Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Setia Sampai Akhir
Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo berpulang, Sabtu. Sayidiman dikenal sebagai sosok pejuang sejati, prajurit paripurna, serta seorang intelektual. Bangsa ini kehilangan sosok penting dalam perjalanan TNI hingga kini
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kepergian Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo menjadi kehilangan bagi TNI dan rakyat Indonesia. Sayidiman adalah sosok TNI yang selalu menekankan kedekatan prajurit dengan rakyat sekaligus profesionalisme TNI. Ia tidak saja menjalani naik-turunnya TNI sejak didirikan, tetapi juga bisa melihatnya dengan kacamata seorang intelektual.
Sayidiman wafat pada usia 93 tahun, Sabtu (16/1/2020) di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Kepala RSPAD Letnan Jenderal dr. A. Budi Sulistya mengkonfirmasi jam kepergian Sayidiman pada pukul 16.15 WIB. Ia meninggalkan seorang istri, Haripini Winastuti Kadarisman SH. Sayidiman memiliki lima orang anak, cucu-cucu, dan cicit-cicit.
Sayidiman yang lahir 21 September 1927 di Bojonegoro, Jawa Timur ini adalah anak Bupati Pasuruan. Saat Indonesia merdeka, ia tergerak untuk masuk ke Akademi Militer yang baru didirikan pada 31 Oktober 1945 dengan nama Militaire Academie (MA) di Yogyakarta. Sayidiman adalah angkatan pertama. Dosen Universitas Pertahanan Salim Said bercerita, dari latar belakangnya, Sayidiman berasal dari keluarga intelektual dan cukup berada. Salah satu kakaknya, Soediman Kartohadiprojo kemudian menjadi guru besar hukum di Universitas Indonesia. Akan tetapi, Sayidiman memutuskan untuk masuk akademi militer.
“Supaya bisa bertempur dengan lebih profesional,” kata Salim Said mengutip kata-kata Sayidiman tentang alasannya.
Ada sebuah catatan yang menarik dari Salim Said yang bercerita kalau Sayidiman pernah mengungkapkan kesedihannya terkait angkatan MA 1948. Rupanya, tidak ada seorang pun angkatan pertama MA yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat atau mencapai pangkat bintang empat. Sayidiman pernah mencapai pangkat Letnan Jendral dan menduduki jabatan Deputi KSAD atau saat ini setinggi Wakil KSAD. “Menurut saya karena waktu itu kan berhimpit antara MA dan dari PETA. Jumlah sangat banyak,” kata Salim Said.
Lulus dari MA, Sayidiman lalu masuk ke Siliwangi. Ia ikut long-march Pasukan Siliwangi ke Jawa Barat pada tahun 1948. Ia juga ikut perang mempertahankan kemerdekaan RI. Usai perang, ada kesempatan untuk sekolah hingga ke luar negeri. “Tapi dia merasa utang budi ke rakyat sehingga tetap menjadi perwira di Siliwangi,” cerita Salim Said.
Mereka disebut golden boys of Army saat itu karena memang pintar-pintar (Salim Said)
Sayidiman adalah sosok yang dekat dengan Panglima Komando Pemulihan Kemanan dan Ketertiban (Pangkobkamtib) Jenderal Soemitro. Oleh Soemitro, Sayidiman dan Hasnan Habib diminta untuk membuat dan melaksanakan konsep reformasi ABRI. “Mereka disebut golden boys of Army saat itu karena memang pintar-pintar,” cerita Salim Said.
Akan tetapi, belakangan Soemitro disingkirkan Presiden Soeharto karena peristiwa Malari 1974. Sayidiman yang telah menjadi Wakil KSAD tahun 1973 diganti tidak lama kemudian. “Saya menduga, Pak Sayidiman diganti karena kedekatannya dengan Jenderal Soemitro,” kata Salim.
