Memetik Hasil Kecanggihan KRI Rigel
KRI Rigel dengan komandan Letkol Laut (P) Zainal Mutakin dilibatkan cari kotak hitam Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh 9 Januari lalu. Kecanggihan teknologinya seperti mendeteksi benda dengan akurasi tingg di laut dalam.
KRI Rigel 933 dan KRI Spica 934 milik TNI AL merupakan kapal tercanggih di Asia Tenggara untuk kategori kapal survei hidrografi. Investasi teknologi ini berbuah hasil saat kapal itu berperan penting dalam proses pencarian dan evakuasi pada kecelakaan di lautan, termasuk saat pencarian kotak hitam pesawat Sriwijaya Air yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu.
Setelah KRI Spica 934 yang dikomandani Letnan Kolonel (Letkol) Laut (P) Hengky Iriawan menemukan cockpit voice recorder pesawat Lion Air, pertengahan Januari 2019, kini KRI Rigel dengan komandan Letkol Laut (P) Zainal Mutakin berhasil menemukan flight data recorder (FDR), Selasa (12/1/2021).
Pesawat Lion Air JT-610 jatuh di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, pada akhir Oktober 2018. Sementara pesawat Sriwijaya Air SJ-182 jatuh pada 9 Januari 2021 di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta.
Saat dihubungi seusai penemuan FDR pesawat Sriwijaya Air, Zainal mengatakan, pihaknya akan melanjutkan tugas untuk mencari CVR pada Rabu. ”Dalam operasi ini bisa banyak yang on board, kalau kru kapal yang asli memang cuma 47 orang,” kata Zainal.
Baca Juga: Mengenal KRI Rigel dan KRI Spica, Kapal Survei Terbaik di Asia Tenggara
Black box pesawat terdiri dari FDR dan CVR, yang merupakan dua bagian paling penting untuk ditemukan dalam investigasi kecelakaan pesawat terbang. FDR merekam sekitar 300 parameter data penerbangan, seperti kecepatan, ketinggian, atau kerja mesin. Sementara CVR merekam percakapan antara pilot dan kopilot selama berada di kokpit pesawat.
”Dalam operasi ini bisa banyak yang on board, kalau kru kapal yang asli memang cuma 47 orang”
Ketika pesawat jatuh di air, FDR dan CVR akan memancarkan underwater location beacon (ULB). ULB berupa sinyal distress—yang bunyinya tit-tit-tit-tit dengan panjang nada sekitar 10 milidetik yang muncul setiap 1 detik, dengan frekuensi 7-8 kilohertz, volume suara sekitar 160 desibel. ULB hanya bertahan hingga 90 hari walaupun biasanya suaranya terus melemah sejak hari ke-30.
Keyakinan akan kemampuan KRI Rigel ini terlihat beberapa jam setelah informasi hilangnya Sriwijaya Air SJ-182, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyatakan KRI Rigel telah menemukan sinyal pesawat yang hilang kontak itu.
Temuan ini kemudian dikonfirmasi tim penyelam dari TNI AL yang melakukan observasi bawah laut dan menemukan reruntuhan pesawat.
Optimistis.
Hadi juga mengatakan, ia optimistis dengan kecanggihan teknologi KRI Rigel, CVR pesawat akan segera ditemukan. Kepala Staf TNI AL Laksamana Yudo Margono juga menyampaikan keyakinannya atas kinerja anggota TNI AL saat meninjau KRI Rigel. Panglima Komando Armada I pada hari pertama pencarian pesawat juga menunjukkan optimisme.
”Malam ini juga (Sabtu) kami kirim empat KRI, dan KRI Rigel yang mempunyai fungsi multiple purpose. Di mana bisa mengambil foto tiga dimensi di bawah air,” kata Panglima Komando Armada 1 Laksamana Muda Abdul Rasyid Kacong.
Kapal-kapal survei hidrografi TNI AL memang bisa dibilang paling canggih di kawasan Asia Tenggara. Ada beberapa negara yang bahkan tidak memilikinya.
Sementara, negara-negara lain memiliki kapal yang tidak sebaru KRI Rigel dan KRI Spica. Majalah daring hidrografi internasional, Hydro International (19/5/2016) mencatat, dua perusahaan Perancis, SHOM and OCEA, tahun 2013 mendapat kontrak untuk bekerja sama membuat dua kapal survei hidrografi untuk TNI AL, yakni masing-masing sepanjang 60 meter dan terbuat dari aluminium. Kedua kapal itu mulai beroperasi tahun 2015, yaitu KRI Rigel pada 11 Maret dan Spica 17 Oktober.
Fasilitas yang tersedia di kapal tersebut di antaranya dua kapal selam mini untuk survei, yaitu kapal selam nirawak (AUV) dan robot bawah laut (ROV). Dua kapal survei ini juga punya sensor dengan sonar, yaitu single and multibeam echo sounders dan subbottom profiler. Alat-alat itu dipasang di bawah lambung kapal dengan desain tertentu untuk menghindari gangguan sinyal dari turbulensi arus air.
