Pelanggaran Kedaulatan melalui Kapal Nirawak Harus Diantisipasi
Sudah banyak negara mengembangkan kapal nirawak sejak 1999. Di sisi lain, rezim hukum laut internasional yang ditegakkan institusi-institusi internasional belum mengatur soal operasi kapal nirawak.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak negara saat ini telah mengembangkan teknologi nirawak, tetapi hukum internasional dan nasional belum mengakomodasi operasinya. Untuk menghindari pelanggaran kedaulatan, Indonesia perlu menyiapkan aturan serta penguatan penanganan dari sisi diplomasi.
”Seharusnya ketika kemarin Menlu China datang, Indonesia bisa menanyakan soal seaglider yang ditemukan di Pulau Selayar (Sulawesi Selatan),” kata pakar hukum laut internasional Hasjim Djalal dalam seminar ”Ancaman Unmanned System terhadap Sishaneg dan Respons Negara dari Aspek Hukum, Strategi, dan Teknologi” yang diadakan Universitas Pertahanan secara daring, Kamis (14/1/2021).
Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengunjungi Indonesia pada 12-13 Januari 2021. Wang menyambangi Sumatera Utara dalam rangkaian kunjungan resminya di Indonesia.
Hasjim mengatakan, kegiatan kapal nirawak seaglider yang ditemukan akhir Desember 2020 tersebut diduga ilegal dan diduga milik China. Oleh karena itu, seharusnya sebagai bentuk itikad baik Indonesia, hal itu ditanyakan kepada China. Jalurnya, menurut mantan duta besar Indonesia untuk PBB ini, bisa lewat atase pertahanan Indonesia di China, Kementerian Luar Negeri RI memanggil duta besar China, atau Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.
”Indonesia perlu meningkatkan kemampuan pengawasan dan penegakan hukum di atas dan di bawah laut,” kata Hasjim.
Senada dengan Hasjim, Hikmahanto Juwana yang merupakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia mengatakan harus ada pesan yang tegas dari Indonesia. ”Yang melakukan tindakan ilegal akan berhadapan dengan Indonesia. Kalau tidak seperti itu, negara kita akan dianggap lemah,” katanya.
Menurut Hikmahanto, seaglider yang ditemukan di Selayar itu tidak dalam konteks lintas damai yang diatur dalam United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS). Ia juga mencatat, seaglider itu ditemukan di wilayah perairan yang masuk ke kedaulatan Indonesia. Dengan demikian, semua kapal asing yang masuk harus minta izin kepada Indonesia.
Hikmahanto menambahkan, tidak bisa ditutup kemungkinan bahwa dugaannya, seaglider itu melakukan tindakan mata-mata. Apalagi, tidak ada identitas apa pun di seaglider tersebut. Tidak ada bendera dan tidak ada nama perusahaan serta tidak ada negara yang mengakui. ”Diplomasi kita harus tegas, jangan yang penting sekadar menenangkan publik Indonesia,” kata Hikmahanto.
Strategi pertahanan
Rektor Universitas Pertahanan Laksamana Madya Amarulla Octavian yang membuka seminar nasional itu mengatakan, sudah banyak negara yang mengembangkan kapal nirawak sejak 1999. Di sisi lain, rezim hukum laut internasional yang ditegakkan oleh institusi-institusi internasional juga belum mengatur soal operasi kapal nirawak.
Octavian menilai, kapal-kapal nirawak ini merupakan bentuk ancaman pada masa damai. Menurut dia, selain membangun hukum, strategi pertahanan laut perlu melibatkan berbagai pemangku kebijakan. Kementerian Pertahanan dan TNI Angkatan Laut perlu mengembangkan teknologi deteksi bawah laut secara keseluruhan, baik intelijen dan di garis pantai, observasi bawah laut, maupun pertahanan yang terintegrasi.
”Gunakan big data maritim dan manfaatkan artificial intelligence,” kata Octavian.
Selain teknologi, yang perlu dipersiapkan adalah regulasi dan sumber daya manusia. Hal ini disampaikan Kepala Dinas Hukum TNI AL Laksma Kresno Buntoro dan mantan Kepala Bakamla Laksdya (Purn) Desi Albert Mamahit.