Dugaan Penyalahgunaan Wewenang Banyak Dipersoalkan ke MK
MK menggelar sidang perdana sengketa pilkada 2020. Penyalahgunaan wewenang yang diduga dilakukan oleh calon petahana atau kepala daerah aktif yang memiliki hubungan kekerabatan dengan calon, banyak didalilkan penggugat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan penyalahgunaan wewenang oleh calon kepala daerah petahana, ataupun kepala daerah aktif banyak dipersoalkan dalam sidang sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi, Selasa (26/1/2021). Calon petahana maupun kepala daerah aktif diduga melakukan pelanggaran terstruktur, masif, dan sistematis yang memengaruhi perolehan suara. Meskipun ambang batas perolehan suara tinggi, MK diminta menggali lebih dalam dugaan kecurangan tersebut.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan hari pertama, MK menyidangkan 35 perkara sengketa hasil pilkada. Perkara tersebut disidangkan oleh tiga majelis hakim panel secara simultan. Dari beberapa perkara yang masuk ke MK, penyalahgunaan wewenang calon kepala daerah petahana, dan kepala daerah aktif banyak dipersoalkan.
Meskipun ambang batas perolehan suara tinggi, MK diminta menggali lebih dalam dugaan kecurangan tersebut.
Pemohon dari Kalimantan Selatan, Denny Indrayana-Difriadi, mendalilkan adanya dugaan pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, masif, dan sistematis (TSM). Kecurangan yang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif tersebut memengaruhi perolehan suara yang berselisih 0,4 persen atau 8.127 suara.
Bentuk pelanggaran secara kualitatif yang dilakukan petahana, antara lain, berupa penyalahgunaan wewenang petahana, penegakan hukum yang tidak adil, transparan, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, serta kecurangan dalam tahapan pemungutan dan penghitungan suara.
Kuasa hukum pasangan Denny-Difriadi, Luthfi Yazid, menuturkan, penyalahgunaan wewenang berupa politisasi bantuan sosial diduga dilakukan oleh petahana pada periode enam bulan sebelum tahapan penetapan pasangan calon. Dalam bantuan yang diberikan kepada masyarakat, terdapat identitas berupa foto, nama sapaan, dan tagline yang digunakan pada alat peraga kampanye. Bantuan warga terdampak Covid-19 itu dibagikan ke sekitar 100.000 keluarga.
Fasilitas tandon cuci tangan yang dibuat oleh Pemprov Kalsel juga mengandung foto dan tagline petahana. Begitu pula pada fasilitas mobil dinas, website Pemprov Kalbar, dan mobil pengangkut sampah juga memuat identitas serupa.
”Tagline Pemprov Kalsel yang sebelumnya adalah ’Kalsel Mapan (Mandiri dan Terdepan) Lebih Sejahtera, Berkeadilan, Berdikari, dan Berdaya Saing’ menjadi ’Kalsel Bergerak’ atau ’Bergerak’ pada penerapan di lapangan rentang waktu 23 Maret 2020 hingga ditetapkannya petahana sebagai paslon tanggal 23 September 2020,” kata Luthfi.
Penyalahgunaan wewenang berupa politisasi bantuan sosial diduga dilakukan oleh petahana pada periode enam bulan sebelum tahapan penetapan pasangan calon.
Paslon Denny-Difriadi juga menyebut adanya dugaan kecurangan secara kualitatif, antara lain dugaan praktik politik uang, tingginya suara tidak sah akibat perusakan surat suara oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada tempat pemungutan suara (TPS) dengan tingkat kehadiran hampir 100 persen, dan intimidasi kepada bidan. Salah satunya terjadi di Kabupaten Banjar dengan suara tidak sah mencapai 30.944 suara atau lebih dari tiga kali lipat selisih perolehan suara di Pilgub Kalsel.
