Yuk “Ngaji” yang “Adem” di Medsos…
Di masa pandemi, kian banyak ulama yang memanfaatkan dunia digital untuk mengaji dan mengkaji kitab kuning sekaligus menyebarkan Islam moderat. Narasi ini dibutuhkan untuk memutus rantai kekerasan dan intoleransi
Media sosial ibarat dua mata pisau. Satu sisi bisa sangat tajam dan melukai, tetapi di sisi lain, dengan karakternya yang interaktif, medsos dapat bermanfaat untuk mengupas dan mengkaji beberapa hal secara mendalam, dan dengan jangkauan yang begitu masif. Dalam makna yang positif itu, beberapa kiai atau ulama moderat di Tanah Air mencoba medsos sebagai sarana untuk menyeru pada kebaikan dan hikmah hidup.
Fenemona penggunaan medsos untuk berdakwah atau menyampaikan pada kebaikan ini kian marak di masa pandemi. Para ulama yang biasanya mengaji langsung dengan diikuti oleh ribuan jamaah di pondok pesantren atau masjid, kini mengubah pola kegiatannya. Membaca dan mengaji kitab kini dilakukan secara online. Beberapa kanal medsos secara rutin menyiarkan kajian dari ulama moderat di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Akun 164 channel, misalnya, rutin menyiarkan secara langsung kajian-kajian kitab kuning yang dilakukan oleh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Miftachul Akhyar di facebook, youtube, instagram, maupun twitter. Bahkan, kajian daring itu telah sampai pertemuan ke-110, 25 Desember lalu.
Disiarkan langsung dari Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya, Kiai Miftach menjabarkan satu per satu makna kata yang tercantum dalam Kitab Al Hikam, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari. Kitab Al Hikam itu merupakan kitab kuning yang menjadi salah satu teks-teks rujukan dalam pelajaran agama di pesantren, terutama di kalangan NU.
Baca juga: Islam Moderat Topang Indonesia Maju
Fenomena mengaji dan mengkaji kitab serta Al-Quran yang kini makin ramai di kalangan NU dan Muhammadiyah disambut gembira kalangan milenial. Sejak lama ada keluhan tentang minimnya narasi alternatif Islam yang lebih merepresentasikan Islam moderat atau wasatiyah yang merupakan karakter Islam di Nusantara. Narasi yang berimbang diharapkan dapat memutus rantai kekerasan dan intoleransi yang didasari oleh pemahaman ideologi yang ekstrem.
“Tentu ini membuat kami lega, karena para kiai NU mulai banyak yang mengisi konten medsos. Bagi kami anak-anak muda, ini sangat bermanfaat, karena kami mendapatkan alternatif dari narasi keislaman lainnya yang cenderung keras. Ditambah lagi, beliau-beliau itu adalah tokoh yang jelas sanad keilmuannya, bukan ujug-ujug jadi ustadz,” ungkap Anty Husniwati (27), lulusan program magister Manajemen Pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Sabtu (2/1/2020).
Sejak lama ada keluhan tentang minimnya narasi alternatif Islam yang lebih merepresentasikan Islam moderat atau wasatiyah yang merupakan karakter Islam di Nusantara
Beberapa kajian lain juga dipandang menarik, seperti kajian Ihya Ulumuddin karya Al Ghazali yang dibawakan oleh KH Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil. Sejak 2017, Ulil mengampu kajian itu, dan setiap siarannya dilihat ratusan orang, bahkan pernah mencapai 1.000 orang dalam sekali tayangan. Kajian Ihya itu disiarkan melalui halaman fanpage facebook maupun kanal Youtube. Total, ada sekitar 30.000 pengikutnya, baik di akun facebook atau youtube, yang dapat mengakses kajian tersebut.
Dalam kajian Ihya, 24 Desember 2020, Ulil antara lain mengupas bahaya berbohong. Berbohong itu dijelaskan memiliki aspek individu maupun sosial. Contoh sikap berbohong itu ialah korupsi, yang antara lain ialah tidak menyampaikan suatu laporan keuangan secara benar. Tindakan yang semacam itu memiliki aspek sosial yang merugikan. Oleh karena itu, berbohong memiliki bahaya yang sangat besar, karena dapat merugikan orang banyak. Terlebih lagi jika orang yang berbohong itu adalah pejabat publik.
