Kuasa Hukum Minta Kasus Penembakan Anggota FPI Dibawa ke Pengadilan HAM
Hasil investigasi Komnas HAM, khususnya terkait dengan tewasnya empat anggota laskar khusus FPI, perlu ditindaklanjuti. Hal ini penting untuk memastikan apakah terjadi ”unlawfull killing” dalam peristiwa tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Tim advokasi dari laskar Front Pembela Islam menyesalkan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang berhenti pada proses peradilan pidana. Jika ditemukan pelanggaran HAM berat, seharusnya pelaku diproses di peradilan HAM.
Sebelumnya, Komnas HAM hanya merekomendasikan agar kasus bentrokan antara polisi dan enam anggota laskar FPI pada 7 Desember 2020 di Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50 dilanjutkan ke proses penegakan hukum.
Padahal, dari hasil penyelidikan Komnas HAM, tewasnya empat dari enam anggota FPI tersebut terjadi karena polisi tidak hati-hati atau ada indikasi pembunuhan di luar proses hukum (unlawfull killing) yang merupakan bentuk dari pelanggaran HAM.
Salah satu dari tim advokasi korban, Hariadi Nasution, di Jakarta, Sabtu (9/1/2021), mengatakan, jika konsisten dengan konstruksi pelanggaran HAM, seharusnya Komnas HAM merekomendasikan proses penyelesaian kasus tersebut ditempuh melalui proses peradilan HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
”Karena, menurut kami, peristiwa tragedi pada 7 Desember 2020 yang terjadi di Karawang adalah jelas pelanggaran HAM berat,” ujar Hariadi.
Baca Juga: Kasus Tewasnya Anggota Laskar FPI, Komnas HAM: Polisi Diduga Melanggar HAM
Penting ditindaklanjuti
Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil mendukung sepenuhnya hasil investigasi Komnas HAM. Hasil investigasi tersebut diharapkan dapat membuka tabir kebenaran materil dan formil atas insiden kematian enam anggota FPI.
Adapun Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil terdiri dari Imparsial, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), ELSAM, Human Rights Working Group (HRWG), The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Setara Institute, PIL-Net Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Institut Demokrasi dan Keamanan (IDeKa), serta Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Hasil investigasi Komnas HAM diharapkan dapat membuka tabir kebenaran materil dan formil atas insiden kematian enam anggota FPI.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyampaikan, selama proses investigasi, Komnas HAM telah mencari berbagai bukti, menelusuri beragam informasi, meminta keterangan saksi-saksi terkait insiden bentrok Polri dan enam anggota FPI itu. Bahkan, Komnas HAM juga melibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil secara kontinu untuk mendapatkan pertimbangan yang holistik.
”Komnas HAM secara khusus mengikutsertakan masyarakat sipil sebagai pengamat independen dalam proses uji laboratorium forensik terhadap berbagai bukti yang terkait dalam proses investigasi,” tutur Gufron.
Baca Juga: Pemerintah Resmi Larang Aktivitas FPI
Gufron menilai proses investigasi Komnas HAM sudah sejalan dengan tugas dan kewenangan Komnas HAM. Investigasi juga berjalan dengan terbuka dan informatif sehingga hasil investigasi Komnas HAM atas peristiwa Jakarta-Cikampek dapat dipertanggungjawabkan independensinya, serta memenuhi unsur standar dalam kerangka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
”Laporan Komnas HAM menjadi penting dalam upaya mengurai dan menemukan titik terang peristiwa yang terjadi di tengah berbagai kesimpangsiuran informasi yang berkembang di publik, serta mengungkap fakta-fakta seputar peristiwa secara lebih obyektif, transparan, dan akuntabel,” tutur Gufron.
Laporan Komnas HAM menjadi penting dalam upaya mengurai dan menemukan titik terang peristiwa yang terjadi di tengah berbagai kesimpangsiuran informasi yang berkembang di publik, serta mengungkap fakta-fakta seputar peristiwa secara lebih obyektif, transparan dan akuntabel.
Namun, lanjut Gufron, proses pengungkapan dan akuntabilitas harus segera dilakukan, mulai dari penembakan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap anggota FPI, dugaan kepemilikan senjata oleh anggota FPI, serta rangkaian peristiwa yang mengawalinya.
