Pasca pemberhentian Arief Budiman sebagai Ketua KPU oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, menimbulkan reaksi. Sebagian pengamat menilai putusan DKPP sebagai bentuk kekeliruan lembaga etik yang masuk ke ranah hukum.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sikap Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang menilai upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai bentuk pembangkangan dianggap sesuatu yang keliru secara hukum. Menurut pakar hukum, menggugat keputusan presiden ke PTUN adalah hak warga negara yang dijamin oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Kekeliruan itulah yang akhirnya berdampak panjang pada putusan pemberhentian Arief Budiman sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) Auliya Khasanofa dalam diskusi ”Memperkuat Kelembagaan Penyelenggara Pemilu”, yang digelar Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah, Rabu (20/1/2021), mengatakan, secara umum peradilan etik, yaitu DKPP tidak boleh masuk ke dalam substansi putusan suatu lembaga. Substansi putusan lembaga hanya dapat diperiksa oleh pengadilan yang lebih tinggi. Peradilan etik hanya berwenang memeriksa perilaku berdasarkan rumusan kode etik yang telah ditetapkan bersama.
”Ketika sudah ada putusan di pengadilan, seharusnya dihormati oleh para pihak. DKPP jelas telah melampaui putusan pengadilan. Karena DKPP mengeluarkan putusan yang melawan putusan PTUN Jakarta,” kata Auliya.
”Ketika sudah ada putusan di pengadilan, seharusnya dihormati oleh para pihak. DKPP jelas telah melampaui putusan pengadilan. Karena DKPP mengeluarkan putusan yang melawan putusan PTUN Jakarta.”
Selain Aulia, narasumber dalam diskusi tersebut adalah Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas Padang Feri Amsari, dan Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah Titi Anggraini.
Auliya mengatakan, putusan hakim harus dianggap benar. Bahkan, presiden pun telah melaksanakan putusan PTUN tersebut. Presiden mencabut Keppres Nomor 34 Tahun 2020 tentang pemberhentian komisioner KPU Evi Novida Ginting. Presiden kemudian mengeluarkan regulasi baru yang menghidupkan kembali pengangkatan Evi Novida. Kewajiban untuk merehabilitasi atau memulihkan kedudukan penggugat sebagai anggota KPU itu juga tertuang dalam putusan PTUN dalam kasus pemberhentian Evi Novida.
”DKPP tidak memiliki yurisdiksi untuk menilai putusan PTUN. Peradilan etik tidak boleh masuk pada substansi putusan. Seharusnya, perilaku yang dimaksud melanggar kode etik itu lebih diperjelas, agar DKPP tidak memutuskan tanpa alasan hukum,” kata Auliya.
Feri Amsari juga mengatakan, sikap Evi yang menempuh jalur hukum dalam perkara administrasi yang membelitnya adalah legal dan dijamin oleh hukum khususnya putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013. Evi sedang memperjuangkan keadilan saat dijatuhi sanksi berat yang berkaitan dengan reputasinya. Arief Budiman yang saat itu mendampingi Evi Novida sebagai rekan kerja pun tidak bisa serta-merta dianggap melanggar etika.
”Orang yang menempuh jalur hukum konstitusional dianggap melanggar etik. Ini adalah pemahaman yang keliru dari DKPP,” kata Feri.
Sementara itu, Titi Anggraini mengkritik pola pengujian pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Menurut Titi, seharusnya pengujian etika di DKPP murni berbasis pengujian etika saja. ”DKPP tidak perlu ikut menguji materi tentang penerapan hukum, termasuk menguji hukum administrasi karena khawatir terjadi hukumisasi etik,” ujar Titi.
Terkait dengan putusan DKPP, Titi Anggraini berpendapat bahwa supaya tidak ada kekuasaan yang absolut, maka produk DKPP bukan berupa putusan tapi keputusan, dan bisa langsung diajukan upaya hukum ke PTUN. Ketegasan soal upaya hukum ini sangat diperlukan sebab ada pandangan salah kaprah bahwa melakukan upaya hukum ke PTUN adalah bentuk pembangkangan, padahal hal itu dijamin dalam Putusan MK No 31/PUU-XI/2013. Titi mengharapkan agar RUU Pemilu harus tegas mengatur bahwa soal etik adalah sebatas etik dan bukan mencampuri masalah administrasi kepemiluan.
Penataan kelembagaan
”Putusan ini sangat disayangkan karena penyelenggara pemilu baru saja selesai melakukan pekerjaan berisiko tinggi pilkada pada masa pandemi yang berlangsung dengan cukup baik. Tetapi, tiba-tiba ada peristiwa yang tidak ada hubungannya dengan itu.”
Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia juga mengaku kaget dengan putusan DKPP tersebut. Menurut dia, ini semakin menunjukkan bahwa ada ego sektoral dan rivalitas dalam institusi penyelenggara pemilu. Ada arogansi yang ditunjukkan oleh salah satu lembaga penyelenggara pemilu. Hal ini tidak baik terutama karena institusi itu bertugas menjaga kewibawaan proses demokrasi.
”Putusan ini sangat disayangkan karena penyelenggara pemilu baru saja selesai melakukan pekerjaan berisiko tinggi pilkada pada masa pandemi yang berlangsung dengan cukup baik. Tetapi, tiba-tiba ada peristiwa yang tidak ada hubungannya dengan itu,” kata Doli.
Rivalitas dan arogansi ini, kata Doli, tentu saja tidak baik bagi publik. Ini akan menjadi catatan bagi Komisi II untuk membenahi pengaturan penyelenggara pemilu. Bagaimana ke depan merekrut orang-orang yang akan mengisi jabatan komisioner KPU, maupun memperbaiki regulasi hubungan antara KPU, Bawaslu, dan DKPP. Institusi penyelenggara pemilu ini harus ditata agar lebih saling mendukung dalam menyelenggarakan pemilu yang baik. Sebab, ketika diberi kewenangan sendiri-sendiri, terutama dalam membuat peraturan memicu arogansi tersendiri.
”Mungkin, perlu kembali dihidupkan gagasan peradilan pemilu,” kata Doli.
Feri Amsari menilai, penataan penyelenggara pemilu mendesak dilakukan. Sebab, jika dibiarkan menjadi tiga lembaga yang memiliki wewenang masing-masing, dan dapat membuat peraturan, sampai kapan pun akan memicu konflik. Saat ini, kondisi penyelenggara pemilu dianggap sudah tidak sehat.