Pergantian Kapolri Diharapkan Jadi Momentum Perbaikan Institusi
Pergantian Kepala Polri diharapkan dijadikan sebagai titik tolak untuk membenahi institusi kepolisian. Polri harus dapat melanjutkan reformasi kultural kelembagaan dengan sebaik-baiknya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pergantian tampuk kepemimpinan puncak Polri diharapkan menjadi momentum untuk perbaikan institusi kepolisian. Polri diminta untuk menjadi aparat penegak hukum yang mengedepankan perlindungan hak asasi manusia.
Harapan tersebut disampaikan perwakilan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Minggu (10/1/2021). Sepanjang 2020, Polri dinilai melakukan penegakan hukum yang kurang mengedepankan perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia (HAM). Polri yang diharapkan menjadi institusi penjaga keamanan yang mengedepankan HAM, justru melakukan kekerasan baik secara verbal maupun nonverbal. Hal itu terlihat baik dalam bentuk kebijakan tertulis, maupun tindakan di lapangan.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan, ada beberapa catatan kritis bagi Polri semasa kepemimpinan Jenderal Idham Azis. Pertama, Polri dinilai banyak menggunakan kebijakan diskresi sewenang-wenang. Diskresi memang dikeluarkan untuk mengisi kekosongan hukum. Namun, akuntabilitas dari penggunaan diskresi itu tidak disertai parameter yang terukur.
Akibatnya, kata dia, diskresi justru membatasi kebebasan sipil. Selain itu, diskresi juga dianggap melangkahi kewenangan DPR untuk membuat kebijakan yang mengatur secara umum dan mengikat.
Kebijakan pertama yang disoroti KontraS adalah Surat Telegram Nomor: ST/1100/IV.HUK.7.1./2020 tentang Penanganan Kejahatan di Ruang Siber. Peraturan itu menghidupkan lagi aturan mengenai penghinaan terhadap presiden yang sebelumnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Kebijakan tersebut menjadi lebih kontroversial karena dikeluarkan dalam konteks penanganan pandemi Covid-19. Ini seolah-olah menjadi upaya represif untuk membatasi kebijakan berekspresi masyarakat. Terutama kepada mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
“Polri melihat kritik kepada pemerintah sebagai ancaman keamanan alih-alih fenomena demokratis,” kata Fatia.
Polri juga mengeluarkan Surat Telegram STR/645/X/PAM.3.3/2020 tentang antisipasi unjuk rasa dan mogok kerja buruh pada 6-8 Oktober 2020. Surat telegram tersebut berkategori rahasia. Polri mengeluarkan instruksi di antarnya untuk tidak memberikan izin kegiatan, aksi unjuk rasa, hingga kontra narasi terhadap isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah.
Salah satunya adalah penangkapan terhadap warga di Makassar, Sulawesi Selatan yang dianggap mengunggah konten kabar bohong (hoaks) tentang UU Cipta Kerja. Padahal, saat itu, draf UU yang disahkan di DPR masih beredar dengan berbagai versi. Parameter yang digunakan oleh Polri untuk menyatakan bahwa konten tersebut hoaks dinilai tak berdasar.
Menurut dia, hal yang paling baru adalah keluarnya Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol, dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Maklumat tersebut berisi larangan penggunaan simbol, dan atribut FPI. Termasuk mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI melalui website dan media sosial.
“Seruan ini mengandung sifat mengatur yang sebenarnya bukan termasuk dalam wewenang Polri sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan,” kata Fatia.
Menurut KontraS, berbagai kebijakan diskresi Polri itu justru kian mengerdilkan kebebasan sipil. Selain itu, juga menempatkan Polri tidak hanya sebagai aparat penegak hukum yang menjalankan perintah UU, tetapi ikut merumuskan aturan yang mengikat masyarakat umum. Itu dinilai telah melenceng jauh dari wewenang polisi yang diatur dalam UU 2/2002 tentang Kepolisian.
Hal lain yang menonjol, kata dia, adalah sikap represif Polri dalam penanganan aksi massa. Ketika banyak aksi massa menolak RUU atau pengesahan UU, Polri lebih mengedepankan sikap represif. Tindakan represif itu terutama tercermin dalam aksi penolakan revisi UU KPK, dan UU Cipta Kerja. Kekerasan tidak hanya dialami oleh demonstran, tetapi juga jurnalis. Bahkan, jurnalis diminta menyita, menghapus, dokumentasinya yang bertentangan dengan kebebasan pers.