Setiap tindakan yang diambil dan dilakukan aparat kepolisian, meski dalam proses penegakan hukum sekalipun, harus sepenuhnya sesuai dengan standar HAM. Karena itu, setiap tindakan harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan, prosedur tetap internal kepolisian, serta harus terukur dan dapat dipertanggungjawabkan, termasuk dalam penggunaan senjata api.
Selain itu, dugaan kepemilikan dua senjata api oleh anggota FPI, sebagaimana ditemukan, baik oleh kepolisian maupun hasil investigasi Komnas HAM, perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut, termasuk asal-usul dan sumber senjata api tersebut.
”Dugaan kepemilikan senjata api oleh anggota laskar FPI merupakan salah satu masalah yang harus diungkap, selain juga rangkaian peristiwa yang melatarbelakangi dan mengawali terjadinya insiden tersebut. Temuan Komnas HAM, termasuk uji balistik yang telah dilakukan, dapat dijadikan petunjuk awal menemukan fakta-fakta lebih lanjut,” kata Gufron.
Pembenahan internal
Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil juga meminta kepada pemerintah, khususnya kepolisian, untuk menindaklanjuti hasil investigasi dan rekomendasi Komnas HAM secara transparan dan akuntabel.
Pembenahan prosedur tetap internal kepolisian dibutuhkan untuk memastikan kerja-kerja kepolisian ke depan sejalan dengan standar HAM.
Pembenahan prosedur tetap internal kepolisian, menurut Gufron, juga dibutuhkan. Hal ini untuk memastikan kerja-kerja kepolisian ke depan sejalan dengan standar HAM.
”Mekanisme pengawasan internal kepolisian juga perlu diperkuat, terutama pengawasan dari dalam institusi kepolisian ataupun pelibatan dari Komisi Kepolisian Nasional, guna memastikan ketepatan prosedur dari semua kerja-kerja kepolisian,” tutur Gufron.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, sependapat dengan Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil agar hasil investigasi Komnas HAM dijadikan sebagai bahan penyelidikan lebih lanjut terhadap peristiwa penembakan terhadap enam anggota FPI ini.
Temuan Komnas HAM, menurut Taufik, sebenarnya masih selaras dengan rekonstruksi yang dilakukan kepolisian. Namun, secara khusus, penembakan empat orang di dalam mobil mesti didalami oleh pihak kepolisian dengan penyelidikan lanjutan.
”Ini harus didalami lagi mengenai bagaimana peristiwa yang sebenarnya terjadi dengan menggunakan metode scientific investigation,” ucap Taufik.
Karena itu, kata Taufik, pihak kepolisian harus melakukan pengujian lanjutan dengan mengkaji hasil otopsi terhadap tubuh empat korban tersebut, serta mengkaji hasil uji balistik.
Ia berharap koordinasi antara pihak kepolisian dan Komnas HAM dapat dilanjutkan dan dapat berjalan dengan baik demi memastikan terang dan jelasnya peristiwa ini.
”Kejelasan mengenai peristiwa penembakan empat orang di dalam mobil inilah yang dibutuhkan untuk memastikan apakah terdapat unlawfull killing dalam peristiwa tersebut,” ujar Taufik.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengungkapkan, Polri telah membentuk tim khusus (Timsus) yang terdiri dari Bareskrim Polri serta Divisi Hukum Polri dan Divisi Propam Polri untuk menyelidiki temuan Komnas HAM soal dugaan pelanggaran HAM anggota polisi kepada empat anggota laskar FPI.
Argo menyebut, tim khusus tersebut akan menindaklanjuti temuan Komnas HAM secara profesional dan terbuka kepada masyarakat.
Polri telah membentuk tim khusus (timsus) yang terdiri dari Bareskrim Polri serta Divisi Hukum Polri dan Divisi Propam Polri untuk menyelidiki temuan Komnas HAM.
Ia menambahkan, hasil penyelidikan dan investigasi yang disampaikan Komnas HAM antara lain menyebutkan bahwa laskar FPI membawa senjata api yang dilarang oleh undang-undang. Bahkan, kata Argo, terjadi aksi saling tembak dan benturan fisik karena laskar FPI melawan petugas.
”Menurut Komnas HAM, penembakan yang dilakukan oleh Polri dilakukan oleh petugas lapangan dan tanpa perintah atasan sehingga Komnas HAM merekomendasikan dibawa ke peradilan pidana sesuai UU Nomor 39 Tahun 1999, bukan ke pengadilan HAM menurut UU Nomor 26 Tahun 2000,” ujar Argo.