Tudingan DPTb Bermasalah dan Mobilisasi Massa Mengemuka di MK
Daftar pemilih tambahan atau DPTb yang bermasalah menjadi salah satu dalil yang diajukan oleh sejumlah pemohon dalam sidang perselisihan hasil Pilkada 2020 di MK. Dugaan mobilisasi pemilih juga disampaikan pemohon.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada hari kedua sidang sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah 2020 di Mahkamah Konstitusi, Rabu (21/1/2021), masalah kisruh daftar pemilih tambahan atau DPTb mengemuka. Sejumlah pemohon mendalilkan ada kecurangan yang dilakukan salah satu pasangan calon untuk mendulang suara dengan mobilisasi massa. Pemohon juga menilai penyelenggara pemilu tidak netral saat pelaksanaan pilkada.
Hal itu mengemuka dalam sidang perkara Nomor 125/PHP.Gub-XIX/2021 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah yang diajukan oleh pasangan calon Ben Ibrahim S Bahat dan Ujang Iskandar. Dalil yang hampir sama juga diajukan pasangan calon Agusrin Maryono dan Imron Rosyadi dalam perkara Nomor 78/PHP.Gub-XIX/2021 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur Bengkulu.
Kuasa hukum Ben dan Ujang, Bambang Widjojanto, dalam persidangan di MK, mengatakan, KPU Provinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan pasangan calon nomor urut 2, Sugianto Sabran dan Edy Pratowo, sebagai pemenang pilkada dalam penetapan rekapitulasi penghitungan suara pada 18 Desember 2020. Hasil perolehan suara Sugianto-Edy 536.138 suara. Adapun perolehan suara Ben-Ujang 502.800. Selisih suara itu mencapai 3,2 persen dari jumlah suara sah.
Jika menurut Pasal 158 UU Pilkada, kemungkinan perkara tersebut tidak memenuhi syarat ambang batas perselisihan hasil. Namun, untuk pemeriksaan perkara sengketa hasil pilkada kali ini, MK menerapkan kebijakan berbeda. Syarat ambang batas akan menjadi substansi pemeriksaan perkara sehingga perkara yang tidak memenuhi syarat pun tetap akan diterima oleh MK.
”Ada banyak fakta tak terbantahkan terkait kecurangan yang sangat fundamental dalam keseluruhan proses pilkada. Tidak hanya dalam pemungutan dan penghitungan suara, tetapi juga ada rangkaian kegiatan sehingga terlanggarnya asas pilkada yang jujur, adil, dan demokratis,” ujar Bambang kepada majelis hakim panel 1.
Menurut Bambang, sejumlah pelanggaran yang dilakukan pasangan calon petahana adalah penggantian jabatan enam bulan sebelum penetapan calon sampai akhir masa jabatan. Selain itu, juga penyalahgunaan kewenangan, struktur, birokrasi, program pemerintahan, politik uang, dan penyalahgunaan fasilitas pemerintah yang signifikan dalam memengaruhi perolehan suara.
Unggulnya perolehan suara pasangan calon petahana, katanya, juga diduga karena ada manipulasi DPTb dan mobilisasi massa. Mobilisasi massa diduga terjadi di sejumlah kecamatan di Provinsi Kalteng. Jumlah DPTb Kalteng dalam Pilgub 2020 adalah 26.516. Adapun jumlah pemilih yang hadir di TPS sebanyak 1.034.889 orang.
Artinya, ada lebih dari 2,5 persen dari jumlah pemilih yang menggunakan KTP elektronik atau surat keterangan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara. Sesuai Pasal 9 Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2020, pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) tetapi memiliki KTP elektronik hanya dapat menggunakan hak pilihnya di RT/RW yang tertera di KTP. Namun, di TPS, pengecekan hanya dilakukan pada KTP elektronik tak berdasarkan domisili sesuai KTP.