Di dunia maya, Polri juga dinilai rentan menggunakan sumber dayanya untuk memberangus kebebasan berekspresi di ranah digital. Polri melakukan tafsir sepihak terhadap konten yang dianggap sebagai penghinaan, berita bohong, dengan penegakan hukum pidana. Selama tahun 2020, KontraS mencatat setidaknya ada 20 peristiwa pemberangusan kebebasan berekspresi di ranah digital melalui tindakan pemidaaan. Parameter dalam penindakan itu pun kabur antara kritik, keluhan/amarah, ujaran kebencian, fitnah, terutama yang ditujukan kepada pemerintah atau institusi Polri sendiri.
Fatia berharap, hal-hal tersebut harus menjadi catatan krusial bagi Kapolri baru untuk membenahi institusi Polri. Dalam melakukan tugasnya, Polri harus bisa bersikap sebagai penjaga keamanan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Oleh karena itu, anggota Polri juga harus dibekali pada pemahaman dan perlidungan HAM. Aturan-aturan yang membatasi kebebasan sipil harus dicabut karena kewenangan tersebut ada pada pembentuk UU, bukan Polri.
“Polri juga diharapkan tegas memproses hukum anggotanya yang melakukan pelanggaran berupa penggunaan kekerasan secara tidak selaras dengan prinsip-prinsip HAM universal. Karena itu sudah diatur dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009,” terang Fatia.
Polri juga diharapkan memberikan panduan yang jelas bagi seluruh jajarannya dalam hal penindakan hukum kebebasan berekspresi. Parameter ekspresi harus didasarkan pada standar hukum internasional tentang HAM. Jangan sampai, ada disparitas pemidanaan terhadap orang-orang yang mengeluarkan ekspresinya.
“Untuk bisa melakukan pembenahan institusi Polri, mereka harus terbuka dan mampu menanggapi kritik dari pihak manapun sebagai bentuk kontrol masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Kapolri baru perlu bersifat imperatif, agar Polri bisa menjalankan tugasnya secara lebih obyektif, profesional, menjalankan tugas secara humanis dan berdasar prinsip rule of law,” kata Fatia.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan, sepakat harus ada revitalisasi internal dan pembenahan kultural di institusi Polri. Pada masa Orde Lama, Polri yang menyatu dengan TNI menciptakan budaya yang militeristik. Kini, setelah dua dasawarsa reformasi, Polri harus berubah menjadi institusi yang lebih humanis.
Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Pelaksanaan Tugas Polri misalnya harus menjadi pedoman, dipahami, dan dilaksanakan oleh masing-masing personel Polri.
“Tantangan ke depan adalah bagaimana Polri dapat melanjutkan reformasi kultural Polri dengan sebaik-baiknya. Kekerasan berlebihan, hingga gaya hidup mewah, dan arogansi anggota Polri harus dikoreksi. Kapolri harus bisa memberikan reward and punishment kepada anak buahnya,” kata Poengky.
Tantangan Polri ke depan, kata Poengky, adalah bagaimana menjaga ketertiban dan keamanan di tengah pandemi Covid-19 dan kelesuan ekonomi. Polri juga harus bisa melayani, mengayomi, melindungi masyarakat, dan menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya.
Polri juga masih harus berfokus pada penegakan hukum terhadap kejahatan konvensional, kejahatan transnasional seperti jaringan narkoba dan terorisme, kejahatan siber, dan tantangan terhadap intoleransi dan kelompok radikal.
“Program-program yang sudah baik dan dilakukan Kapolri terdahulu agar tetap dilanjutkan agar berkesinambungan,” kata Poengky.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD selaku Ketua Kompolnas mengatakan ada lima calon kapolri yang diajukan kepada presiden. Lima nama itu adalah Wakil Kapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Boy Rafli Amar, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo, Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komjen Agus Andrianto, serta Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Komjen Arief Sulistyanto.
Kelimanya dianggap telah memenuhi syarat profesionalitas, loyalitas, dan jam terbang. Setelah disampaikan kepada presiden, selanjutnya presiden akan menyampaikan usulannya kepada DPR untuk dimintakan pertimbangan.