MK Diharapkan Lebih Tegas Mengoreksi Kesalahan Legislasi di DPR
Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat mengoreksi pembentukan perundang-undangan yang minim partisipasi publik. MK diminta lebih tegas dalam mengawal demokratisasi di parlemen.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang tahun 2020, jumlah permohonan uji materi (judicial review) yang masuk ke Mahkamah Konstitusi meningkat dibandingkan tahun 2019. Di antara uji materi itu, ada empat undang-undang yang disahkan pada 2020 dan langsung diuji di MK. Dengan kecenderungan itu, pengamat hukum tata negara menilai MK harus lebih serius dalam mengontrol sistem demokrasi di parlemen.
Dalam Sidang Pleno Khusus Laporan Tahunan 2020, Kamis (21/1/2021), Ketua MK Anwar Usman mengatakan, pada 2020, MK menguji 61 undang-undang. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan pada tahun 2019 yang hanya 56 undang-undang.
Undang-undang yang paling banyak diuji di antaranya UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanganan Pandemi Covid-19 sebanyak sembilan kali, UU Nomor Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebanyak delapan kali.
Undang-undang yang paling banyak diuji adalah UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanganan Pandemi Covid-19 sebanyak sembilan kali, UU Nomor Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebanyak delapan kali, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sebanyak enam kali, UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU Mahkamah Konstitusi sebanyak lima kali, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebanyak lima kali, dan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara sebanyak lima kali.
”Waktu rata-rata penyelesaian perkara pengujian undang undang (PUU) adalah selama 82 hari kerja atau setara 3,9 bulan berperkara. Capaian ini membaik dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2019, MK membutuhkan rata-rata waktu penyelesaian perkara selama 93 hari atau 4,4 bulan berperkara,” kata Anwar.
Lebih lanjut, Anwar mengatakan, pada 2020, MK menangani total 139 perkara, termasuk perkara PUU. Rinciannya, 109 perkara diregistrasi pada 2020.
Adapun, 30 perkara merupakan sisa perkara lanjutan dari tahun 2019. Sebanyak 89 perkara atau 64,2 persen sudah diputus, masih ada 50 perkara atau 35,8 persen yang masih dalam pemeriksaan. Jika dilihat dari amar putusan, 3 perkara dikabulkan oleh Mahkamah. Sebanyak 45 perkara tidak dapat diterima, 27 ditolak, dan 14 ditarik kembali.
Mengontrol parlemen
Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif Violla Reininda mengatakan, dari catatan akhir tahun MK 2020 terlihat, ada empat UU yang baru disahkan di DPR tahun 2020 langsung diuji di MK. Ini menunjukkan bahwa kualitas legislasi di DPR dipertanyakan. Apalagi, menurut Violla, dari profil permohonan UU yang masuk ke MK itu, banyak yang mendalilkan tentang pengujian formil atau tata cara pembentukan UU. Artinya, pemohon banyak yang menilai UU disahkan dengan cacat formil.
MK seharusnya bisa memandang kecenderungan adanya undang-undang yang langsung diuji setelah disahkan. MK juga diharapkan dapat melihat adanya persoalan, baik secara substantif maupun prosedural dalam pembentukan undang-undang
MK, menurut dia, seharusnya bisa memandang kecenderungan tersebut. MK juga diharapkan dapat melihat adanya persoalan, baik secara substantif maupun prosedural, dalam pembentukan undang-undang khususnya di tahun 2020. Tugas MK adalah mengarahkan bagaimana pembentukan undang-undang didasarkan pada nilai-nilai negara hukum dan demokrasi.
”Undang-undang yang baru disahkan kemudian diuji, bukan hanya soal perbedaan pendapat. Tetapi, memang sudah ada pokok persoalan secara substansial dan prosedural dari undang-undang itu sendiri,” kata Violla.
Menurut Violla, momentum itu seharusnya bisa digunakan MK untuk lebih serius memeriksa perkara uji formil undang-undang. Catatan Kode Inisiatif, sejak 2003-2019 ada 44 pengujian formil undang-undang. Namun, dari pengujian itu, belum pernah ada satu pun uji formil undang-undang yang dikabulkan oleh MK.
”Inilah saatnya MK menggariskan bagaimana sebenarnya pengujian formil yang konstitusional itu seperti apa dan cara-cara pembentukan undang-undang yang konstitusional itu seperti apa,” kata Violla.
Masyarakat sipil berharap MK tidak hanya mengecek prosedur dalam pembentukan undang-undang sudah dilaksanakan atau belum. Namun, lebih dari itu, MK seharusnya bisa membenturkan nilai-nilai yang ada pada konstitusi secara lebih substantif. Terkait partisipasi masyarakat misalnya, apakah partisipasi sudah bermakna dengan diadakannya sosialisasi. Apakah sosialisasi juga sudah bisa menyentuh pihak-pihak terdampak undang-undang.
MK seharusnya bisa membenturkan nilai-nilai yang ada pada konstitusi secara lebih substantif.
Violla memberikan contoh, salah satu hakim konstitusi dalam uji formil UU MK pernah mengatakan bahwa tidak ada batasan waktu undang-undang untuk dibahas atau disahkan di DPR. Menurut Violla, pandangan itu sangat bersifat legalistik dan prosedural. Itu hanya memberikan kepastian hukum, tetapi tidak bisa memberikan keadilan.
”Harapannya, dalam uji formil, MK bisa menggali lebih dalam lagi, memaknai bagaimana pembentukan undang-undang yang sangat singkat (pada revisi UU MK), apakah dapat secara proporsional menampung aspirasi publik dan mendengarkan pihak yang terdampak undang-undang tersebut?” kata Violla.
Dengan kecenderungan proses pembentukan undang-undang yang ”ugal-ugalan” di DPR, sehingga dianggap minim partisipasi publik, MK dituntut untuk dapat lebih tegas mengoreksi kesalahan demokratisasi di parlemen. Sehingga, ke depan pembentukan undang-undang dapat dilakukan dengan lebih demokratis dengan prosedur yang benar.