”Terhadap tingginya DPTb dalam satu TPS, Bawaslu Provinsi Kalteng telah merekomendasikan pemungutan suara ulang (PSU) di 111 TPS. Namun, pemohon menilai jumlah itu masih sangat sedikit jika dilihat dari masifnya DPTb di tingkat kabupaten,” kata Bambang.
Sementara itu, di Provinsi Bengkulu, pemohon Agusrin-Imron menduga ada eksodus pemilih yang dilakukan pasangan calon nomor urut 2, Rohidin Mersyah-Rosjonsyah. Eksodus itu diperkirakan mencapai 100.000 suara sehingga merugikan perolehan suara pemohon.
Kecurangan itu disebut terjadi di lima kabupaten, yaitu Mukomuko, Bengkulu Utara, Seluma, Bengkulu Selatan, dan Kaur. Pemohon juga menduga ada instruksi untuk merusak surat suara pasangan calon yang dilakukan oleh oknum KPPS atas perintah orang tak dikenal sehingga menyebabkan suara tidak sah pasangan calon Agusrin-Imron mencapai 65.000.
Berdasarkan keputusan rekapitulasi suara oleh KPU Provinsi Bengkulu, perolehan suara Agusrin-Imron mencapai 333.316 suara. Adapun Rohidin-Rosjonsyah mendapat 318.080 suara dan pasangan nomor urut 1, Helmi Hasan-Muslihan, mendapat 328.364 suara.
Kuasa hukum pemohon, Yasrizal Yahya, mengatakan, pemohon menemukan ada perbedaan signifikan antara pemilih pilkada bupati dan pilkada gubernur di Kabupaten Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang, Mukomuko, Bengkulu Utara, Seluma, Bengkulu Selatan, dan Kaur.
Seharusnya, daftar hadir pilkada gubernur dan bupati sama jumlahnya dengan jumlah penggunaan surat suara. Namun, hasil penghitungan suara daring yang dilakukan KPU, ada perbedaan besarnya jumlah pemilih gubernur/wakil gubernur dengan pemilih bupati/wakil bupati.
”Mendadak, sehari atau dua hari setelah pleno penghitungan suara tingkat provinsi angka-angka itu berubah semua. Setelah dibeberkan kejanggalan itu di pleno provinsi dan laporan tertulis ke Bawaslu,” kata Yasrizal.
Yasrizal menambahkan, pemohon menemukan ada kerusakan suara mencapai 65.000 suara. Surat suara tidak sah itu diduga milik pasangan calon nomor urut 3. Terkait kerusakan suara itu, pemohon menduga ada oknum penyelenggara di level KPPS telah menerima arahan dari pihak tertentu. Selain itu, juga ada dugaan pencoblosan surat suara untuk pasangan calon nomor urut 2 guna memenangkan pasangan calon nomor urut 2 yang merupakan petahana.
”Perhitungan real count di Sirekap KPU menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara pengguna hak pilih di pilkada gubernur dan pilkada bupati. Kami melakukan uji sampling di beberapa kecamatan dan kabupaten berdasarkan hasil C1, tetapi hasilnya tetap berbeda. Oleh karena itu, pemohon mempertanyakan dasar pleno C1 yang mana yang diunggah dan dipergunakan untuk pleno? Apakah ada upaya untuk menipu publik?” kata Yasrizal.
Kedua permohonan itu dinyatakan sah dan diterima majelis pleno 1 yang diketuai hakim konstitusi Anwar Usman dan hakim anggota Enny Nurbaningsih serta Wahiduddin Adams. Selanjutnya, MK akan memeriksa substansi perkara tersebut dalam agenda persidangan berikutnya.
Sejak 26 Januari, selama 45 hari, MK akan disibukkan dengan pemeriksaan perkara perselisihan hasil pilkada serentak 2020. Ada 132 perkara yang teregistrasi di MK. Dengan tiga majelis panel yang masing-masing terdiri atas tiga hakim konstitusi, maka setiap majelis panel memeriksa 44 perkara.