Kebijakan Pemerintah Dianggap Berpihak kepada Kepentingan Oligarki
Kebijakan dimaksud di antaranya kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19, pembubaran sejumlah organisasi kemasyarakatan, dan penerbitan sejumlah regulasi, salah satunya Undang-Undang Cipta Kerja.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kebijakan pemerintah, seperti dalam penanganan pandemi Covid-19, pembubaran sejumlah organisasi kemasyarakatan, dan penerbitan sejumlah regulasi seperti Undang-Undang Cipta Kerja, dinilai telah mengikis demokrasi. Pasalnya, pemerintah dinilai lebih berpihak kepada kepentingan elite oligarki dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Direktur Pusat Demokrasi dan Media Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengatakan, serangkaian bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir, tak lepas disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang mengabaikan kepentingan warga. Kebijakan pemerintah justru berpihak kepada kepentingan elite oligarki dan membuat demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran serius.
”Sejak di bangku sekolah dasar, kita telah belajar betapa pentingnya memelihara kelestarian alam dan hutan kita. Mengapa alam justru kita biarkan semakin rusak? Di sini kita belajar bahwa kemunduran demokrasi bukanlah isu elitis. Manakala kepentingan warga diabaikan dan kebijakan justru berpihak kepada kepentingan elite oligarki,” kata Wijayanto, Senin (18/1/2021).
Pernyataan tersebut diungkapkan Wijayanto dalam diskusi forum 100 ilmuwan sosial politik bertajuk ”Despotisme Baru dan Kemunduran Demokrasi”. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh LP3ES. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati; pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman; serta dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Milda Istiqomah.
Wijayanto menegaskan, keberpihakan kepada elite oligarki demi memuluskan kepentingan ekonomi dan politik dapat dilihat pada berbagai kebijakan yang mengabaikan kepentingan warga.
Kebijakan tersebut di antaranya komunikasi yang buruk dari pemerintah dalam menyampaikan informasi terkait Covid-19. Di awal pandemi Covid-19 muncul, pemerintah justru mengatakan Indonesia kebal Covid-19. Pilkada langsung juga dipaksakan dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19.
Kebijakan lain yang sangat merugikan warga adalah hutan di Kalimantan yang seharusnya dilindungi pemerintah agar terjaga justru digunakan sebagai lahan pertambangan. Akibatnya, bencana alam seperti tanah longsor dan banjir pun terus terjadi.
Airlangga menambahkan, kebijakan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) akibat bentrokan politik, serta pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga menunjukkan demokrasi di Indonesia semakin lemah.
Menurut Airlangga, intervensi negara terhadap kehidupan warga negara juga semakin kuat yang diikuti dengan pengabaian terhadap transparansi kepada publik. Pemerintah mengoordinasikan berbagai macam mekanisme kekuasaan untuk membentuk realitas kelemahan demokrasi.
Hal senada diungkapkan Milda Istiqomah. Ia menyebutkan, beberapa aturan dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah menunjukkan semakin lemahnya demokrasi.
Peraturan tersebut di antaranya UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Antiterorisme, UU No 19/2019 tentang KPK, UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, Rancangan Peraturan Presiden Pelibatan TNI dalam Aksi Terorisme, serta Perpres No 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
Sementara itu, Asfinawati mengkritisi terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Organisasi Kemasyarakatan. Menurut Asfinawati, perppu ini memiliki beberapa masalah. Salah satunya, perppu ini tidak memiliki kriteria ketat tentang organisasi terlarang atau separatis.
”Perppu ini berpotensi menjadi pasal karet yang digunakan untuk memukul orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah dan/atau sedang menuntut keadilan,” katanya.
Menurut Asfinawati, terkikisnya demokrasi juga dapat terlihat dari tidak dilibatkannya rakyat dalam pembangunan skala besar. Pemerintah tidak pernah bertanya kepada rakyat, padahal pembangunan tersebut tidak dikehendaki rakyat. Salah satu contoh pembangunan tersebut adalah proyek infrastruktur untuk industri ”Kereta Api Tebing Tinggi-Kuala Tanjung” yang menjadi bagian dari Jaringan Kereta Api Trans-Sumatera.
Dalam beberapa pidatonya, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmennya untuk menjaga demokrasi. Jokowi memberikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang menjadi pilar demokrasi. Keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Prepres No 7/2021 agar membuat pencegahan dan penanggulangan ekstremisme lebih holistik dan terpadu (Kompas, 18/1/2021).