Majalah Hydro International memberi komentar, ”Perlu kami tekankan di sini bahwa Rigel dan Spica diperlengkapi dengan banyak sensor yang punya akurasi dan kemampuan tinggi untuk memenuhi kebutuhan operasi di perairan pantai, laut lepas, dan laut dalam.”
Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Julius Widjojono mengatakan, AUV Rigel bisa dioperasikan hingga kedalaman 1.000 meter dari permukaan laut. Wahana AUV tersebut dapat digunakan untuk memburu ranjau laut, survei jalur laut, peperangan antikapal selam, dan intelijen atau pengumpulan data bawah air. Selain itu, ada sistem konduktivitas pengukur suhu dan tekanan (CTD) yang dalam oseanografi digunakan mengukur salinitas dan suhu serta mengukur kepekatan air sampai jarak 6.000 meter.
”Malam ini juga (Sabtu) kami kirim empat KRI, dan KRI Rigel yang mempunyai fungsi multiple purpose. Di mana bisa mengambil foto tiga dimensi di bawah air”
Mekanisme kerja
Bagaimana KRI Rigel menemukan black box, atau FDR? Komandan Satuan Survei Pusat Hidrografi TNI AL Kolonel Laut (P) Duan Primana Sobaruddin menjelaskan, hal itu dilakukan lewat cara kerja alat yang bernama high precision acoustic positioning system (HIPAP). HIPAP ini difungsikan untuk mendengarkan suara-suara di bawah air. Tentunya, tugas ini tidak mudah mengingat banyak gangguan suara di dalam air, sinyal ULB, baik suara kapal maupun pembiasan gelombang karena arus dan faktor alam lain.
HIPAP bekerja dengan mendeteksi suara dalam sebuah wilayah tertentu. Kemampuannya bisa mendeteksi suara hingga radius sekitar 5.000 meter. Hasil sensor HIPAP ini dihadirkan dalam bentuk peta tiga dimensi. HIPAP memiliki beberapa sensor sekaligus sehingga bisa mendata posisi tiga dimensi karena pengukurannya ada yang secara vertikal ataupun horizontal.
Dalam pencarian SJ-182, tim menentukan dulu daerah pencarian. Informasi dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), daerah itu berukuran 300 meter kali 300 meter. Semakin lama, daerah semakin kecil sehingga Senin (11/1) KSAL Laksamana Yudo Margono menyebutkan wilayah pencarian tinggal 140 meter kali 100 meter.
"Kecanggihan alutsista tentu tidak lepas dari kemampuan manusianya. Akan tetapi, dengan keterbatasan manusia, kecanggihan teknologi menjadi keunggulan yang tak terbantahkan. Oleh karena itu, peralatan TNI AL dan TNI pada umumnya harus dipercanggih dengan pengadaan yang tepat dan efisien karena nanti hasilnya akan dipetik berbagai komponen bangsa"
Setelah HIPAP bisa menentukan wilayah yang lebih spesifik, penyelam diturunkan. Kali ini alat yang digunakan adalah ping locator yang dimiliki KNKT. Alat dengan ukuran relatif kecil ini memiliki tranduser (kepala sensor) sehingga penyelam bisa mengarahkan alat tersebut ke wilayah yang diduga menjadi lokasi keberadaan black box. Alat ping locator ini sama dengan HIPAP yang merupakan sensor suara, tetapi rentang wilayahnya hanya berupa titik.
Baca Juga: Kotak Hitam Sriwijaya Air SJ-182 Ditemukan
Tentunya sebelum proses ini dilakukan, alat-alat lain di KRI Rigel juga digunakan. Sensor dan data tentang arus bawah laut, misalnya, digunakan untuk menghitung kira-kira di mana keberadaan reruntuhan berada dibandingkan koordinat terakhirnya. Multibeam echosounder digunakan untuk mengukur kedalaman. Sementara, dengan side-scan sonar, KRI Rigel bisa memperoleh foto-foto dasar laut yang bentuknya dua dimensi. KRI Rigel juga memiliki magnetometer, yakni alat pendeteksi logam dan anomali magnetik untuk memberi informasi keberadaan logam yang tertimbun hingga puluhan
meter.
Kecanggihan alutsista tentu tidak lepas dari kemampuan manusianya. Akan tetapi, dengan keterbatasan manusia, kecanggihan teknologi menjadi keunggulan yang tak terbantahkan. Oleh karena itu, peralatan TNI AL dan TNI pada umumnya harus dipercanggih dengan pengadaan yang tepat dan efisien karena nanti hasilnya akan dipetik berbagai komponen bangsa. (ONG)