Keadilan Restoratif Berpeluang Perbaiki Sistem Peradilan Pidana
Jaksa Agung menerbitkan peraturan tentang penerapan keadilan restoratif untuk tindak pidana dengan ancaman hukum di bawah 5 tahun dan nilai kerugian maksimal Rp 2,5 juta. Pakar pidana menilai aturan itu perlu didetailkan
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mengakomodasi penerapan keadilan restoratif atau restorative justice, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menerbitkan Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Perja itu fokus pada tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah lima tahun dan nilai kerugian di bawah Rp 2,5 juta.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dan Kejaksaan Agung, Selasa (26/1/2021), di Jakarta, Burhanuddin mengatakan, Perja No 15/2020 itu mengatur detail tentang mekanisme penerapan keadilan restoratif. Harapannya, kejaksaan dapat memberikan rasa adil kepada pencari keadilan dengan dimensi yang bernuansa kemasyarakatan. Selain itu, kejaksaan menempatkan pemidanaan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir dalam penegakan hukum.
Perja itu ditandatangani oleh Burhanuddin, 22 Juli 2020. ”Bahwa sampai dengan 3 Desember 2020 telah dilakukan 222 perkara yang telah dihentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” katanya.
Sampai dengan 3 Desember 2020 telah dilakukan 222 perkara yang telah dihentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (Jaksa Agung ST Burhanuddin)
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, Perja No 15/2020 diharapkan bisa ikut mendorong penyelesaian perkara tindak pidana yang sebelumnya retributif atau pembalasan, menjadi pemulihan. ”Akan tetapi, saya juga ingin mendengar Perja No 15/2020 ini dapat dilaksanakan dalam kerja penuntutan kejaksaan sehari-hari,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan, pendekatan restoratif membawa mekanisme keadilan itu langsung di hadapan rakyat, pencari keadilan. Penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif itu pun sebenarnya telah banyak ditunjukkan oleh para tetua adat di sejumlah daerah di Indonesia. Sebagai contohnya, daerah-daerah di Sumatera Utara (Sumut) mengenal raja-raja adat yang memimpin suatu klan atau wilayah tertentu dan menyelesaikan persoalan di sekitar mereka dengan kearifan lokal.
”Inilah cikal bakal keadilan restoratif. Di Pantai Timur (Sumut), ada raja-raja bius di Tapanuli, di Toba, dan apakah ini mungkin dihidupkan kembali,” katanya.
Sementara itu, terkait dengan Perja No 15/2020, anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra mengaitkannya dengan kasus yang dihadapi oleh M Rizieq Shihab dan Muhamad Said Didu. Ia menilai, karena pendekatan yang berusaha dibangun kejaksaan ialah keadilan restoratif, apakah memungkinkan jika kasus yang menjerat dua orang itu juga dituntaskan dengan keadilan restoratif.
Pelaksanaan keadilan restoratif menjadi prioritas kejaksaan karena respons masyarakat sangat positif. Mereka merasakan langsung dampak penerapan keadilan restoratif itu.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana mengatakan, pelaksanaan keadilan restoratif menjadi prioritas kejaksaan karena respons masyarakat sangat positif. Mereka merasakan langsung dampak penerapan keadilan restoratif itu. Masyarakat merasakan mendapatkan keadilan yang nyata.
”Keadilan itu hadir di hadapan mereka dan mereka merasakan langsung karena tidak ada status terdakwa dan terpidana. Ini respons sangat positif karena menimbulkan harmoni di masyarakat dan tidak menimbulkan keguncangan, serta memulihkan keadaan,” ucapnya.
Untuk memastikan penerapan keadilan restoratif ini, Fadil mengatakan, Kejagung sedang membuat pedoman pelaksanaannya di Biro Hukum Kejagung. Dengan pedoman itu diharapkan terjadi keseragaman dalam penerapan keadilan restoratif di antara kejaksaan negeri (kejari) dan kejaksaan tinggi (kejati) di seluruh Indonesia.
Menjawab permintaan keadilan restoratif bagi Rizieq Shihab, Fadil mengatakan, hal itu akan dilihat secara jernih dan obyektif. ”Tentang penanganan HRS (Rizieq Shihab), saya sampaikan perkara ini sudah masuk proses koordinasi dan konsultasi. Saya bahkan telah membentuk tim beranggotakan 16 jaksa untuk menyidangkan hal ini. Kami akan melihat perkara ini dengan jernih dan obyektif, serta memproses hukum sebaik-baiknya, serta tidak melakukan penzaliman,” katanya.
Pasalnya, Rizieq tidak hanya dijerat dengan satu perkara, tetapi ada beberapa perkara yang kini ditangani oleh kejaksaan. Perkara yang sudah masuk ialah tentang peristiwa di Megamendung, Petamburan, serta beberapa kasus lain.