Anty mengatakan, kajian-kajian yang dibawakan oleh ulama NU cenderung dalam, dan kerap kali membutuhkan pemahaman keagamaan dasar untuk dapat mengikuti kajian-kajian dari para ulama itu. Namun, beberapa ulama sudah mulai mengemas kajiannya menjadi lebih ringan, dan menyasar kebutuhan riil anak-anak muda.
“Misalnya, ketika anak-anak muda ini menghadapi kegalauan tertentu, pasti cepat-cepat googling mencari hukum atau solusinya. Jika solusi yang ditemukan itu bercorak keras, tentu ini akan berdampak pada mereka. Padahal, obat galau itu kan bisa sholawat, memperbanyak istighfar, tidak perlu lari ke hal lain, apalagi menumbuhkan kemarahan tertentu,” katanya.
Anak-anak muda NU antara lain mengenal kajian KH Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dari Rembang, Gus Miftah dari Yogyakarta, dan Gus Muwafiq dari Yogyakarta. Menurut Anty, hadirnya para da’i itu memberikan harapan, karena selama ini narasi keislaman di internet cenderung berperspektif keras. Para penceramah yang dominan di internet kerap mengeluarkan kata-kata tajam, menuduh kafir orang lain, sampai ancaman pembunuhan dan kekerasan. Sikap yang demikian itu berlawanan dengan karakter Islam sebagai rahmatan lilalamin.
Alternatif kajian juga ditawarkan melalui kanal UFK, milik Fathurrahman Kamal, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Melalui kanal tersebut, Fathurrahman mengkaji dan menafsirkan Al Quran dengan pendekatan ilmiah dan sudut pandang historisitas.
Baca juga: Islam Sejatinya Agama Inklusif
Dalam salah satu kajiannya, ketika menafsirkan Surat Al Takwir yang mengisahkan kiamat, Fathurrahman menyebutkan bagaimana bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanyai oleh Tuhan. Hal itu dimaknai secara simbolik sebagai sikap Sang Pencipta yang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Bahkan, sikap buruk kepada bayi perempuan itu dipertanyakan.
“Islam meletakkan perempuan secara luar biasa. Laki dan perempuan setara, hanya ada perbedaan secara lahiriah, tetapi secara batiniah, Allah tidak membedakan,” ujarnya.
Pandemi mempercepat tumbuhnya kesadaran tantang kekuatan digital di kalangan ulama. Pandemi memperkokoh visi ke depan bahwa teknologi itu bagian dari proses pendidikan masyarakat yang lebih luas
Pandemi memicu kesadaran
Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU dan Direktur alif.id Hamzah Sahal mengatakan, pandemi mempercepat tumbuhnya kesadaran tantang kekuatan digital di kalangan ulama. Pandemi memperkokoh visi ke depan bahwa teknologi itu bagian dari proses pendidikan masyarakat yang lebih luas.
“Dengan hadirnya ulama yang lebih bervariasi di medsos, sekarang masyarakat bisa memilih mana konten-konten yang lebih berwarna, dan tidak seragam. Berbeda misalnya dengan kondisi lima tahun lalu ketika narasi begitu dominan dikuasai oleh kelompok tertentu. Sekarang, dengan adanya perkembangan teknologi yang dipercepat dengan adanya pandemi, membuat pengajian online itu bukan hanya alternatif, melainkan arus utama,” katanya.
Hamzah mengatakan, tantangannya saat ini ialah bagaimana membuat dakwah-dakwah moderat itu dapat diterima luas. Keramahan pada perbedaan atau khilafiah saat mengaji virtual itu betul-betul diuji. Sebab, sifat virtual tanpa batas mazhab keagamaan, budaya, tradisi, bahasa.
“Boleh saja menonjolkan ke-NU-an misalnya, namun harus disampaikan dengan hati-hati, menerapkan etika dan harus sesuatu dengan tradisi keislaman, ukhuwah islamiyah harus dikedepankan. Jika tidak, kita akan terjebak pada perdebatan tidak perlu. Di sini, sikap tawasut atau moderat baik dalam bahasa, retorika, hingga pandangan ialah jalan terbaik dalam mengaji secara virtual,” katanya.
