasi pemerintah.
Ke depan, untuk menaikkan IPK, pengawasan anggaran semestinya tidak artifisial atau hanya bersifat umum. Namun, laporan penggunaan anggaran harus terbuka dan transparan. ”Idealnya memang proses pengadaan barang dan jasa bisa disederhanakan, tetapi aspek transparansi dan akuntabilitas harus tetap dipegang. Itu yang lepas dari proses selama ini,” ucapnya.