Kementerian Pertahanan diminta me-refocusing anggaran dengan memprioritaskan peningkatan pertahanan laut. Eskalasi keamanan di Laut China Selatan diharapkan menjadi momentum untuk menguatkan pertahanan laut.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pertahanan diminta memfokuskan ulang anggaran dengan memprioritaskan peningkatan pertahanan laut. Eskalasi keamanan yang terjadi di Laut China Selatan diharapkan menjadi momentum untuk menguatkan pertahanan laut. Eskalasi itu juga ditandai maraknya penemuan wahana nirawak bawah laut di perairan Indonesia.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Charles Honoris, saat dihubungi, Kamis (7/1/2020), mengatakan, temuan wahana nirawak yang diidentifikasi sebagai seaglider oleh nelayan mengindikasikan sistem pertahanan laut negara yang masih lemah.
Tiga seaglider pada 2019 dan 2020 semuanya ditemukan oleh nelayan, bukan ditemukan oleh prajurit atau perangkat militer. Padahal, diprediksi ada banyak benda asing yang mengapung di perairan Indonesia. Wahana bawah laut itu bebas berlalu lalang dan menerobos wilayah yurisdiksi Indonesia dan tidak terdeteksi.
”Sudah banyak negara yang menggunakan perangkat drone laut, baik untuk kepentingan riset industri maupun militer. Oleh karena itu, TNI AL harus meningkatkan kewaspadaan, apalagi jika benda tersebut adalah peralatan mata-mata militer asing,” tutur Charles.
Melihat ketegangan yang terus meningkat di jalur perairan Asia-Pasifik, khususnya di Laut China Selatan, Charles berpendapat bahwa hal itu harus menjadi momentum untuk perbaikan ketahanan laut. Harus ada koordinasi lintas instansi untuk meningkatkan keamanan laut, yang melibatkan TNI AL, Kementerian Perhubungan, Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kepolisian Air Baharkam Polri.
Charles menilai perlunya peningkatan alutsista dan teknologi pendukung untuk TNI AL. Salah satunya adalah untuk mendeteksi wahana nirawak bawah laut, seperti unmanned underwater vehicle (UUV) ataupun unmanned subsurface vehicle (USSV) yang telah dilengkapi senjata. Idealnya, TNI harus memiliki alat deteksi kedua benda bawah laut itu. Sebab, penggunaan teknologi itu telah marak dilakukan negara-negara lain.
Dari sisi anggaran, Charles meminta agar Kementerian Pertahanan memprioritaskan pembelian alutsista laut. Selama ini, anggaran masih banyak digelontorkan untuk matra darat. ”Anggaran untuk alutsista di laut dan udara masih minim. Jika digabung, keduanya baru bisa menyamai anggaran di matra darat,” kata Charles.
Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Julius Widjojono mengakui bahwa kapasitas yang dimiliki TNI AL untuk menghadapi eskalasi keamanan di Laut China Selatan memang masih kurang baik. Itu dilihat dari jumlah kapal perang, sistem radar di titik strategis, dan teknologi pendukung. Oleh karena itu, TNI AL sebenarnya berharap ada percepatan peningkatan kapasitas alutsista laut. ”Dari sisi dukungan anggaran, kami memang membutuhkan percepatan agar dapat mengejar ketertinggalan,” kata Julius.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak dan Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Djoko Purwanto belum bersedia berkomentar soal percepatan dan prioritas pembangunan kekuatan pertahanan laut.
Sebelumnya, dalam wawancara menjelang HUT TNI 5 Oktober 2020, Djoko mengatakan, hingga 2024 ada beberapa prioritas pembangunan kekuatan pertahanan. Untuk matra laut, prioritasnya adalah peningkatan kapal fregat dan korvet yang dipersenjatai.
Sampah antariksa yang ditemukan di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, merupakan benda asing keenam yang diidentifikasi LAPAN jatuh di area Indonesia sejak 1981.
Sampah antariksa itu merupakan roket Chang Zheng-3B yang diluncurkan pada 4 November 2019. Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin saat dihubungi pada Kamis mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Badan Antariksa China (CNSA) mengenai benda tersebut.