Usai menjadi Wakil KSAD, Sayidiman menjabat sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), lalu Duta Besar Jepang, dan Anggota MPR pada tahun 1993-1998. Terkait pergantiannya sebagai Wakil KSAD, rupanya Sayidiman tidak banyak berkomentar. Ketua Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) Letjen (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan, banyak pihak hanya menduga-duga kalau hal ini disebabkan karena Sayidiman keberatan TNI AD ditarik ke politik praktis. Tapi Sayidiman diam saja. “Malah kalau kita ada yang bicara jelek tentang Pak Harto, Pak Sayidiman pasti marah,” cerita Kiki.
Pejuang sejati
Kiki melihat sosok Sayidiman sebagai seorang pejuang sejati. Tidak hanya ikut perang kemerdekaan, ikut long march Siliwangi, berkarya sebagai militer aktif, bahkan sampai pensiun Sayidiman juga masih menularkan nilai-nilai perjuangan. Hal senada disampaikan Letjen (Purn) Suryo Prabowo. Suryo melihat Sayidiman sebagai sosok yang menjadi contoh dan mempelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.
“Almarhum adalah tentara profesional yang paripurna, diplomat, pemikir dan pendidik yang tetap aktif menulis buku dan jurnal sampai akhir hayatnya,” kata Suryo.
Sosok Sayidiman adalah seorang pejuang sejati. Tidak hanya ikut perang kemerdekaan, ikut long march Siliwangi, berkarya sebagai militer aktif, bahkan sampai pensiun Sayidiman juga masih menularkan nilai-nilai perjuangan
“Dia tidak punya stasiun akhir pemikiran. Selalu terbuka dan berkembang,” kata Gubernur Lemhanas Letjen (Purn) Agus Widjojo. Intelektualitas Sayidiman menurut Agus jelas terlihat pada kiprahnya untuk selalu berusaha mengembangkan sesuatu, terutama TNI jadi lebih baik.
Walau dekat secara pribadi bahkan dari keluarga, ada dua kali keduanya berbeda paradigma, yaitu soal reformasi TNI dan ketika Agus menjadi komisioner dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan Timor Leste dan memutuskan kesalahan Indonesia lebih banyak dan berat. “Tapi walau berbeda, itu sama sekali tidak mempengaruhi hubungan kami berdua,” kata Agus.
Ada tiga tema besar yang kerap diungkapkan Sayidiman yaitu profesionalisme TNI, kepemimpinan, dan visi atau gagasan untuk memajukan bangsa. Untuk itu, dia tidak segan-segan mengutarakan pendapatnya dengan tegas, persetujuannya tentang Dwi Fungsi ABRI. “Tapi itu semua sama sekali tidak mengurangi kualitas intelektual dan model perwira almarhum,” kata Agus.
Ada tiga tema besar yang kerap diungkapkan Sayidiman yaitu profesionalisme TNI, kepemimpinan, dan visi atau gagasan untuk memajukan bangsa
Hingga saat-saat terakhir sebelum kepergiannya, Sayidiman masih terus berpikir untuk Indonesia. Beberapa hari sebelum natal 2020, ia secara daring dengan PPAD berdiskusi dengan perwakilan masyarakat Papua, termasuk Uskup Jayapura, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil, Rektor Universitas Cendrawasih. Mereka menyampaikan keluhan bahwa banyak tentara yang saat ini dikirim ke Papua tidak siap sehingga banyak terjadi benturan dengan masyarakat. Padahal, di masa lalu ada contoh bagus tentara-tentara yang dekat dengan Papua seperti Brigjen Acub Zaenal.
“Pak Sayidiman seperti biasa dengan suara lantang berkata, tentara yang ke Papua jangan anggap orang Papua sebagai musuh. Mereka kan sebangsa kita. Jangan pendekatannya tempur, tetapi harus teritorial. Kenali budayanya. Beliau memang tidak kenal lelah kalau untuk Indonesia,” kata Kiki.