Revisi UU Pemilu Harus Berdampak pada Perubahan Perilaku Pemilih dan Representasi Politik
Revisi regulasi kepemiluan seharusnya berdampak pada dua hal. Pertama, perubahan perilaku pemilih, seperti loyalitas terhadap partai. Kedua, perubahan representasi politik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan Undang-Undang Pemilu selama ini dianggap belum berdampak signifikan pada perubahan perilaku pemilih dan representasi politik. Hal ini disebabkan perubahan hanya dilakukan sebatas mereformasi sistem pemilu tanpa diikuti dengan mereformasi partai politik.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, dalam diskusi virtual ”Mengapa Revisi Undang-Undang Pemilu Penting?”, Minggu (24/1/2021), mengatakan, revisi regulasi kepemiluan seharusnya berdampak pada dua hal.
Pertama, perubahan perilaku pemilih, seperti loyalitas terhadap partai. Kedua, perubahan representasi politik, seperti keterwakilan perempuan dan etnis. Namun, beberapa kali undang-undang yang mengatur mekanisme pemilu diubah, belum juga tercapai tujuan-tujuan tersebut.
”Kalau saya lihat, secara umum tidak signifikan berubah. Dugaan saya karena electoral reforms itu cukup sering dilakukan tetapi partai politik tak melakukan reformasi di internal. Padahal, hulunya di partai. Kalau tidak ada reformasi di partai, nah susah terjadi perubahan di dua aspek tadi itu,” ujar Arya.
Jika reformasi partai politik diabaikan di dalam setiap penyusunan regulasi, menurut Arya, kualitas pemilu tidak akan membaik. Artinya, perubahan kebijakan publik tidak akan terjadi. Lalu, tingkat kepercayaan publik terhadap institusi publik dan parpol juga akan terus stagnan bahkan cenderung turun.
”Yang terpenting, yang harus dilihat adalah, apakah perubahan regulasi itu akan memengaruhi electoral outcomes atau tidak,” ucap Arya.
Saat ini, DPR dan pemerintah masih menggodok revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Rancangan perubahan UU itu merupakan salah satu dari 33 RUU yang masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.
Setidaknya, di draf revisi UU Pemilu sekarang, Arya melihat, terdapat beberapa pasal yang cukup progresif terkait proses rekrutmen di internal partai. Di Pasal 210 dan Pasal 264, misalnya, secara tegas menyatakan, akan menghukum parpol jika ditemukan praktik mahar dalam proses kandidasi. Sanksinya adalah parpol tidak boleh mencalonkan pada pemilu berikutnya.
”Penerapan pasal ini tentu akan memengaruhi level kompetisi di internal partai. Kalau kompetisinya tinggi dan terbebas dari praktik mahar, maka akan menentukan juga kualitas calon yang terpilih nantinya,” tutur Arya.
Beriringan
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Heroik Pratama sependapat dengan Arya bahwa upaya mereformasi sistem pemilu harus dibarengi reformasi parpol. Namun sayangnya, terkait mekanisme seleksi calon, hal tersebut tidak pernah dibahas di setiap revisi Undang-Undang Pemilu.
”Contoh, dulu ada wacana usulan, yang dicalonkan oleh parpol ada masa waktu kader partai, tetapi sekarang menguap begitu saja,” katanya.
Heroik menyinggung bahwa sebelumnya kelompok masyarakat sipil pernah mengusulkan sejumlah mekanisme seleksi calon agar terjadi demokratisasi di internal partai. Seperti di Amerika Serikat, salah satu aspek yang diusulkan adalah proses kandidasi harus melalui pemilihan pendahuluan (primary election) di internal partai. Itu bisa jadi dilakukan secara terbuka dengan melibatkan publik atau tertutup dengan melibatkan anggota partai.
Kedua, proses kandidasi ditempuh melalui konvensi. Artinya, terdapat sejumlah pakar atau akademisi yang akan mendalami visi-misi calon. Cara ini sudah dilakukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Pemilu 2019.
”Regulasi pemilu harus bisa memaksa parpol untuk melakukan proses demokratisasi di internal partai,” tuturnya.
Heroik berpandangan, jika cara pemilihan pendahuluan dan konvensi dianggap akan berdampak pada biaya politik yang mahal, maka partai bisa memakai jalan tengah dengan mengatur secara spesifik syarat rekrutmen yang demokratis. Ketentuan terkait pola rekrutmen yang demokratis dan terbuka di dalam regulasi kepemiluan harus didetailkan, misal melibatkan anggota partai atau secara transparan melibatkan publik.
”Di sisi lain, dalam penentuan calon dapat terjaga, tetapi publik juga bisa melihat proses seleksi dan ada insentif berupa demokratisasi internal partai,” kata Heroik.