Revisi UU Otsus Momentum Evaluasi Akar Konflik Papua
Eskalasi konflik di Papua yang melibatkan kelompok kriminal bersenjata dinilai sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada pemerintah. Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua jadi momentum memulihkan kepercayaan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Eskalasi konflik di Papua yang melibatkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) dinilai sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada pemerintah. Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua menjadi momentum untuk melakukan dialog inklusif dengan warga Papua dan memperbaiki kepercayaan kepada pemerintah.
Sebelumnya diberitakan, gangguan keamanan oleh kelompok kriminal bersenjata di Papua semakin intens. Dalam sepekan terakhir, ada empat insiden terjadi, termasuk pembakaran dua fasilitas stasiun pemancar (base transceiver station/BTS) yang menyebabkan jaringan internet dari program Palapa Ring Timur tidak berfungsi. Negara diminta hadir melindungi masyarakat Papua dan membuka ruang dialog untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Papua (Kompas, 12/1/2021).
Ketua Pansus Papua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma mengatakan, Selasa (12/1/2021), akar kekerasan di Papua adalah pertarungan kuasa. Ia merespons kekerasan yang terjadi 9 Januari, yakni ketika Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) membakar 2 BTS sebagai dampak dari pertarungan kuasa antara pemerintah Indonesia dan KKB.
Filep mengatakan, konflik berkepanjangan antara KKB dan TNI seperti tak menemui penyelesaian. ”Coba kita lihat rentang waktunya, sudah berapa lama KKB ini terus eksis? Sangat lama. Negara hampir tiap tahun menurunkan pasukan. Bukannya tambah aman, malah tambah parah,” ucapnya.
Peristiwa pembakaran BTS, menurut Filep, merupakan peringatan agar semua pihak berupaya memperhatikan akar persoalan konflik dan mencari solusinya.
”Kekerasan, atas nama apa pun, harus ditentang oleh semua pihak. Pada tataran yang sama, dialog, atas nama kedamaian Papua, harus segera dilakukan. Fasilitas publik dalam ruang publik pun tidak boleh dijadikan bagian dari kekerasan itu sendiri, baik sebagai sarana maupun obyek kekerasan,” ujarnya.
Filep mengajak semua pihak untuk menanggalkan kepentingan pribadi demi kedamaian Papua, menanggalkan ego sektarianisme, dan menjadikan nilai kemanusiaan semata-mata sebagai pegangan bersama. ”Apakah kekerasan dapat dilawan? Pasti bisa, semuanya harus dimulai dengan niat bahwa Papua bisa damai apabila semua pertarungan kuasa di ruang publik itu dihentikan,” katanya.
Menurut pegiat Centra Initiative dan Direktur Imparsial Al Araf, eskalasi konflik di Papua sebenarnya sudah terlihat sejak 2019. Saat itu, suhu politik di Papua meninggi akibat insiden bendera Merah Putih di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Kini, menjelang berakhirnya dana otsus bagi Papua, konflik kian intens. Ada kekerasan terhadap tentara oleh KKB ataupun warga sipil yang mengalami kekerasan aparat.
Hingga saat ini, proses hukum dalam peristiwa terbunuhnya pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, misalnya, belum selesai. Ada anggapan, pelaku akan mendapatkan impunitas ,seperti kasus-kasus kekerasan lain di Papua. Lingkaran kekerasan tak berujung ini yang memicu trauma masyarakat Papua. Apalagi, trauma itu sudah berlangsung lama sejak era Orde Lama dengan diberlakukannya daerah operasi militer (DOM).
”Realitas konflik di Papua itu sudah cukup panjang. Dan selama ini, belum ada penyelesaian konflik yang komprehensif, terutama dalam bidang perlindungan HAM. Penyelesaian konflik lebih menggunakan pendekatan ekonomi, infrastruktur, dan keamanan,” kata Al Araf.
Kebijakan sentralistik yang selama ini diambil pemerintah pusat tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat Papua. Konflik bersenjata di Papua tidak semata terjadi karena masalah ekonomi. Ada persoalan lain yang lebih mendasar, yaitu mengobati luka trauma akibat konflik berkepanjangan di Papua.
Melihat realitas itu, Araf mengatakan, wajar saja jika masyarakat Papua kini terbelah dalam menyikapi isu perpanjangan otsus. Tak sedikit rakyat Papua yang menolak perpanjangan karena dianggap tak membawa perubahan signifikan bagi Papua.
”Revisi UU Otsus ini seharusnya bisa menjadi momentum membuka dialog bersama warga Papua dalam bingkai keindonesiaan. Kebijakan yang selama ini absen, seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Papua serta penyelesaian hukum masalah HAM di Papua, harus diwujudkan karena ada di UU Otsus,” kata Araf.
Sementara itu, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, menambahkan, jangan sampai ada simplifikasi akar persoalan kekerasan di Papua. Papua bukanlah daerah konflik ideologi separatisme dan nasionalisme saja. Namun, di Papua juga ada konflik sumber daya alam, penguasaan ekonomi oleh pendatang, hingga trauma kekerasan pada masa lalu.
Masalah ini seharusnya dapat dievaluasi secara komprehensif saat revisi UU Otsus. Apalagi, UU Otsus secara khusus mengamanatkan evaluasi komprehensif program otsus Papua. Namun, selama ini evaluasi lebih bersifat sektoral.
”Jangan sampai masalah Papua ini hanya dilihat secara pragmatis dari besarnya anggaran untuk warga Papua. Apakah selama ini sudah ada evaluasi menyeluruh bagaimana efektivitas anggaran tersebut? Tentu saja harus melibatkan elemen dari orang asli Papua,” kata Elisabeth.
Oleh karena itu, revisi UU Otsus Papua seharusnya menjadi momentum untuk musyawarah yang inklusif. Dua puluh tahun otsus harus dievaluasi supaya ke depan lebih optimal. Berbagai kebijakan yang telah diamanatkan di UU Otsus, seperti pembentukan KKR maupun usulan partai politik lokal, harus dimusyawarahkan. Jangan sampai perpanjangan otsus hanya diputuskan secara sentralistik dan sepihak oleh pemerintah pusat.
”Mewujudkan KKR itu sangat penting dalam rangka mengembalikan kepercayaan publik Papua terhadap pemerintah. Demikian juga soal usulan parpol lokal, ini perlu dicoba agar masyarakat Papua lebih merasa terwakili aspirasinya,” terang Adriana.
Al Araf mengatakan, Indonesia memiliki modal sosial yang besar dalam rekonsiliasi konflik. Pemerintah pernah mengatasi konflik di Ambon, Aceh, dan Poso dengan cara damai. Salah satunya dengan dialog inklusif. Kompleksitas polarisasi kelompok di internal Papua tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindari, apalagi menutup jalan dialog.
Pendekatan keamanan, seperti menempatkan aparat polisi dan TNI secara berlebihan, juga perlu dievaluasi. Ke depan, pendekatannya harus lebih humanis.