KPU dan DKPP diminta mengakhiri polemik yang muncul menyusul pemecatan Arief Budiman sebagai Ketua KPU. Sebab, sebagai sesama penyelenggara pemilu, hal tersebut tak elok dilihat oleh masyarakat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang memberhentikan Arief Budiman dari jabatan Ketua Komisi Pemilihan Umum sama sekali tidak berkaitan dengan politik. Karena itu, segala spekulasi terkait dengan persoalan tersebut harus diakhiri.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (16/1/2021), mengatakan, pemberhentian Arief Budiman oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) disebabkan oleh dua hal.
Pertama, Arief mengeluarkan surat pengantar keputusan presiden kepada Evi Novida Ginting, yang dianggap DKPP sebagai pengaktifan kembali Evi sebagai anggota KPU RI. Kedua, Arief mendampingi Evi saat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang dianggap DKPP sebagai bentuk perlawanan terhadap putusan DKPP.
”Bukan oleh sebab-sebab yang lain. Tidak ada kaitan apa pun dengan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019. Jadi, tidak perlu ada polemik, apalagi spekulasi apa pun terkait persoalan ini,” ujar Pramono.
Adapun dalam rapat pleno KPU di Jakarta, Jumat (15/1), anggota KPU RI, Ilham Saputra, dipilih secara aklamasi untuk menjalankan tugas Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPU.
Langkah kemunduran
Sementara itu, di dalam diskusi ”Ada Apa antara KPU dan DKPP”, Sabtu kemarin, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby berpandangan, polemik antara KPU dan DKPP harus segera diakhiri. Sebab, sesama penyelenggara pemilu, hal tersebut tak elok dilihat oleh masyarakat.
Jika polemik ini terus berlanjut, putusan DKPP yang memberhentikan Arief Budiman malah menjadi ajang balas dendam.
Ia pun khawatir, jika polemik ini terus berlanjut, putusan DKPP yang memberhentikan Arief malah menjadi ajang balas dendam. Bersamaan dengan itu, putusan DKPP juga tidak dianggap final dan mengikat lagi karena selalu digugat ke PTUN. Padahal, berdasarkan Pasal 458 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sifat putusan DKPP adalah final dan mengikat.
”Saya khawatir ke depan proses ini terus bergelut di situ. Padahal, kita masih punya banyak pekerjaan rumah dalam membangun demokrasi elektoral, membangun kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu. Kita tidak mau bergelut dan berseteru hanya antarlembaga. Itu langkah kemunduran,” ujar Alwan. Karena itu, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta berharap segala egosektoral harus dihilangkan. Dengan begitu, polemik antara KPU dan DKPP ini tidak terus-menerus menjadi bola liar di tengah masyarakat.
”Agar tak menjadi bola liar, kita harus menghormati semua kelembagaan dengan putusannya, menempatkan pada koridor hukum yang ada. Kalau ada koreksi, koreksi dilakukan lewat koreksi regulasi dan hubungan antarlembaga,” kata Kaka.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, pun berharap agar persoalan yang menyangkut Arief tidak dibenturkan secara kelembagaan. Sebab, putusan DKPP terhadap perorangan, bukan lembaga.
”Tidak pas kalau kelembagaan yang dibawa. Kalau itu dilakukan, orang-orang yang melakukan justru berpotensi melakukan pelanggaran etika,” ucap Hadar.
Saat dikonfirmasi, Arief pun menegaskan bahwa dirinya tidak pernah membawa persoalan ini secara kelembagaan. Jika harus menempuh upaya hukum, ia akan mengajukannya secara pribadi.”KPU yang akan adakan diskusi atau eksaminasi dengan para ahli hukum. Kalau terkait gugatan, tentu itu terkait saya sendiri,” kata Arief.
Ia pun, hingga saat ini, belum memutuskan apakah akan menggugat keputusan KPU yang menjadi tindak lanjut atas putusan DKPP terkait dengan pemberhentian dirinya sebagai ketua KPU. ”Saya akan mendengar pandangan dari para ahli hukum dulu, ya,” ujarnya.