Tantangan lainnya ialah audiens millennial dan kaum terdidik makin rasional, demikian pula dalam soal agama. Nalar agama harus menyesuaikan, misalnya soal sains, kesehatan, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. “Substansi ajaran agama harus menonjol agar titik persamaan lebih banyak dijumpai. Jika pun ada yang berbeda, ya itu tadi harus disampaikan hati-hati,” katanya.
Kecenderungan menerima tafsir dan pemahaman yang sesuai nalar itu dibenarkan oleh Abyan Daffa Ulaa (22), mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang selama ini merasakan kekosongan tafsir Quran yang mengedepankan nalar. “Kadang dalam berdakwah itu beberapa ustadz tidak menyertakan penjelasan yang sesuai dengan nalar kami. Bau-bau agama itu memang sulit untuk dijelaskan dengan logika, seperti misalnya apakah ada surga dan neraka. Tetapi dengan penjelasan yang scientific dan dapat dicerna oleh nalar manusia, itu dapat lebih diterima,” kata pemuda yang kerap mengikuti pengajian Fathurrahman itu.
Abyan merindukan dakwah yang tidak melulu soal halal-haram dan perdebatan aliran pemikiran. Sebab, saat ini yang dibutuhkan anak-anak muda ialah pemaknaan kitab yang menjadi penjuru bagi kemajuan kehidupan diri sendiri, lingkungan, maupun bangsa dan negara.
“Kalau pendapat orang berbeda ya silahkan dihargai, dan kalau kita punya pendapat ya silahkan disampaikan dengan santun, dan tidak saling menyalahkan. Apa gunanya berdakwah dengan cara kasar,” ujarnya.
Muhammadiyah memandang dunia digital sebagai sebuah realitas yang harus disikapi dan diisi secara positif
Realitas kehidupan
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, Muhammadiyah memandang dunia digital sebagai sebuah realitas yang harus disikapi dan diisi secara positif. “Memang Muhammadiyah agak terlambat mengisi dunia digital. Selama ini, Muhammadiyah masih mengandalkan dan mengutamakan dakwah tradisional berbasis komunitas. Keterlambatan itulah yang membuat Muhammadiyah tidak atau kurang populer di dunia maya,” ujarnya.
Sadar akan pentingnya dunia digital, Persyarikatan Muhammadiyah dan para tokoh mulai aktif mengisi konten di dunia maya. Majelis Tabligh dan Majelis Tarjih PP Muhamamdiyah mulai mengunggah ceramah dan materi keagamaan melalui situs PP Muhammadiyah atau masing-masing majelis. “Perlahan-lahan laman dan media yang dikelola Muhammadiyah mulai mewarnai dan menjadi referensi umat,” ujarnya.
Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah NU (LDNU) Saifullah Amin mengatakan, dakwah melalui medsos merupakan salah satu prioritas, terutama di kalangan milenial di era digital. Ada tiga hal yang dinilai sangat menentukan penerimaan terhadap dakwah Islam yang rahmah atau moderat, yakni disampaikan secara menarik, kiai atau pendakwah memiliki sosok yang kuat, dan dakwah itu dilakukan secara kontinyu.
Ada tiga hal yang dinilai sangat menentukan penerimaan terhadap dakwah Islam yang rahmah atau moderat, yakni disampaikan secara menarik, kiai atau pendakwah memiliki sosok yang kuat, dan dakwah itu dilakukan secara kontinyu
Pendakwah sebagai komunikator, menurut Saifullah, haruslah orang yang benar-benar memahami materi yang disampaikannya, sehingga pesan dapat tersampaikan dengan benar. Pesan-pesan itu pun haruslah berisi tentang nilai-nilai utama dalam Islam yang mengajak kepada persaudaraan, dan selalu menyerukan kebaikan.
“NU juga menggalakkan dan mendorong kader-kader muda untuk memenuhi layar kaca media, sehingga media tidak hanya didominasi oleh ajakan-ajakan Islam yang kurang sesuai dengan iklim ke-Indonesiaan dan iklim ke-nusantaraan,” ujarnya.
Dengan membangun narasi Islam rahmah di medsos, generasi muda diharapkan memiliki pemahaman yang lebih toleran dan mencerminkan ke-Indonesiaan.