Komisi Yudisial diminta untuk mengevaluasi dan memperbaiki proses perekrutan calon hakim agung. Anggota DPR mempertanyakan minimnya calon yang lolos dari seleksi yang digelar KY.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial diminta untuk terus memperbaiki sistem perekrutan hakim agung dan hakim ad hoc. Sistem perekrutan di KY diharapkan meningkatkan integritas dan kualitas hakim agung. KY juga diminta lebih memperhatikan kebutuhan hakim agung yang diajukan oleh Mahkamah Agung.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dengan Ketua Komisi Yudisial terpilih Mukti Fajar Nur Dewata, Senin (25/1/2021). Selain Ketua KY terpilih, enam komisioner KY periode 2020-2025 juga hadir dalam rapat tersebut.
KY diminta untuk melakukan telaah dan evaluasi kebutuhan hakim agung. Apalagi, jumlah perkara yang masuk ke MA rata-rata terus meningkat dari tahun ke tahun.
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, mengatakan, berdasarkan UU Mahkamah Agung, jumlah hakim agung MA maksimal 60 orang. Kini, jumlah hakim agung di MA baru 46 orang. Meskipun KY memiliki kemandirian dalam seleksi hakim agung, KY diminta untuk melakukan telaah dan evaluasi kebutuhan hakim agung. Apalagi, jumlah perkara yang masuk ke MA rata-rata terus meningkat dari tahun ke tahun.
”Kalau bisa, Ketua KY yang baru membahas soal ini. Bagaimana mendorong munculnya calon hakim agung karier, dibandingkan dengan hakim ad hoc,” ujar Benny.
Mengutip refleksi akhir tahun MA 2020, selama pandemi Covid-19, dua hakim agung, yaitu MD Pasaribu dan Dudu Duswara Machmudin, meninggal setelah terkonfirmasi Covid-19. Jumlah hakim agung pun berkurang, khususnya pada kamar pidana. Dari semula 18 hakim agung, kini tersisa 11 hakim agung sebab 5 orang lainnya memasuki usia pensiun. Padahal, jumlah total perkara yang masuk ke MA terus bertambah. Tahun ini, peningkatan perkara sebesar 6 persen dibandingkan dengan tahun 2019 yang berjumlah 19.369 perkara.
Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan, menambahkan, pada saat KY melakukan seleksi, jumlah calon hakim agung yang diajukan kepada DPR untuk diuji kepatutan dan kelayakan menyusut drastis. DPR pun tidak mendapatkan penjelasan komprehensif mengenai proses seleksi itu. Akhirnya, muncul anggapan bahwa usulan hakim agung ke DPR adalah fait accompli. DPR diminta menyetujui calon yang jumlahnya sangat minim.
”Dari usulan yang diajukan oleh MA, misalnya di kamar pidana dibutuhkan empat orang hakim agung, tetapi yang muncul dari KY hanya satu calon. Padahal, yang mendaftar ada 12 orang. Mengapa banyak yang tidak terpilih, apa karena passing grade terlalu tinggi? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan terutama terkait kriteria yang digunakan KY,” kata Arteria.
KY memutus berdasarkan standar passing grade kelulusan. KY memiliki standar kompetensi calon hakim agung yang dibuat bersama dengan MA. Empat standar kompetensi itu adalah integritas, kinerja yudisial, mental, dan kenegarawanan. (Mukti Fajar Nur Dewata)
Ketua KY Mukti Fajar mengatakan, berdasarkan surat yang dikirimkan MA, pada tahun 2020 dibutuhkan enam orang hakim agung, enam orang hakim ad hoc. KY periode sebelumnya kemudian membuka lowongan hakim agung dan hakim ad hoc. Pelamar dari hakim karier berjumlah 16 orang, adapun untuk hakim ad hoc sebanyak 100 orang. Dalam perjalanannya, memang hanya satu hakim karier yang lolos sebagai calon hakim agung.
”KY memutus berdasarkan standar passing grade kelulusan. KY memiliki standar kompetensi calon hakim agung yang dibuat bersama dengan MA. Empat standar kompetensi itu adalah integritas, kinerja yudisial, mental, dan kenegarawanan,” kata Mukti.
Fajar menegaskan, visi KY adalah menjadi lembaga yang independen dan tidak terkooptasi oleh kepentingan pihak mana pun. Meskipun demikian, dia juga menyadari bahwa ke depan, komunikasi dan hubungan kelembagaan dengan pihak lain khususnya MA harus dijaga dan diperbaiki.
Lebih lanjut, Benny mengatakan, selain memperhatikan kebutuhan MA, KY juga diminta memperbaiki aspek perekrutan hakim. Dia mengatakan, meskipun sudah bagus di atas kertas, selama ini proses perekrutan masih bersifat formalistik. Proses perekrutan belum bisa secara signifikan memperbaiki kualitas hakim agung.
Meskipun sudah bagus di atas kertas, selama ini proses perekrutan masih bersifat formalistik. Proses perekrutan belum bisa secara signifikan memperbaiki kualitas hakim agung.
KY diminta untuk memantau konsistensi putusan calon hakim agung. Konsistensi putusan akan menjadi salah satu indikator apakah calon hakim tersebut berintegritas atau tidak. Ia pun meminta agar instrumen yang digunakan untuk menguji calon hakim agung harus lebih kuat dan terukur.
Mukti Fajar mengatakan, KY secara bertahap telah melakukan perbaikan dalam standar seleksi calon hakim agung. KY menyusun kamus kompetensi hakim agung dengan melibatkan MA dan validasi dari berbagai pihak seperti ahli hukum. Usulan dan masukan dari Komisi III akan dijadikan pegangan untuk perbaikan perekrutan hakim agung selanjutnya.