Sementara itu, pasangan calon bupati Banyuwangi Yusuf Widyatmoko dan Muhammad Riza Azizi juga mendalilkan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh bupati aktif Abdullah Azwar Anas.
Kuasa hukum pemohon, Ahmad Irawan mengatakan, calon bupati nomor urut 2 Ipuk Fiestiandani adalah istri dari bupati aktif Abdullah Azwar Anas. Relasi antara Azwar dan Ipuk dinilai memiliki benturan kepentingan yang berdampak pada asas kejujuran dan keadilan (fairness) dalam pilkada Banyuwangi. Azwar dinilai telah melakukan penyalahgunaan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan pasangan calon Ipuk-Sugirah. Kecurangan secara terstruktur, sistematif, dan masif itu dinilai merusak integritas pemilu dan merugikan perolehan suara pemohon.
”Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk menguntungkan pasangan calon nomor urut 2. Sejumlah program itu di antaranya bansos Covid-19 baik dari sumber APBD ataupun APBN. Dalam pemberian bantuan itu ditemukan adanya stiker paslon nomor urut 2, pada saat kampanye,” ujar Ahmad Irawan.
Pemohon menyadari bahwa berdasarkan hasil rekapitulasi KPU, terdapat selisih perbedaan suara sebanyak 4,86 persen. Namun, selisih perolehan suara yang cukup tinggi itu dianggap sebagai dampak kecurangan yang dilakukan oleh paslon Ipuk-Sugirah.
Sementara itu, di Kota Surabaya, juga ada dugaan kecurangan yang dilakukan oleh wali kota aktif Tri Rismaharini untuk mendukung paslon nomor urut 1 Eri Cahyadi-Armudji. Pihak pemohon, yaitu Machfud Arifin-Mujiaman, menilai ada pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang menyebabkan pemilihan Wali Kota Surabaya tidak adil dan merugikan perolehan suara Machfud-Mujiaman.
Di Kota Surabaya, pemohon sengketa mendalilkan adanya kecurangan yang dilakukan oleh wali kota aktif Tri Rismaharini untuk mendukung paslon nomor urut 1 Eri Cahyadi-Armudji.
Kuasa hukum pemohon, Veri Junaidi, mengatakan, pemohon sangat keberatan dengan hasil penghitungan suara Pilkada Surabaya yang memenangkan paslon Eri-Armudji. Menurut dia, paslon tersebut unggul karena didukung oleh kepala daerah aktif saat itu Tri Rismaharini. Pemkot Surabaya dinilai tidak netral, serta memanfaatkan kewenangan, program, dan kegiatan untuk memenangkan paslon tertentu.
”Dalam pilkada Kota Surabaya, Tri Rismaharini yang merupakan wali kota aktif saat itu, secara terbuka mendukung dan terlibat aktif memenangkan paslon nomor urut 1. Risma yang merupakan wali kota Surabaya seolah menjadi simbol pemenangan Eri Cahyadi-Armudji,” kata Veri.
Veri juga mengungkapkan, Risma dianggap memanfaatkan bantuan sosial tunai, bantuan sosial beras, dan program keluarga harapan untuk memenangkan paslon nomor urut 1. Selain itu, Risma juga dianggap memengaruhi dan memobilisasi RT/RW dengan pemberian penghargaan sertifikat kepada seluruh RT/RW di Kota Surabaya. Risma juga menggenjot pembangunan dan perbaikan sarana umum untuk pemenangan calon tertentu. Selain itu, juga ada program makan gratis untuk lanjut usia, program kampung tangguh, dan mobilisasi aparatur sipil negara (ASN).
Permohonan tersebut diterima oleh majelis panel MK untuk selanjutnya diperiksa. Pemohon berharap MK dapat mengutamakan keadilan substantif dalam memeriksa perkara tersebut. Meskipun selisih perolehan suara di atas ambang batas yang ditetapkan UU, pemohon berharap MK dapat menggali lebih dalam aspek keadilan subtantifnya.