Perlu detail
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji mengatakan, kebijakan itu sepatutnya diapresiasi karena kebijakan itu berbasis pendekatan pencegahan kejahatan (precaution approach).
”Kebijakaan restorative justice ini dalam konteks implementasi metode Economic Analysis of Law, yang melihat dampak kebijakan restorative justice ini memiliki nilai probabilitas dan manfaat yang tinggi bagi masyarakat dibandingkan dengan nilai pemrosesan kasusnya ke pengadilan,” katanya.
Namun, kebijakan keadilan restoratif itu pun melibatkan persetujuan dan pengawasan dari negara (aparat penegak hukum), korban, masyarakat, dan pelaku itu sendiri. Dengan demikian, lanjut Indriyanto, tercipta sistem pengawasan, terintegrasi dan ada pola minimalisasi terjadinya penyimpangan dan benturan antara regulasi, yakni peraturan jaksa (perja) dengan peraturan kapolri (perkap). Apalagi tahapan proses keadilan restoratif bisa dilakukan pada tahapan pra-adjudikasi yang menjadi wewenang setiap aparat penegak hukum.
Dalam jangka panjang kebijakan keadilan restoratif ini akan memperbaiki sistem peradilan terpadu di Tanah Air. Sejumlah dampak ikutannya ialah dapat memperkecil risiko lembaga pemasyarakatan yang kelebihan penghuni.
Indriyanto mengatakan, dalam jangka panjang kebijakan keadilan restoratif ini akan memperbaiki sistem peradilan terpadu di Tanah Air. Sejumlah dampak ikutannya ialah dapat memperkecil risiko lembaga pemasyarakatan yang kelebihan penghuni.
Dihubungi terpisah, pakar pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, mengatakan, sekalipun diapresiasi, tetapi parameter di dalam Perja No 15/2020 itu terlalu umum karena hanya mengatur soal ancaman pidana di bawah lima tahun dan kerugian kurang dari Rp 2,5 juta. Ukuran itu saja belum memadai karena pada praktiknya keadilan restoratif tidak dapai diterapkan pada kasus-kasus yang menyangkut kepentingan publik.
Chairul mengatakan, keadilan restoratif hanya berlaku untuk kasus yang melibatkan individu per individu. Namun, kalau menyangkut individu dengan publik, keadilan restoratif ini tidak dapat diterapkan.
”Misalnya, karena melanggar protokol Covid-19 atau melanggar UU Kekarantinaan Kesehatan, yang sekalipun ancamannya di bawah lima tahun, tidak dapat diterapkan keadilan restoratif karena korbannya tidak bersifat individual, tetapi publik karena menimbulkan kerumunan yang membahayakan banyak orang,” ujarnya.
Oleh karena itu, sebaiknya perja itu dilengkapi dengan parameter detail sehingga tidak rentan disalahgunakan. Di sisi lain, aturan tentang keadilan restoratif idealnya merupakan peraturan bersama antara kejaksaan, kepolisian, dan Mahkamah Agung (MA). Sebab, kebijakan keadilan restoratif saat ini tengah digaungkan oleh semua lembaga penegak hukum dan peradilan. Sebelumnya, Kepala Polri terpilih Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga bertekad mengedepankan keadilan restoratif.
Idealnya, aturan tentang keadilan restortif merupakan peraturan bersama antara kejaksaan, kepolisian, dan Mahkamah Agung (MA). Sebab, kebijakan keadilan restoratif saat ini tengah digaungkan oleh semua lembaga penegak hukum dan peradilan.
Selain membahas keadilan restoratif, Burhanuddin dalam RDP dengan Komisi III DPR juga mengemukakan sejumlah capaian sepanjang 2020. Kejaksaan saat ini juga tengah menggodok keberadaan jaksa agung muda tindak pidana militer (jampidmil). Struktur baru di Kejagung itu sedang diusulkan ke Sekretariat Negara, dan kini suratnya menunggu untuk ditandatangani oleh Presiden.
Dalam penyelesaian sejumlah kasus, seperti korupsi Asabri, Jiwasraya, dan BPJS, Burhanuddin mengatakan semua kasus itu tengah berproses. Soal kasus Asabri, misalnya, ada tujuh tersangka yang pada waktunya akan diumumkan kepada publik. Selain itu, dalam kasus pelarian Djoko Tjandra, sekalipun ia telah divonis 2 tahun penjara, masih ada empat dakwaan lain yang menyusul.
Adapun untuk mengawasi kedisiplinan internal jaksa, Burhanuddin membentuk Satuan Tugas 53 (Satgas 53). Tujuan satgas ialah untuk mengoptimalkan pengawasan internal dan melakukan deteksi dini terhadap oknum jaksa atau pegawai kejaksaan yang berpotensi melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan.