Laporan Dana Kampanye Tidak Transparan Picu Paslon Gelontorkan Dana Maksimal
Apabila paslon transparan dan akuntabel dalam melaporkan dana kampanye, publik ataupun paslon bisa mendapatkan gambaran riil dana kampanye yang diperlukan dalam pilkada. Hal ini bisa menekan biaya politik yang mahal.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaporan dana kampanye pemilihan kepala daerah yang transparan dan akuntabel diyakini mampu mematahkan persepsi biaya politik yang mahal. Laporan dana kampanye yang tidak transparan dan akuntabel cenderung mendorong pasangan calon habis-habisan menggelontorkan dana demi meraih kemenangan.
Kajian Litbang Kompas terhadap Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dari 739 pasangan calon (paslon) yang berkontestasi di 265 daerah pemilihan menunjukkan, rata-rata pasangan melaporkan pengeluaran kampanye Rp 1,4 miliar. Namun, juga terdapat disparitas nominal dana yang dilaporkan di antara pasangan calon.
Peraih suara terbanyak pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran-Edy Pratowo, melaporkan LPPDK Rp 19,3 miliar. Sementara peraih suara terbanyak dalam Pilkada Kalimantan Utara, Zainal Arifin Paliwang-Yansen, melaporkan pengeluaran Rp 1 miliar.
Sementara itu, Bobby Afif Nasution-Aulia Rachman yang meraih suara terbanyak dalam Pilkada Kota Medan, Sumatera Utara, melaporkan pengeluaran dana kampanye Rp 15,4 miliar. Adapun paslon Joko Sutopo-Setyo Sukarno yang meraih suara terbanyak dalam Pilkada Wonogiri, Jawa Tengah, melaporkan dana kampanye Rp 32 juta.
Di sisi lain, data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan cukup tingginya pasangan calon yang tidak patuh dalam pelaporan dana kampanye. Anggota KPU, Evi Novida Ginting Manik, dihubungi dari Jakarta, Selasa (12/1/2021), mengatakan, hasil audit kepatuhan laporan dana kampanye dari 739 paslon menunjukkan, 466 paslon (63,1 persen) dinyatakan patuh dan 273 paslon (36,9 persen) dinyatakan tidak patuh.
Pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 18 paslon dinyatakan patuh dan 7 paslon tidak patuh. Pada pemilihan bupati dan wakil bupati, 386 paslon dinyatakan patuh dan 227 paslon tidak patuh. Adapun pada pemilihan wali kota dan wakil wali kota, 62 paslon dinyatakan patuh dan 39 paslon tidak patuh.
”Alasan ketidakpatuhan di antaranya tidak ditempatkannya sumbangan berupa uang tunai dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK), tidak lengkapnya bukti transaksi pengeluaran, dan data transaksi penerimaan sumbangan yang kurang lengkap,” kata Evi.
Sementara alasan lainnya adalah penyampaian laporan awal dana kampanye (LADK), laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), serta laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) melebihi batas waktu.
Setelah menerima hasil audit dari kantor akuntan publik, KPU setempat yang melaksanakan pemilihan mengumumkan hasil audit dana kampanye paling lambat tiga hari setelah menerima hasil audit. Pengumuman dilakukan di papan pengumuman dan atau laman KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
”Dengan demikian, hasil audit laporan dana kampanye dalam bentuk Laporan Asurans Independen (LAI) telah dipublikasikan oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang melaksanakan Pilkada 2020 serta LAI dimaksud dapat diketahui dan dinilai oleh masyarakat,” tutur Evi.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Muhammad Ichsan Kabullah, menilai, minimnya sanksi kepada paslon yang hasil audit laporan dana kampanyenya dinyatakan tidak patuh turut melanggengkan praktik rendahnya transparansi dan akuntabilitas dari paslon.
Sejak Pilkada 2015, hanya ada satu paslon yang didiskualifikasi terkait laporan dana kampanye, yakni paslon Sabirin Yahya-A Mahyanto Massarappi di Sinjai, Sulawesi Selatan. Sabirin-Mahyanto didiskualifikasi karena terlambat melaporkan dana kampanye.
”Sanksi hanya diberikan ketika paslon terlambat melaporkan dana kampanye dan sumbangan yang melebihi batas yang sudah ditetapkan,” ujarnya.
Menurut Ichsan, audit laporan dana kampanye seharusnya berupa audit investigatif agar bisa memverifikasi antara yang dilaporkan dan temuan di lapangan. Sebab, selama ini audit hanya terbatas pada kepatuhan yang hanya mengecek dokumen-dokumen yang dilampirkan oleh paslon.
Akibatnya, yang terjadi seperti sekarang, kata dia, ada paslon yang laporan dana kampanye sangat tinggi dan ada yang sangat rendah, sepanjang nilainya sesuai dengan yang dilampirkan. Padahal, sangat dimungkinkan ada paslon yang pembiayaan kampanyenya tidak menggunakan rekening khusus dana kampanye sehingga tidak termonitor dalam rekening tersebut.
Padahal, lanjut dia, jika semua paslon transparan dan akuntabel dalam melaporkan dana kampanye, publik ataupun paslon dan parpol bisa mendapatkan gambaran riil dana kampanye yang diperlukan dalam mengikuti kontestasi. Dengan demikian, setiap paslon yang akan mengikuti pilkada mendapat gambaran tentang biaya yang diperlukan agar bisa menang dengan membandingkannya pada pilkada sebelumnya atau di daerah lain.
Jika tidak ada gambaran riil mengenai dana kampanye dalam pilkada, paslon cenderung akan menghabiskan dana yang maksimal untuk menang. Hal ini akhirnya melanggengkan persepsi bahwa biaya politik untuk pilkada mahal. Padahal, jika semua dilaporkan secara transparan dan akuntabel, persepsi itu diyakini akan hilang.
”Selama ini ada kecenderungan dari paslon bahwa semakin besar biaya yang dikeluarkan, maka peluang untuk menang semakin terbuka. Persepsi itu seharusnya bisa hilang ketika pembiayaan kandidat bisa diukur dengan rinci,” ucap Ihsan.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan, survei KPK pada pelaksanaan pilkada menunjukkan ada sumbangan dari pendukung yang tidak dilaporkan dalam laporan dana kampanye. Sumbangan yang diberikan merupakan sumbangan natura, antara lain pentas musik dan pembagian uang untuk pemilih.
”Penyumbang hanya menginformasikan kepada paslon nilai sumbangan yang diberikan, tetapi tidak masuk dalam laporan dana kampanye sehingga ketika disurvei, pengeluaran disebut lebih tinggi daripada laporan,” katanya.
Oleh sebab itu, komponen pelaporan dana kampanye seharusnya tidak hanya berupa uang dan barang, tetapi ditambah dengan komponen sumbangan natura. Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga perlu diberi kewenangan untuk mengawasi rekening dana kampanye agar bisa membandingkan dengan praktik di lapangan dan audit dari KAP.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, harus ada perluasan daya jangkau pelaporan dana kampanye. Sebab, pengaturan pelaporan dana kampanye saat ini belum mencakup seluruh dana yang digunakan untuk kepentingan pemenangan pilkada karena sebatas dana yang keluar saat masa kampanye.
Padahal, secara faktual, banyak dana lain yang dibelanjakan paslon, di antaranya dana operasional saat masa tenang, dana saksi saat pemungutan dan rekapitulasi suara, serta dana untuk pengawalan perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi. ”Dana-dana ilegal yang selama ini menjadi momok politik biaya tinggi justru tidak bisa diakses akuntabilitasnya,” ujarnya.
Selain itu, menurut Titi, mekanisme audit seharusnya memberlakukan audit investigatif untuk memastikan kebenaran pelaporan, bukan sekadar kepatuhan karena mudah diakali dan disepelekan oleh paslon. Apalagi pengawasan dana kampanye belum menjadi prioritas pengawas akibat terlalu banyaknya beban kerja yang dikelola.
”Praktik itu pun terus berlanjut karena pemilih belum menggunakan dana kampanye sebagai instrumen penilaian atas calon yang akan dipilih. Sosialisasi kepada pemilih untuk mencermati kejujuran pelaporan dana kampanye masih rendah. Padahal, laporan dana kampanye yang tidak jujur adalah indikasi awal untuk mengukur perilaku koruptif dari calon kepala daerah dalam mengelola anggaran,” kata Titi.